Oleh: Muhammad Imron, SH *)
Belajar dari cara Rasulullah mendakwahkan Islam secara berangsur-angsur untuk merubah budaya ternyata tidak serta merta membuang tradisi yang terlebih dahulu ada, tetapi memberikan nafas Islam dalam tradisi dan budaya yang tengah berlaku. Dakwah dalam konteks inilah sebenarnya harus dipahami, bukan memberangus tradisi sejauh tidak bertentangan dengan syariat, tetapi mengisi tradisi dengan makna yang islami – simbol keagungan Islam. Rasulullah menginternalisasi nilai Islam dalam tradisi patut ditiru umat saat ini.
Jika ditelaah cara dakwah Nabi Muhammad SAW berhadapan dengan sebuah tradisi ada tiga pola, yaitu: (1) Pendekatan tahmil, artinya Islam datang dengan menerima dan menyempurnakan tradisi yang sudah ada di masyarakat jahiliyah. Corak seperti ini misalnya terlihat dalam penghormatan Islam terhadap bulan-bulan yang diharamkan pertumpahan darah yang sudah ada di zaman Arab pra-Islam; (2) Pendekatan taghyir, artinya Islam menerima tetapi merekonstruksi tradisi dengan nilai yang Islami. Dalam prakteknya, tradisi Arab pra-Islam masih dilanjutkan tetapi diisi dengan nilai baru. Contoh ini misalnya, dilihat dari proses haji yang tetap melaksanakan thawaf dan sai tetapi rubah maknanya bukan menyembah Latta dan Uzaa, tetapi ditujukan untuk mengangungkan Allah SWT; (3) Pendekatan tahrim, artinya Islam menghapus tradisi dan kebiasaan yang ada yang jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Namun, perlu diingat bahwa dalam proses penghapusan inilah Rasulullah sangat hati-hati agar tidak menimbulkan resistensi yang kuat. Misalnya, pengharaman khamar yang dilakukan secara bertahap. Islam juga ingin menghapus perbudakan yang dilakukan secara bertahap dengan cara menjadikan membebaskan budak sebagai bagian dari sangsi ibadah.
Dakwah Walisongo di nusantara pun tak ubahnya seperti yang dilakukan Baginda Rasulullah SAW. Waliyullah nusantara menginternalisasi Islam melalui batik sehingga masyarakat dapat cepat akrab dengan ajaran Islam. Warisan batik dilestarikan bahkan menjadi media dakwah. Para Wali tidak membuang warisan tradisi ini, tetapi mengubah corak dan motif dengan menghindari penggambaran unsur binatang atau manusia – motif-motif itu dilukiskan secara tidak sempurna dalam motif batik sehingga membentuk semacam motif kaligrafi abstrak.
Usaha Walisongo menasbihkannya sebagai pencetus motif-motif batik yang mewarnai kekayaan batik nusantara hingga saat ini. Sunan Kalijaga misalnya, dikenal sebagai pencetus Surjan Lurik yang ditunjukkan dengan motif garis vertikal. Ada “Batik Drajat” merupakan peninggalan kebijaksanaan pengajaran Sunan Drajat.
Baca Juga
PANCASILA PEMERSATU BANGSA MENUJU INDONESIA MAJU (MEMPERINGATI HARI KESAKTIAN PANCASILA 2023)
Motif batik “Mahkota Giri” buah karya Sunan Gresik yang melambangkan lima rukun Islam. Kemudian kisah Sunan Gunung Jati yang memerintahkan muridnya Ki Buyut Trusmi untuk mengajarkan seni membatik sembari menyebarkan agama Islam hingga kita kenal saat ini menghasilkan motif Batik Trusmi, Mega Mendung, dan Keraton Kanoman Cirebon, serta motif Batik Pesisiran.
Sunan Kudus dan Sunan Muria menambah kaya motif batik yang dihasilkan perajin batik di Kudus. Corak batik Kudus lebih cenderung condong ke batik pesisiran, dan cenderung mirip dengan batik Pekalongan. Batik Kudus sendiri dikenal juga sebagai batik nyonya atau batik saudagaran karena kehalusan dan kerumitan isen-isennya. Kehadiran kedua wali memperkaya khazanah batik Kudus, terutama Kudus Kulon, dengan motif kaligrafi. Ada juga motif kapal kandas yang terkait dengan sejarah perdebatan Sunan Muria dengan Sam Po Kong.
Dari uraian diatas, batik bukanlah sekedar tren tapi merupakan warisan budaya nusantara dan internalisasi Islam oleh para Walisongo harus terus dilestarikan, jika perlu kita kembali bersarung batik dan penuh kebanggaan menggunakannya. Marilah berdakwah melalui batik yang berlukis nilai-nilai Islam yang santun dan ramah. Selamat Hari Batik Nasional 2023.
*) Guru MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid