Si Binatang Jalang Corong Revolusi Modern (Dirgahayu Republik Indonesia Ke-78)

Oleh: Hamzah Maulana Romadhon, S.H. *)

Masyarakat umumnya mengenal Chairil Anwar hanya lewat puisi-puisinya, seperti “Aku”, “Karawang Bekasi” dan melalui pertunjukan teatrikal bertema masa revolusi yang menampilkan sosok pujangga fenomenal itu. Atau mungkin, karena banyak yang membicarakan sosok sang penyair yang lekat dengan citra urakan dan bebal serta playboy mlarat, bahkan bergelar “Si Binatang Jalang”.

Sayangnya sedikit sekali ruang diskusi dan materi esai tentang sisi lain pemuda jalang terlepas figur dan karya ciptanya itu. Padahal, sumbangan Chairil sangat layak dibicarakan dalam konteks kebudayaan/peradaban Indonesia, khususnya pada masa revolusi menjelang hingga sesudah Kemerdekaan atau masa awal perang dunia kedua hingga perang dingin berkecamuk (periode 1940-1960).

Bagi para peneliti sejarah, sastra, dan kebudayaan, tentunya paham betapa Chairil telah berperan memberi goresan warna yang kuat pada kebudayaan Indonesia, bahkan goresan itu melekat jelas saat budaya post-modern yang hari sedang berlangsung. Sosok ini termasuk pelopor, yang membawa orientasi pemikiran baru bagi para intelektual di zamannya, khususnya mereka yang disebut sebagai “Angkatan ’45”. Si jalang ini menyodorkan banyak alternatif pemikiran baru untuk merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan sekaligus memberi pijakan prinsipal bagaimana Bangsa Indonesia melangkah dalam semak-semak keberagaman budaya.

Baca Juga

SPIRIT REVOLUSIONER KERAKYATAN, POTRET LUKISAN DULLAH (DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE-78)

Chairil dinasbihkan menjadi corong utama dan juru bicara Angkatan 45 melalui esai dan puisinya – di angkatan ini bergabung penulis Asrul Sani, Rivai Apin, hingga Ida Nasution. H.B. Jassin hingga Mochtar Lubis yang juga tercatat menjadi bagian dari intelektual yang sejalan dengan gagasan Angkatan ’45 di masa itu. Orientasi Angkatan ’45 yaitu kebudayaan modern yang membawa semangat humanisme universal – anti penjajahan dan anti pengekangan, serta menjunjung hak dan martabat kemanusiaan.

Angkatan ’45 yang walinya Chairil ini terlibat dalam pembentukan kebudayaan antara masa berakhirnya kolonialisme Belanda kemudian masa pendudukan Jepang hingga masa revolusi pasca kemerdekaan. Tampak misalnya dalam esai Chairil bertajuk “Hoppla!” yang dengan tegas memisahkan diri dari Poedjangga Baroe (kelompok sastrawan-budayawan generasi Sutan T. Alisjahbana).

Chairil melalui esainya yang mampu menciptakan opini publik dan menggiringnya itu menyerukan bahwa bangsa dan negara ini secara urgensi membutuhkan kebudayaan baru yang tidak terikat dengan otoritas kekuasaan politik apapun, yang berbeda dari kebudayaan Hindia Belanda ataupun semangat ketimuran yang dibawa Jepang. Kebudayaan baru itu dalam angan-angannya dapat diwujudkan melalui ekspresi bahasa – Dia diakui banyak pujangga dan sastrawan telah memunculkan “rasa” Bahasa Indonesia yang baru tetapi memiliki nafas dengan kebanyakan anak bangsa tanpa perlu lagi memandang identitas latar belakang, Bahasa Indonesia miliknya dapat lepas dari pengaruh sastra masa kolonial, tetapi akan sangat berbeda jika kita melihat kitab undang-undang yang hingga hari ini belum mampu lepas dari “bahasa kolonialisme dan imperialisme”.

Bahasa yang lugas dan jujur serta kritis, kemudian menjadi ciri khas dalam puisi-puisinya, yang sangat berbeda dengan bahasa dalam kesusastraan era sebelumnya yang cenderung bersifat kaku dan “melambai-lambai” pada intonasi pilihan diksinya.

Chairil (dan Angkatan ’45 lainnya) berusaha mendefinisikan konsep kebudayaan baru, yang berseberangan dengan pandangan kelompok Sutan T. Alisjahbana. Karena Alisjahbana mengusung pandangan bahwa Indonesia perlu melanjutkan kerjasama budaya dengan kolonialisme Belanda, sementara Chairil menolak keras hal itu, dan melemparkan ide gagasan yang lebih berorientasi universalitas, tidak sekedar kemanusiaan saja bahkan lanskap keharmonisan semesta dicakupnya.

Esai Chairil yang terkenal terbit pada 1945 jelas menampakkan perbedaan itu, kemungkinan yang telah menggiring opini publik untuk melihatnya sebagai kartu liar dalam konteks sastra-budaya yang menghadapi generasi Poedjangga Baroe sendirian yang bagi masyarakat Jawa akan dianggap “ngluruk tanpo bolo (maju sendiri tanpa pasukan)/single fighter)” dan menjungkirbalikkan intelektualitas generasi yang sedang dalam masa revolusi fisik.

Chairil Anwar tak dipungkiri merupakan penyair yang mampu menghadirkan pesona tiada lawan tanding lewat puisi-puisinya. Pesonanya layak hingga seribu tahun lagi meskipun ia wafat di usia 27 tahun. Setiap kali membaca karya-karyanya, pembaca akan mengernyitkan dahi kemudian pandangannya melayang dibawa mengembara jauh, melihat sesuatu yang baru, segar, dan liar.

Baca Juga

SEPASANG MATA BOLA DI YOGYAKARTA

Pikiran pembaca akan menilik segala intelektual sesuai kapasitasnya dan selalu saja menemui sesuatu yang baru, atau hal itu sebelumnya tidak mampu dilihat, atau dapat terlihat tetapi belum mampu dipahami. Pembaca akan dihadapkan pada keanekaragaman abstraksi, suatu ciri khusus bagi suatu kepribadian yang sedang dalam proses pembentukan, yang jika dilakukan pemaknaan mendalam akan menjadi satu perjalanan spiritual penuh daya magis.

Chairil merupakan simbol pemuda Indonesia yang merdeka sejak dalam pikirannya, pemuda yang mau dengan kerelaannya bergelut dengan pikiran kalut agar dapat mencari arah pembangunan Indonesia. Melalui kepribadian dan karyanya, Si Binatang Jalang “Yang Terempas dan Yang Putus” ini memberikan sumbangan terhadap pembentukan budaya Indonesia baru, dan menolong pakar-pakar intelektual, sastrawan, budayawan, bahkan politikus sekalipun dengan memberikan kompas agar tak sesat melangkah.

Dialah yang mempertahankan cita-cita mulia tentang Bahasa Indonesia sejak bahasa persatuan itu diikrarkan para pemuda. Chairil Anwar menyulam bentuk Bahasa Indonesia dengan hubungan yang paling intim melalui “Deru Angin”, yaitu puisi.

*) Pembina Eskul Khithabah MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid

Leave a Reply