Jihad Intelektual Santri Untuk Jayakan Negeri (Memperingati Hari Santri Nasional 2023)

Oleh : Husen, S.Pd.I *)

Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat intelegensi (kemampuan berpikir/IQ) adalah sistem pendidikan. Berdasarkan data Dukcapil, proporsi penduduk Indonesia menurut jenjang pendidikannya pada Juni 2022, yaitu: Tidak/belum sekolah berjumlah 23,61%; Belum lulus SD 11,14%; Lulus SD/MI 23,4%; Lulus SLTP/MTs 14,54%; SLTA/MA 20,89%; Lulusan D-1 dan D-2 0 41%; Lulus D-3 1,28%; Lulus S-1 4,39%; Lulus S-2 0,31%; Lulus S-3 0,03%.

Sebagai gambaran, tingkat kecerdasan intelektual (intelligence quotient/IQ) secara umum telah dibagi oleh pakar psikologi dalam jenjang skala salah satunya melalui Tes IQ Stanford-Binet, berurutan jenjang itu adalah: Skala 40-54 berarti cukup tertinggal (moderately delayed); Skala 55-69 berarti sedikit tertinggal (mildly impaired); Skala 70-79 berarti batas tertinggal (borderline delayed); Skala 80-89 berarti di bawah rata-rata (low average); Skala 90-109 berarti normal kebanyakan populasi dunia/rata-rata (average); Skala 110-119 berarti di atas rata-rata (high average); Skala 120-129 berarti superior; Skala 130-144 artinya berbakat (gifted); Skala 161-175 berarti sangat berbakat (extremely gifted); Terakhir, skala 176-225 yaitu teramat sangat berbakat (profoundly gifted).

Selain Tes IQ Stanford-Binet, ada pula Tes IQ Wechsler-Bellevue Intelligence yang cenderung digunakan untuk individu berusia 16 Tahun keatas yang jenjang skalanya hampir sama. Kedua tes intelligence quotient/IQ ini untuk mengukur kemampuan individu untuk menalar, memecahkan masalah, belajar, memahami gagasan, berpikir, dan perencanaan. Kendati demikian, berbagai faktor yang bisa mempengaruhi hasil tes IQ, seperti nutrisi, stres, kondisi sosial ekonomi, serta dukungan dan perilaku sosial. Sebuah studi juga mengungkap, skor IQ sifatnya fluktuatif seiring bertambahnya usia dan lingkungan sosialnya. Sebab, semakin tua seseorang, wawasan dan pendidikannya juga semakin bertambah.

Baca Juga

HARI SANTRI NASIONAL: SOAL DAN PERSOALANNYA

Lantas, bagaimana skor intelligence quotient/IQ rata-rata masyarakat Indonesia? Merujuk data dari World Population Review pada tahun 2022 diketahui skor rata-rata 78,49%. Capaian tersebut menempatkan Indonesia berada pada peringkat 130 dari 199 negara yang diuji. Artinya, intelligence quotient/IQ individu Indonesia masih tergolong “rendah” di dunia – jika tak mau disebut berada di ambang kebodohan.

Pertanyaan krusial untuk jayakan negeri di masa mendatang adalah apakah generasi muda Indonesia tidak menyadari bahwa dirinya bodoh? Elizabeth Pisani dalam tulisannya berjudul “Indonesian Kids Don’t Know How Stupid They Are” berisi interpretasi dari hasil tes Program for Internasional Student Assesment (PISA) tahun 2012 terhadap siswa Indonesia berusia 15 Tahun. Tes PISA ini terbagi dalam 6 level capaian, mulai level 1 sebagai posisi terendah dan level 6 untuk yang tertinggi, dengan tiga bidang kecakapan fokus tes, yaitu: Matematika, Sains, dan Literasi (baca, tulis, dan memahami). Hasil yang terungkap tidak ada satupun siswa Indonesia mampu mencapai level 6, bahkan sebagian terhenti di level 2, sisanya berada di level 1.

Jika hasil di atas didapat pada Tahun 2012, lalu bagaimana dengan saat ini? PISA sendiri dilakukan tiap kurun waktu 3 tahun, seharusnya dilaksanakan pada Tahun 2021, adanya Pandemi COVID-19 membuat PISA melaksanakan tes di Tahun 2022. Cukup disayangkan, hingga mendekati berakhirnya Tahun 2023 hasil tes tersebut belum juga dirilis. Sementara itu, berkaca pada hasil PISA di Tahun 2018, Indonesia masih menempati urutan ke-74, atau peringkat keenam terbawah.

Sebagai penguat hasil di atas, penulis menemukan data yang dirilis oleh worldtop20.org terkait kualitas pendidikan, hasilnya menempatkan Indonesia diurutan ke-67 dari 209 negara pada Tahun 2023. Peringkat tersebut berasal dari 5 tingkat pendidikan di Indonesia, yaitu: Tingkat pendaftaran sekolah usia dini 68%; Tingkat penyelesaian SD 100%; Tingkat penyelesaian sekolah menengah 91,19%; Tingkat kelulusan SMA 78%; Tingkat kelulusan perguruan tinggi 19%. Data ini pun menunjukkan hal yang sama seperti data PISA, yaitu kualitas pendidikan generasi muda sangatlah rendah.

Fakta data yang sangatlah miris itu menjadi pekerjaan bersama tentunya – terutama menjadi pekerjaan rumah bagi lembaga pendidikan – kualitas berliterasi, bernalar, dan memahami suatu masalah butuh ditingkatkan. Pertanyaan besar lainnya yang harus segera dijawab adalah bagaimana bisa jumlah usia produktif (usia muda) yang hampir 70% mendominasi populasi Indonesia di Tahun 2035-2045 menjadi bonus demografis jika kualitas pendidikannya amatlah rendah? Bukankah yang demikian itu malah akan menjadi bumerang dan bom waktu? Di usia yang labil dan belum matangnya kemampuan bernalar ini mereka akan rentan menjadi mangsa bangsa-bangsa lain!

Kredibilitas Santri Masa Kini?

Melihat sepak terjang yang ditampilkan sejarah di masa lalu tak diragukan lagi kredibilitasnya pesantren, kyai, dan santri dalam fokusnya mempelajari keilmuan hingga berjihad. Lantas bagaimana dengan hari ini? Pesantren merupakan lembaga pendidikan sebagai salah satu institusi yang komitmen pada pembangunan sumber daya manusia Indonesia seutuhnya. Seluruh elemen di pesantren memiliki peran signifikan guna menopang kuat hadirnya sosok generasi akhlakul karimah (santri) yang mampu berkarya menciptakan tatanan kehidupan ideal – dalam Pancasila roadmap itu kita kenali sebagai “Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”.

Santri sebagai representasi sistem pendidikan pesantren berkewajiban untuk melawan (jihad) kebodohan, keterbelakangan, ketimpangan sosial dan menyelesaikan problematika zaman. Tetapi, jika berkaitan dengan fakta data yang dijelaskan secara umum diatas, mampukah santri-santri itu membuktikan tajinya eksis di era globalisasi? Apakah pemahaman santri dikerdilkan akibat dikotomi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan? Sehingga literasi sains dianggap bersebrangan dengan literasi agama?

Intelektual santri yang cenderung dipahami sebagai ahli ilmu agama perlu diselaraskan dan berimbang dengan ilmu pengetahuan – jika tak mau dikerdilkan intelektualnya. Santri mustinya memiliki anggapan bahwa segala pengetahuan bersumber dari Allah dengan perantara Al-Quran dan Hadits. Kedua sumber ini tentu saja terpatri kuat di sanubari para santri. Sebagaimana banyak ilmuwan muslim terdahulu menemukan dan membuktikan secara empiris, bahkan perguruan tinggi (universitas) pertama kali didirikan oleh kaum muslim termasuk pakaian toga saat kelulusan yang hingga kini masih familiar pun merupakan bentuk perwujudan Al-Quran dan Hadist yang bersemai di jiwa penuntut ilmu pengetahuan.

Generasi muda dari kalangan santri jika ditengok dari potensi karakter maupun perilakunya memiliki segudang harapan untuk menjayakan negeri besar ini. Namun, jika pemangku lembaga pendidikan yang menaungi santri tidak open mind (sebagai akibat dari dikotomi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan) dengan perubahan-perubahan akibat laju ilmu pengetahuan maka dikhawatirkan para santri yang kini masih berusia belia hanya tampak besar dalam kuantitas tetapi kecil kualitasnya.

Rasulullah Muhammad SAW menggambarkan kualitas umat Islam seperti buih di lautan. Menang kuantitas tapi tidak berdampak apa-apa.

“Hampir saja bangsa-bangsa memangsa kalian sebagaimana orang-orang lapar menghadapi meja penuh hidangan.”

Seseorang bertanya, “Apa kami saat itu sedikit?”
Jawab beliau, “Bahkan jumlah kalian saat itu ada banyak, tetapi kalian seperti buih di laut. Allah sungguh akan mencabut rasa takut dari dada musuh kalian, dan Allah sungguh akan mencampakkan penyakit wahn ke dalam hati kalian.”
Seseorang bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu wahn?”

Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati”.
Jadi, dengan sistem pendidikan yang berbasis Al-Quran dan Hadist yang merupakan pilar utama, intelektualitas harus menjadi medan perjuangan santri di era globalisasi ini. Santri harus percaya bahwa pendidikan adalah senjata terkuat untuk menciptakan peradaban zaman yang diidam-idamkan Rasulullah. Dengan Al-Quran dan Hadist sebagai sumber ilmu pengetahuan yang mereka miliki (cerdas, berakhlak mulia, dan berintegritas) santri harus berkomitmen untuk memberikan kemaslahatan rahmatan lil alamiin.

Maka, jangan sungkan untuk munjukkan kualitas keilmuan karena santri merupakan satu sosok yang dibentuk untuk mengemban amanat suci Rasulullah, yaitu memerangi sifat-sifat jahiliyah.

Selamat merayakan Hari Santri Nasional 2023.

*) Waka. Kurikulum MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *