Oleh : Mochammad Fathur Rosi, SH *)
Isra’ Mi’raj adalah peristiwa penting yang monumental dalam sejarah Islam yang terjadi pada tahun ke-10 kenabian Nabi Muhammad ﷺ. Peristiwa ini melibatkan perjalanan luar biasa Nabi (ruhan wa jasadan) dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Yerusalem (Isra’) dan dilanjutkan dengan perjalanan ke Sidratul Muntaha di langit tertinggi (Mi’raj). Peristiwa ini menjadi momen penting bagi umat Islam karena pada saat itulah umat Islam mendapatkam perintah untuk melaksanakan shalat lima waktu.
Sudah maklum dan masyhur di kalangan ummat Islam bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj identik dengan perintah shalat lima waktu. Namun demikian diceritakan dalam sebuah hadits, Rasulullah saw sebenarnya tidak hanya mendapatkan peringatan shalat semata, tetapi juga mendapatkan dua anugerah besar yang juga tidak kalah penting bagi ummat Islam sebagaimana tergambar dalam hadits riwayat Muslim sebagai berikut.
لَمَّا أُسْرِيَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْتُهِيَ بِهِ إِلَى سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى، وَهِيَ فِي السَّمَاءِ السَّادِسَةِ، إِلَيْهَا يَنْتَهِي مَا يُعْرَجُ بِهِ مِنَ الْأَرْضِ فَيُقْبَضُ مِنْهَا، وَإِلَيْهَا يَنْتَهِي مَا يُهْبَطُ بِهِ مِنْ فَوْقِهَا فَيُقْبَضُ مِنْهَا، قَالَ : { إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى } قَالَ : فَرَاشٌ مِنْ ذَهَبٍ، قَالَ : فَأُعْطِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثًا، أُعْطِيَ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ، وَأُعْطِيَ خَوَاتِيمَ سُورَةِ الْبَقَرَةِ، وَغُفِرَ لِمَنْ لَمْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ مِنْ أُمَّتِهِ شَيْئًا الْمُقْحِمَاتُ . رواه مسلم
Ketika Rasulullah ﷺ diisra’kan, beliau dibawa hingga sampai di Sidratul Muntaha, yaitu di langit keenam. Kepada Sidratul Muntaha inilah berakhir segala sesuatu yang naik dari bumi, lalu diambil darinya, dan juga segala sesuatu yang turun dari atas, lalu diambil darinya. Rasulullah ﷺ bersabda: “Ketika (Sidratul Muntaha) diliputi oleh sesuatu yang meliputinya” (QS. An-Najm: 16). Beliau berkata: “(Diliputi oleh) sayap-sayap (seperti) kupu-kupu dari emas.” Rasulullah ﷺ kemudian diberi tiga hal: beliau diberi kewajiban salat lima waktu, diberi akhir surat Al-Baqarah, dan diampuni dosa-dosa orang dari umatnya yang tidak menyekutukan Allah sedikit pun, kecuali dosa-dosa besar (al-muqhimat). (HR. Muslim)
Menurut Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, Sidratul Muntaha adalah sebuah pohon besar di langit keenam (menurut sebagian riwayat) atau di langit ketujuh (dalam riwayat lain). Nama “Muntaha” berarti “batas akhir,” karena ia merupakan tempat terakhir di mana malaikat, ruh, dan perintah Allah berhenti sebelum turun atau naik. Dari tempat inilah segala urusan makhluk Allah sampai dan diterima.
Baca Juga
Isra’ Mi’raj di Era 4.0 : Refleksi Spritual dan Teknologi Modern
Dalam hadits tersebut, bahwa Tiga Anugerah Besar yang Diterima Rasulullah ﷺ saat perjalanan Isra Mi’raj selain perintah shalat lima waktu.
—————-
Shalat Lima Waktu
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, mengatakan kewajiban shalat lima waktu diterima langsung oleh Rasulullah pada peristiwa Isra dan Mi’raj yaitu saat Nabi Muhammad ﷺ menghadap langsung kepada Allah SWT di Sidratul Muntaha bahkan tanpa ditemani oleh Malaikat Jibril. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah shalat merupakan perintah agung dan sangat penting dalam Islam karena shalat merupakan media menghubungkan bumi dan langit. Shalat adalah sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhannya.
—————-
Akhir Surat Al-Baqarah
Imam As-Suyuthi dalam Kitabnya Ad-Durr Al-Mantsur mengatakan bahwa ayat-ayat akhir dari Al-Baqarah adalah karunia khusus yang diberikan Allah kepada Rasulullah saw karena ayat-ayat tersebut mengandung pujian kepada Rasulullah dan orang-orang yang beriman. Di samping itu Allah mengabulkan doa-doa yang dipanjatkan sebagaimana dalam ayat tersebut yaitu memberikan kemudahan hidup, ampunan, dan Rahmat Allah swt.
ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَاۤ أُنزِلَ إِلَیۡهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۚ كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَـٰۤىِٕكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ لَا نُفَرِّقُ بَیۡنَ أَحَدࣲ مِّن رُّسُلِهِۦۚ وَقَالُوا۟ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۖ غُفۡرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَیۡكَ ٱلۡمَصِیرُ ٢٨٥ لَا یُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَیۡهَا مَا ٱكۡتَسَبَتۡۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَاۤ إِن نَّسِینَاۤ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَیۡنَاۤ إِصۡرࣰا كَمَا حَمَلۡتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلۡنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦۖ وَٱعۡفُ عَنَّا وَٱغۡفِرۡ لَنَا وَٱرۡحَمۡنَاۤۚ أَنتَ مَوۡلَىٰنَا فَٱنصُرۡنَا عَلَى ٱلۡقَوۡمِ ٱلۡكَـٰفِرِینَ ٢٨٦
Sebagian ulama dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa keutamaan ayat tersebut di atas adalah bahwa Allah berjanji akan mengabulkan doa ummat Nabi Muhammad Saw yang berdoa dengan akhir surat Al-Baqarah di atas.
Rasulullah saw bersabda
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ قَرَأَ الْآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِي لَيْلَةٍ كَفَتَاه
Barangsiapa membaca dua ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah pada malam hari, maka itu akan mencukupinya. (HR. Abu Daud).
Dalam kitab Ainul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud dijelaskan maksud dari hadits tersebut adalah sebagai berikut:
- Mencukupi sebagai perlindungan. Membaca dua ayat terakhir Surah Al-Baqarah (ayat 285-286) akan memberikan perlindungan dari berbagai bahaya, seperti gangguan setan, jin, atau hal-hal buruk lainnya pada malam itu.
- Mencukupi sebagai pengganti Ibadah Sunnah. Ibnul Qayyim dalam Kitab Al-Wabil as-Shayyib mengatakan bahwa membaca dua ayat ini pada malam hari mencukupi sebagai pahala ibadah sunnah tambahan. Artinya, meskipun seseorang tidak sempat melakukan ibadah sunnah lainnya, seperti qiyamul lail, membaca dua ayat ini sudah cukup memberikan kebaikan besar sama seperti pahala qiyamullail
- Keberkahan dan ketenangan. Ayat ini mengandung doa, pengakuan keimanan, dan permohonan ampun kepada Allah. Dengan membacanya, seorang muslim akan mendapatkan keberkahan, ketenangan hati, dan kemudahan urusan dari Allah.
—————-
Ampunan bagi yang Tidak Menyekutukan Allah
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa ampunan ini mencakup dosa-dosa kecil selama seorang Muslim tidak terjerumus ke dalam dosa syirik. Sedangkan dosa besar (al-muqhimat) tetap memerlukan taubat nasuha.
Menurut Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhaj Al-Qashidin, dosa besar adalah dosa-dosa yang membawa pelakunya ke dalam kehancuran, seperti membunuh, berzina, riba, durhaka kepada orang tua, dan lainnya. Dosa-dosa ini tidak termasuk dalam ampunan umum tanpa taubat, karena syarat pengampunannya memerlukan penyesalan yang mendalam dan perbaikan diri.
Hadis ini menggambarkan keagungan perjalanan Isra dan Mi’raj Rasulullah ﷺ, di mana beliau mencapai Sidratul Muntaha yang menjadi batas tetinggi. Hadis ini juga menekankan pentingnya tiga anugerah besar yang diberikan, yaitu salat lima waktu, akhir surat Al-Baqarah, dan janji ampunan bagi umat yang beriman. Para ulama salaf menegaskan bahwa peristiwa ini menunjukkan kasih sayang Allah kepada Rasul-Nya dan umat Islam.
*) Kepala TU MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid