Oleh: Muhammad Afif Umri *)
Adakah yang mengetahui artis/seniman yang dikenal dengan sebutan Dullah? Dapat dimaklumi jika generasi hari ini tidak mengenalnya kecuali bagi mereka yang menggandrungi seni lukis bergenre sejarah. Namun, adanya seniman lukis seperti Dullah ini di tempo dulu dapat membantu sejarawan masa kini untuk merekonstruksi sejarah agar sejarah tidak melulu ditulis oleh para pemenang.
Dalam sejarahnya, nama Dullah sengaja terpinggirkan dari wacana seni lukis Indonesia sejak Orde Baru mulai mempreteli pengaruh Soekarno dan Orde Lama. Pelukis satu ini terbilang kalah telak dalam popularitas dibandingkan nama “Dullah” lainnya, seperti Sudjono Abdullah, Basuki Abdullah, dan Abdullah Suriosubroto.
Akan tetapi, bagi Presiden Soekarno kala masa perjuangan, Dullah adalah pelukis revolusioner di masa sebelum lensa kamera dapat merekam potret sejarah dari kacamata pribumi. Karya-karyanya berbeda dari para pelukis mooi indie yang kala itu gemar menggambarkan pemandangan Nusantara nan damai dan permai. Dengan kepiawaiannya melukis dalam aliran realisme, Dullah menggambar kehidupan sehari-hari masyarakat Marhaen, golongan rakyat kecil atau proletar yang kerap disebut oleh Presiden Soekarno.
Baca Juga
TERUS MELAJU UNTUK INDONESIA MAJU
Gaya lukisan Dullah tak lepas dari genre realisme yang berkembang di Uni Soviet pada abad ke-19. Lukisan-lukisannya kental dengan gambaran penderitaan rakyat, mulai dari nasib petani di bawah kuasa tuan tanah hingga penderitaan rakyat kecil lainnya, bahkan lukisan-lukisan itu masih relevan jika kita mau jujur menyandingkannya dengan zaman sekarang. Sekalipun menggambarkan sebuah pemandangan, Dullah akan melukis pemandangan kampung-kampung yang kumuh dan identik dengan penderitaan. Kecenderungan itulah yang mampu memompa semangat pejuang kala itu.
Keberpihakannya pada rakyat mengantarkan Dullah akhirnya bergabung dengan sebuah kelompok seniman yang terbentuk selama revolusi fisik terjadi, yakni Seniman Indonesia Muda (SIM) yang digagas oleh pelukis senior sekaligus gurunya, S. Sudjojono. Dullah bersama sejumlah pelukis lainnya yang bergabung dengan SIM seperti Sundoro, Zaini, dan Najah, ditugaskan oleh pemerintah Orde Lama untuk membuat poster, spanduk, plakat, dan lukisan dokumentasi perang, mungkin hari ini akan jadi tugas seorang desain grafis.
Hal itu dilakukan ketika pemerintah memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta pada Tahun 1946 untuk menyelamatkan kedaulatan pemerintahan dari tangan para sekutu pasca proklamasi. Tak hanya para politikus dan angkatan bersenjata, para seniman pun turut serta diboyong ke Yogyakarta yang akan ditugaskan sebagai tukang rekam peristiwa-peristiwa penting selama revolusi dalam bentuk tulisan maupun lukisan.
Sejak itu, seniman-seniman muda di SIM mulai diajar menggambar secara cepat dengan pendekatan realisme-fotografis. Mereka juga diwajibkan untuk menyelesaikan lukisannya langsung secara on the spot. Hal itu menjadi kecakapan dasar yang wajib dimiliki anggota SIM, tak terkecuali Dullah.
Namun, siapa sangka dalam perjalanan waktu, karya-karya sketsa Dullah yang dibuatnya selama masa revolusi nyaris tidak terpublikasi. Sebagian karyanya yang bisa diakses adalah lukisan-lukisannya bermodalkan dari visualisasi sketsa yang sifatnya menangkap momentum. Sketsa itu lantas diolah dengan imajinasi dan fantasi seniman lain menjadi bentuk karya lukisan yang baru.
Hal itu tampak pada salah satu lukisan Dullah berjudul “Praktek Tentara Pendudukan Asing”. Lukisan berdimensi 199 cm x 137 cm itu menampilkan gambaran tentara kolonial yang sedang merangsek masuk ke dalam rumah rakyat dan menangkap mereka secara paksa. Ketiga orang pribumi di dalam frame yang menjadi sasaran penangkapan tentara kolonial itu terdiri dari seorang perempuan berkebaya terlihat ditodong senjata, seorang pria tersungkur ke lantai dari kursinya, dan seorang anak yang terjatuh dari dekapan orang tuanya. Sementara para tentara itu dilukiskan sebagai sosok yang beringas dengan melakukan kekerasan berkontak fisik.
Sikap perlawanan Dullah terhadap penjajah juga tampak dalam lukisannya yang lain berjudul “Di Bawah Penyiksaan Tentara Asing”. Lukisan berdimensi 240 cm x 230 cm itu menggambarkan sekelompok tentara kolonial yang menyiksa rakyat pribumi di sebuah markas Belanda. Kala itu, rakyat pribumi kerap menjadi tawanan tentara Belanda dan biasanya dipermainkan dengan penyiksaan sambil ditanya berbagai hal, misalnya soal posisi markas gerilyawan, lumbung padi, dan kandang ternak. Jika tawanan tidak mau menjawab, mereka akan disiksa tanpa henti hingga meregang nyawa.
Pada lukisan lain berjudul “Persiapan Gerilya”, Dullah menggambarkan suasana kecamuk revolusi dari sudut pandang yang lain. Dalam lukisan yang dibuat pada Tahun 1949 ini, Dullah tidak menggambarkan adegan pertempuran di medan laga atau kontak senjata dengan penjajah. Melalui lukisan ini, sang seniman malah menggambarkan persiapan untuk melaksanakan sebuah pertempuran dengan penjajah di mana dia menggunakan sejumlah teman gerilyanya yang berasal dari daerah Gunung Kidul, Yogyakarta sebagai model lukisan tersebut. Tentu saja mereka sangat bangga walaupun hanya menjadi model dan hal ini merupakan hiburan di kala rehat dari desing peluru.
Karya Dullah lainnya yang monumental berjudul “Bung Karno di Tengah Perang Revolusi” dibuat Tahun 1966. Lukisan berdimensi 200 cm x 300 cm ini menggambarkan Presiden Soekarno di antara para pejuang kemerdekaan. Dalam frame itu, Soekarno terlihat sedang berdiri berpidato di antara para pejuang yang tengah mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Lukisan ini tidak dibuat berdasarkan fakta peristiwa sejarah, tetapi memiliki kemiripan dengan situasi di saat Presiden Soekarno menyampaikan pidato bersejarah di Lapangan Ikatan Atletik Djakarta (lebih dikenal dengan sebutan Lapangan IKADA) di Jakarta pada 19 September 1945. Di tempat tersebut, ribuan orang berkumpul dalam rangka memperingati satu bulan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang juga populer dalam sejarah sebagai Rapat Raksasa Lapangan Ikada.
Lukisan ini tidak hanya menunjukkan simpati pelukis kepada sang pemimpin negara, tetapi juga menjadi pengingat bagi seluruh elemen rakyat Indonesia untuk bersatu di masa yang penuh dengan pergolakan – di Tahun 1966 saat lukisan ini dibuat tepat setahun sebelumnya Indonesia mengalami cobaan berat akibat efek dari G30S/PKI. Dullah terlihat mengistimewakan sosok Soekarno dalam lukisan ini, dengan menjadikannya figur sentral di dalam bidang kanvas yang sang pelukis hadirkan didapati pesat tersirat untuk tidak semena-mena terhadap pemimpin negara.
Pelukis revolusioner yang berpihak kepada penderitaan bangsa, Dullah tidak melulu memvisualisasikannya dalam bentuk ‘dramaturgi’ peperangan, revolusi, maupun menggambarkan ideologi tertentu yang sarat akan nuansa heroik. Sebaliknya, sang seniman justru tertarik untuk melukiskan potret kerakyatan itu sendiri secara lugas, jujur, dan apa adanya. Dullah adalah salah satu sosok yang penting dalam aliran realisme-sosial khususnya di masa awal kemerdekaan.
Subjek utama dalam lukisan-lukisan Dullah adalah kelompok rakyat termarjinalkan yang disebut sebagai kaum Marhaen oleh Presiden Soekarno. Kaum ini berangkat dari ideologi marhaenisme yang menentang penindasan kemanusiaan, salah satunya ditandai dengan kepemilikan alat produksi dan bekerja di kaki sendiri.
Jadi sekalipun bukan dalam setting [masa] revolusi, lukisan-lukisan Dullah selalu mencerminkan spirit revolusioner. Kini, beranikah generasi baru meniru semangat perjuangan Dullah yang jujur dan lugas menyuarakan kebenaran?
Dirgahayu Republik Indonesia Ke-78, Terus Melaju Untuk Indonesia Maju
*) Pembina ESKUL Kaligrafi MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid