Tafsir Surah Shad Ayat 31 – 33 : Cara Nabi Sulaiman Mencintai Perkara Duniawi

Oleh : Sirojul Munir *)

Al Quran telah memberikan penjelasan dengan begitu indah dalam memaknai cinta atau hub. Sehingga berbicara tentang haqiqat makna cinta perlu pula dikaji lebih dalam ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan tentang maknanya, mengingat belakangan makna cinta di kalangan umat muslim muslimah telah dimaknai serampangan. Antara cinta dan syahwat tidak bisa dibedakan, dan bahkan lantaran kekurangpahaman tentang haqiqat makna cinta tersebut berdampak juga pada krisis moral yang tidak berkesudahan.

Perihal cinta ini, terdapat kisah Nabi Sulaiman yang cukup menarik dalam Al Quran yang di dalamnya mengandung hikmah bagi generasi umat islam dalam memaknai cinta. Kisah tersebut termaktub dalam surah shad ayat 31 sampai 33. Ada perbedaan penafsiran di antara para ulama’ dalam memaknai kata hub (Cinta)secarakhusus dalam ayat tersebut. Seperti antara tafsiran Syaikh Nawawi Al Bantani di dalam kitab Tafsir Marah Labid dan Syaikh Jalaluddin Al Mahalli dalam Tafsir Jalalain.

Dalam Surah Shad Ayat 32 Allah berfirman :

إِذْ عُرِضَ عَلَيْهِ بِالْعَشِيِّ الصَّافِنَاتُ الْجِيَادُ (٣١) فَقَالَ إِنِّي أَحْبَبْتُ حُبَّ الْخَيْرِ عَنْ ذِكْرِ رَبِّي حَتَّى تَوَارَتْ بِالْحِجَابِ (٣٢) رُدُّوهَا عَلَيَّ فَطَفِقَ مَسْحًا بِالسُّوقِ وَالأعْنَاقِ (٣٣) ﴾

Terjemahan ayat tersebut jika merujuk pada Tafsir Marah Labid dan hal ini juga yang digunakan Kemenag maka sebagaimana berikut : Artinya : (Ingatlah) ketika pada suatu sore dipertunjukkan kepadanya (kuda-kuda) yang jinak, (tetapi) sangat cepat larinya, maka dia berkata, Sesungguhnya aku (Sulaiman) mencintai segala yang baik (kuda), yang membuat aku ingat akan (kebesaran) Tuhanku, sampai matahari terbenam. Bawalah semua kuda itu kembali kepadaku. Lalu dia mengusap-usap kaki dan leher kuda itu.

Sedangkan jika berpedoman pada Tafsir Jalalain yang termasuk senada secara tersirat dengan Tafsir Ibnu Katsir maka terjamahan dari ayat tersebut sebagaimana berikut : Artinya : (Ingatlah) ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti, dan cepat waktu berlari pada waktu sore. Maka ia berkata: Sesungguhnya aku mencintai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku (Sholat Ashar) sampai kuda itu hilang dari pandangan. Lalu ia (Sulaiman) potong kaki dan leher kuda itu.

Sekilas, dua terjemahan dari dua landasan tafsir tersebut, terlihat jelas perbedaanya.  Merujuk dalam tafsirnya, Syaikh Nawawi Albantani memberikan penjelasan makna dari ayat di dalam surah shad tersebut dengan menawarkan pemaknaan secara bahasa pada kata hubbul khoir yang juga bisa bermaksud mencintai harta, kendati beliau juga memberikan penegasan akhir tentang maksud ayat secara khusus yaitu kecondongan Nabi Sulaiman mencintai kuda. Lebih lanjut dalam tafsirnya Syaikh Nawawi memberikan penjelasan filosofis bahwa Nabi Sulaiman mencintai kuda karena bentuk mencintai Allah (an dzikri robbi) disebabkan kuda merupakan hewan yang digunakan dalam peperangan di jalan Allah sebagaimana dalam syariat Nabi Muhammad. Dalam tafsirnya saking cintanya kepada kuda tersebut beliau mengelus kudanya hingga tanpa terasa sampai matahari terbenam (hatta tawarot bilhiijab).

Bertolak belakang dengan tafsiran di dalam kitab Tafsir Jalalain dan lebih jelas di dalam Tafsir Ibnu Katsir yang memberikan paparan maksud hubbal khoir adalah kecintaan Nabi Sulaiman terhadap kuda yang berlebihan sehingga membuatnya lupa melakukan sholat ashar (‘an dzikri robbi) sampai Matahari terbenam (hatta tawarot bilhiijab). Karenanya, kuda-kuda itu oleh nabi Sulaiman dipotong atau disembelih untuk kemudian dipersembahkan kepada Allah. Nabi Sulaiman geram dan menyingkirkan kuda yang dicintai dalam hidupnya untuk semata – mata dipersembahkan kepada Allah lantaran telah membuat lupa melakukan kewajiban sholat.

Kontekstual Ayat

Konteks dari ayat dalam surah Shad yang mengandung kisah Nabi Sulaiman di atas membuka sebuah cakrawala berpikir tentang konsep cinta yang sejati dalam islam. Sebuah tawaran cara berpikir dari Al Quran tentang cara mencintai dunia melalui kisah sosok nabi yang memiliki kerajaan megah dalam sejarah. Oleh sebabnya, jika berlandasan pada dua tafsiran ayat dari dua sosok mufassir salaf dan khalaf tadi maka didalamnya mengandung sebuah pengajaran bahwa cinta dunia juga bisa sebagai landasan bertauhid kepada Allah. Disamping juga memberikan hikmah tentang konsekuensi yang perlu disikapi ketika terhipnotis akan tipuan duniawi.

Oleh sebab itu, barangkali beberapa persoalan bangsa saat ini yang tidak teratasi seperti korupsi, kolusi, nepotisme, dan beberapa kasus kriminal yang lain lantaran salah memahami konteks duniawi. Kecintaan dunia dari beberapa elemen masyarakat yang terpupuk dari keserakahan membuat bangsa ini sakit. Sebabnya semakin negara ini maju, alih alih semakin damai, akan tetapi malah semakin banyak persoalan yang tidak terselesaikan. Semakin masyarakatnya pintar, moral yang seharusnya dijunjung malah menjadi kelas dua dalam perjalanan kehidupan kemasyarakatan. Bahkan menerapkan moral yang luhur, saat ini, dianggap sebagai batu sandungan menuju kesuksesan.

Penutup

Al Quran telah menjadi landasan dasar kehidupan yang tidak bisa ditawar lagi. Proyek proyek tafsir dari para ulama’ tidak ada habisnya untuk digali guna memahami konsep kehidupan secara utuh. Membaca dan mempelajari sejumlah karya dari para ulama’ mufassir dari berbagai generasi merupakan sebuah kazanah tersendiri dalam memperkaya dominasi intelektual muslim guna memahami agama. Selanjutnya Al Quran sebagai kitab suci pedoman kehidupan akan menjadi solusi dari sekian banyak persoalan. Tidak sekedar sebagai simbol politik dibalik topeng keserakahan.

Walhasil, tafsiran dari dua ulama’ mufassir tadi setidaknya ada dua poin yang menjadi catatan penting. Pertama dari tafsir Syaikh Nawawi terdapat hikmah bahwa kecintaan dunia bisa menjadi wasilah untuk mencintai Allah, kedua tafsir Syaikh Jalaluddin Al Mahalli memberikan hikmah tentang resiko terlalu berlebihan mencintai dunia serta cara bersikap ketika hal itu terlanjur terjadi. Dari kedua tafsir ini secara garis besar dapat disimpulkan mencintai dunia seperti harta, tahta, pasangan, dan anak, akan bernilai baik manakala dilandasi kekuatan dasar cinta kepada Allah, tidak sekedar nafsu belaka. Oleh karenanya, jika ditanya seperti apa cinta karena Allah maka ayat dalam surah shaad inilah jawabanya.

*) Alumni PPMU BAKID yang sedang Menempuh Studi Magister di UINSA Surabaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *