Silaturrahim: Bukan Membalas Kunjungan, Tapi Menyambung yang Putus

Oleh : Muhammad Faisol Ali, S.H *)

Silaturrahim dalam ajaran syariat Islam merupakan amalan utama karena mampu menyambungkan apa-apa yang tadinya putus dalam relasi hablum minannas. Belum lagi keutamaan dari amalan ini yang di antaranya dapat memperpanjang umur serta melapangkan rezeki.

Terkait substansi silaturrahim ini, Muhammad Quraish Shihab dalam buku karyanya Membumikan Al-Qur’an: Peran dan Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Mizan, 1999:317) mengungkapkan Sabda Nabi Muhammad.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: Laysa al-muwwashil bil mukafi’ wa lakin almuwwashil ‘an tashil man qatha’ak. (Hadits Riwayat Bukhari) Artinya: “Bukanlah bersilaturrahim orang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi yang bersilaturrahim adalah yang menyambung apa yang putus.” (HR Bukhari)

Dari Sabda Nabi Muhammad tersebut, jelas termaktub bahwa silaturahim menyambung apa yang telah putus dalam hubungan hablum minannas. Manusia tidak terlepas dari dosa maupun kesalahan sehingga menyebabkan putusnya hubungan. Di titik inilah silaturrahim mempunyai peran penting dalam menyambung kembali apa-apa yang telah putus tersebut.

Lebaran merupakan momen yang paling tepat jika di hari-hari lain belum mampu menyambungkan apa yang telah putus. Energi kembali ke fithrah turut mendorong manusia untuk berlomba-lomba mengembalikan jiwanya pada kesucian. Idul Fitri-lah yang mampu melakukannya. Meskipun disadari, silaturahim sesungguhnya tidak terbatas dilakukan ketika Idul Fitri tiba.

Manusia tidak mungkin harus menunggu berbulan-bulan hanya untuk meyambungkan apa yang telah putus. Hal ini didasarkan bahwa batas umur manusia tidak ada yang tahu. Tentu manusia akan merugi ketika nyawa tidak lagi dikandung badan namun masih menyimpan salah dan dosa kepada orang lain.

Dalam buku yang sama, Quraish Shihab menjelaskan arti silaturrahim ditinjau dari sisi bahasa. Silaturrahim adalah kata majemuk yang terambil dari kata bahasa Arab, shilat dan rahim. Kata shilat berakar dari kata washl yang berarti menyambung dan menghimpun. Ini berarti hanya yang putus dan terserak yang dituju oleh kata shilat itu.

Sedangkan kata rahim pada mulanya berarti kasih sayang, kemudian berkembang sehingga berarti pula peranakan (kandungan). Arti ini mengandung makna bahwa karena anak yang dikandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang.

Salah satu bukti yang paling konkret tentang silaturahim yang berintikan rasa rahmat dan kasih sayang itu adalah pemberian yang tulus. Sebab itu, kata shilat juga diartikan dengan pemberian atau hadiah.

Kisah Hikmah: Imam Adz-Dzahabi Mengisahkan Siksaan Orang yang Memutus Tali Silaturrahim

Nabi Muhammad SAW, bersabda:

إن الرحمة لا تنزل على قوم فيهم قاطع رحم

Artinya: “Sesungguhnya rahmat Allah tidak akan turun kepada suatu kaum yang di dalamnya ada orang yang memutuskan silaturahim”. (HR. Bukhari).

Dalam menjelaskan hadist di atas Imam Adz-Dzahabi dalam karyanya, Kitab Al-Kaba’ir  (Juz 1, hlm. 48- 49) mengisahkan tentang siksaan orang yang memutus silaturrahmi. Dikisahkan seorang lelaki yang kaya raya berangkat ke kota Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Ketika sampai di kota Mekkah ia bertemu dengan teman lamanya, lalu lelaki itu menitipkan uang sebanyak seribu dinar kepada-nya. Temannya tersebut adalah yang orang baik dan dapat dipercaya.

Setelah selesai menunaikan ibadah haji, lelaki itu hendak menemui temannya untuk mengambil titipannya, ternyata temannya itu sudah meninggal dunia. Lelaki itu bertanya kepada ahli waris  temannya terkait titipan uang seribu dinar, namun tidak ada satupun dari ahli waris yang mengetahui keberadaan uang itu.

Ahirnya lelaki itu mendatangi seorang tokoh ulama di kota Mekkah, dengan tujuan meminta nasehat dan masukan terkait masalah yang ia hadapi. Seorang ulama Mekkah menyarankan ketika tengah malam ia disuruh mendatangi sumur Zam-Zam dan disuruh memanggil nama temannya. Ulama itu berkata: “Jika temanmu termasuk ahli surga maka ia akan menjawabnya.”

Tampa pikir panjang lelaki itu menjalankan nasehat dan masukan yang diarahkan oleh ulama kota Mekkah. Ia datangi sumur Zam-Zam dan memanggil nama temannya, namun tidak ada jawaban dari panggilan itu. Datanglah lelaki itu kepada ulama kota Mekkah untuk yang kedua kalinya, dan ia menceritakan kegagalannya, bahwa tidak ada jawaban dari panggilannya ketika ia memanggil nama temannya di sumur Zam-Zam.

Ulama kota Mekkah menyatakan kepada lelaki itu, “Mungkin temanmu termasuk dari ahli neraka,” lalu ulama kota Mekkah itu menyarankan kepada lelaki itu untuk pergi ke kota Yaman, di Yaman ada sumur yang bernama “Barhut”. Sumur Barhut adalah mulut dari neraka Jahannam. Lelaki itu disuruh memanggil nama temannya di dekat sumur Barhut, jika panggilannya dijawab, berarti temannya termasuk dari  ahli neraka.

Ketika lelaki itu sampai di kota Yaman dan berhasil menemukan lokasi sumur “Barhut” Ia mencoba memanggil nama temannya itu, “Ya Fulan, Ya Fulan” panggilan itu, dijawab oleh temannya! Selanjutnya lelaki itu bertanya kepada temannya, ada dimana uang seribu dinar yang dulu aku titipkan kepadamu? Ia menjawab, “Aku kubur uangmu di rumahku, kalau dititipkan kepada anakku, aku takut anakku tidak amanah menjaga hartamu”.

Lelaki itu berkata: “Kenapa kamu ada di tempat ini (sumur Barhut) selama ini aku menyangka kepadamu, bahwa dirimu termasuk dari orang-orang  yang baik? Lalu ia menjawab, “Aku mempunyai saudara perempuan yang fakir, lalu aku usir, dan aku tidak merasa kasihan kepadannya, Allah menyiksaku disebabkan perilakuku terhadap saudariku, sehingga aku ditempatkan di tempat ini”.

Kesimpulan dari kisah di atas, Allah SWT akan mencabut rahmat dari hamba-Nya yang memutuskan tali silaturahmi. Hidup tanpa rahmat dari Allah SWT pasti akan menjadi kehidupan yang sulit dan penuh cobaan. Maka dari itu, peliharalah tali silaturahmi dengan sesama sebaik mungkin agar kamu tidak terputus dari rahmat-Nya. Wallahhu a’lam.

*) Guru MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *