Satu kegiatan sebelum kelulusan siswa-siswi Kelas IX di Tahun Pelajaran 2022/2023, yaitu ziarah wali. Sebanyak 370 peserta dari siswa MTs. Miftahul Ulum 2 mengikuti kegiatan hasil integrasi dengan Yayasan Miftahul Ulum Banyuputih Kidul, Jatiroto, Lumajang.
Waka Kesiswaan Zainul Arifin, S.H menyebutkan tiga bus digunakan untuk mengangkut siswi putri yang masing-masing dipandu oleh dirinya sendiri, Husen, S.Pd.I., Abdurrahman, S.Pd.I., M Said Fadhori, S.Pd.I, dan Mahrus Ali, S.H. Sedangkan untuk siswa putra disediakan lima bis dengan koordinator pendamping masing-masing Amang Philips D P, S.Sos, Danang Satrio P, S.Psi, Aris Purnomo, S.Pd, Abdul Rozaq, S.Sos, Wiwin Sugianto, S.Pd.
Selain para koordinator pendamping, Kepala Madrasah Sahroni, S.Pd.I., M.Pd menugaskan beberapa guru dan staf untuk turut serta mendampingi siswa-siswi dan menjelaskan perihal profil para waliyullah agar kisah dakwah para wali dapat diteladani serta perjuangan wali diteruskan dengan kesepahaman yang sama. Ketua Komite Madrasah Dr. H. Zainuddin, M.Pd.I yang turut serta dalam ziarah kali ini memastikan bahwa model pendidikan yang diterapkan oleh lembaga-lembaga dibawah naungan Yayasan Miftahul Ulum Banyuputih Kidul, Jatiroto, Lumajang harus sejalan dengan landasan akidah Aswaja An-Nahdliyah.
Pemberangkatan dimulai dari Ponpes Miftahul Ulum, rute pertama ziarah adalah pemakaman Sunan Ampel yang berada di Kecamatan Semampir, Surabaya. Setelah mengambil wudhu, peziarah langsung melakukan tahlil bersama di pelataran makam wali yang merubah nama Kali Brantas menjadi Kali Mas (sungai emas) dan Pelabuhan Jelangga Manik menjadi Pelabuhan Tanjung Perak itu.
Setelah beristirahat sebentar di pelataran Masjid Agung Ampel sambil mendengarkan makna falsafah Ajaran “Molimo”, rombongan melanjutkan perjalanannya menuju pemakaman Syaikhona Kholil di Bangkalan, Madura. Tiba dini hari, sebagian peziarah dan pendamping mengalami kantuk tetapi karena niat mereka segera mengambil wudhu dan menyegerakan sholat sunnah.
Kirim doa yang dikhususkan untuk Syaikhona Kholil beserta keluarganya ini selesai di sepertiga malam. Masing-masing rombongan yang telah dibagi dalam beberapa kelompok diarahkan untuk beristirahat sambil menunggu waktu subuh. Peziarah maupun pendamping ada yang tidur di bis, ada yang bermunajat di masjid, ada yang berbelanja untuk oleh-oleh.
Namun, Dr. H. Zainuddin, M.Pd.I ditemani Waka Sarpras Aris Purnomo, S.Pd, Waka Humas Danang Satrio P, S.Psi, dan Amang Philips D P, S.Sos yang pernah menjabat waka kurikulum, keempatnya membahas mulai dari riwayat hidup Al-‘Aalim Al-‘Allaamah Asy-Syekh Al-Haajji Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkalani al-Maduri al-Jawi asy-Syafi’i hingga isu-isu yang dialami umat muslim kini disambi menyeruput kopi di pelataran masjid.
Adzan Subuh menggema di langit Bangkalan, peziarah berbondong-bondong mengantri mengambil air wudhu. Setelah sholat subuh berjamaah, rombongan makan pagi sebelum bertolak menuju Pemakaman Sunan Gresik. Setibanya di area makam yang terletak di Kecamatan Gresik, para pendamping mengisyaratkan peziarah untuk melangsungkan tahlil, karena wudhu sudah dilakukan di terminal sembari menunggu giliran penjemputan menggunakan mikrolet.
Di pemakaman waliyullah yang kerap disebut dengan Makhdum Ibrahim Al-Samarqandi dan Syekh Maghribi ini para siswa diceritakan profil singkat hingga cara dakwah seperti informasi yang terpasang di tembok makam. Sunan Maulana Malik Ibrahim berdakwah melalui bisnis perdagangan, yaitu menyediakan bahan kebutuhan pokok masyarakat dengan harga murah sehingga dapat dijangkau masyarakat kecil; Beliau juga mengajarkan cara bertani, terutama identifikasi tanaman untuk ditanam sesuai siklus musim; Ilmu pengobatan dan sosial kemasyarakatan termasuk keahlian berbagai bahasa juga beliau kuasai, siapapun dari latar belakang manapun dapat berobat dan berkonsultasi padanya, dengan kemampuan multitasking itu maka tak heran jika beliau kemudian dapat masuk ke dalam lingkungan Kerajaan Majapahit dan menjadi penasehat disana pun demikian kesederhanaan dan keikhlasannya mengabdi untuk masyarakat tak berkurang sedikitpun.
Kharisma, kesederhanaan, kecakapan, dan keuletan bapak dari Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Raden Santri (Sayid Ali Murtadha) ini semoga mengilhami civitas madrasah untuk selalu mengedepankan kemaslahatan bersama dibandingkan kepentingan pribadi.
Rute berikutnya menuju Kecamatan Pacira, Lamongan. Tiba saat matahari di atas kepala, rombongan banyak yang memilih mandi untuk mendinginkan tubuh. Masing-masing pendamping mengarahkan peziarah ke pesarean Sunan Drajat bagi yang sudah bersuci. Disini tahlil dilakukan bergantian mengingat tempat yang terbatas tak sebanding dengan jumlah rombongan.
Sebelum menuju Makam Sitihinggil, ada siswa yang menyinggung jalan berundak, kemudian dijelaskan oleh pendamping disekitar mereka bahwa undakan jalan yang terbagi dalam tujuh sap ini memiliki makna filosofis dalam menjalani laku kehidupan. Bergelar Raden Syarifudin, waliyullah ini berdakwah melalui pendidikan dan kesenian. Beliau memberikan pengajaran di pesantren, di langgar, dan kerap menyisipkan pengetahuan di pertunjukan seni tradisional. Masyarakat setempat dan para sunan lainnya sering menjadikannya rujukan untuk mendapatkan solusi berbagai problematika hidup.
Di area pemakaman ini juga berdiri museum yang dipergunakan untuk menyimpan peninggalan-peninggalan Sunan Drajat, para siswa menyempatkan untuk melihat-lihat sambil mendengarkan pendamping menjelaskan benda-benda tersebut.
Tujuan terakhir ziarah diarahkan menuju Kabupaten Tuban, tempat Sunan Bonang disemayamkan. Di pemakaman Raden Maulana Makdum Ibrahim ini, rombongan datang menjelang waktu ashar. Setiap koordinator menginstruksikan agar peziarah bersuci sebelum tahlil bersama dilakukan.
Agar peziarah memiliki kecintaan kepada waliyullah dan dapat mengamalkan ajarannya, setiap pendamping memberikan sedikit cerita juga agar pengalaman ziarah dapat bermakna. Diceritakan bahwa Sunan Bonang ini merupakan putra dari Sunan Ampel, ia mendapat nama “Bonang” karena mengubah ritme dan intonasi gamelan Jawa yang saat itu identik berestetika irama Hindu-Budha digantikan dengan memberi nuansa baru yang seolah-olah mengikuti ritme detak jantung manusia.
Beliaulah kreator ‘suara’ gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen ‘bonang’ (istilah masyarakat kala itu menyebutnya. Gubahannya memiliki nuansa dzikir yang mendorong pendengarnya masuk pada fase transendental (fase antara alam sadar dan alam bawah sadar). Tembang berjudul “Tombo Ati” versi asli Jawa digubah seperti yang kita dengar saat ini berikutnya lirik maupun nadanya merupakan salah satu karya seni beliau.
Selain sebagai musisi, Sunan Bonang dikenal pula sebagai seorang sastrawan yang banyak menggubah karya sastra berbentuk suluk (tembang tamsil), satu diantaranya adalah Suluk Wijil yang dipengaruhi Kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr, ada pula sebuah karya sastra dalam Bahasa Jawa yang diperkirakan merupakan karya beliau dan oleh Schrieke (ilmuwan Belanda) disebut Het Boek van Bonang (Buku Sunan Bonang.
Dia juga menulis sebuah kitab yang berisikan tentang Ilmu Tasawuf berjudul “Tanbihul Ghofilin” setebal 234 halaman, kitab ini menasbihkan dirinya sebagai seorang filosof di Kesultanan Demak. Tak berhenti sampai disitu saja, dengan kecakapan literasi yang dimilikinya dan kecintaan pada seni serta orientasinya mengenalkan Ajaran Islam, Sunan Bonang kerap menuliskan lakon versinya sendiri dan disisipkan pada Kisah Mahabharata saat menjadi dalang dalam pentas pewayangan. Dari pementasan inilah kemudian banyak masyarakat berbondong-bondong memeluk Islam tanpa ada pemaksaan.
Ketika banyak yang berguru padanya, Sunan Bonang kembali menciptakan gerakan (jurus) beladiri yang terdiri dari 28 Huruf Hijaiyah yang dipadupadankan dengan olah pernafasan dengan metode dzikir. Hal ini dimaksudkan agar murid-muridnya dapat mudah menghafal huruf maupun memaknai tersebut secara tak langsung dan masyarakat kala itu cenderung mengagungkan kesaktian dalam dunia persilatan. Beliau dikenal luas oleh banyak kalangan sebagai pendakwah Islam yang brilian menguasai ilmu fiqih, ushuluddin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur, dan ilmu silat dengan kesaktian dan kedigdayaan menakjubkan seperti yang tertulis di Babad Daha-Kediri menggambarkan bagaimana Sunan Bonang dengan pengetahuannya yang luar biasa.
Sungguh banyak keistimewaan para waliyullah yang patut dijadikan rujukan dan panutan civitas MTs. Miftahul Ulum 2, semoga ziarah ini mendapatkan barokah dan karomah para sunan serta siswa-siswi dapat meneruskan warisan keilmuan waliyullah.