Kembali ke Titik Nol

Oleh : Sahroni, S.Pd.I., M.Pd

Hari Raya Idul Fitri 1443 H bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati tiap Tanggal 2 Mei. Bukan sebuah kebetulan jika Hardiknas 2022 mengangkat tema: “Pimpin Pemulihan Bergerak untuk Merdeka Belajar” yang memiliki makna agar pendidikan nasional bertumpu pada fitrah penciptaan manusia untuk senantiasa berlaku baik menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Fitrah manusia yang memiliki segala potensi dapat dikembangkan melalui proses pendidikan. Sehingga dalam proses pendidikan, fitrah yang telah dibawa sejak lahir akan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam tumbuh kembangnya. Kemampuan-kemampuan itu senantiasa dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar – baik itu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, maupun lingkungan sosialnya (teman atau komunitas/kelompok) – sebagai bentuk mekanisme bertahan hidup. Lingkungan mampu mengubah fitrah secara drastis, yaitu ketika lingkungan sebagai tempat interaksi membentuk kepada pola pikir maupun perilaku.

Konsepsi pendidikan nasional yang kini di-branding dengan slogan “Merdeka Belajar” haruslah mampu mendekatkan manusia kepada Allah SWT sebagai bentuk ketauhidan. Sebagaimana dalam firman Allah QS. Al A’raf: 172. Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”.

Baca Juga :

ILMU PENGETAHUAN ADALAH FITRAH MANUSIA (MEMPERINGATI HARI PENDIDIKAN NASIONAL 2022)

Menyinggung tema Hardiknas 2022, “Pemulihan Bergerak” dalam konteks pendidikan juga wajib mencakup pembinaan dan mengembangkan seluruh potensi, baik potensi kecerdasan intelektual (Intelektual Questions), kecerdasan emosional (Emotional Questions), kecerdasan spiritual (Spiritual Questions), dan manajemen diri (self-managerial) secara efektif dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan. Dengan proses pendidikan, manusia mampu membentuk kepribadiannya secara utuh, mentransfer pengetahuannya untuk keberlangsungan hidup yang bermanfaat dan bermakna.

Namun jika tema “Pimpin Pemulihan Bergerak untuk Merdeka Belajar” disangkutpautkan dengan proses belajar-mengajar di lembaga pendidikan seperti sekolah/madrasah, penulis perlu membuat beberapa catatan-catatan sebagai pembanding untuk perbaikan pendidikan, yaitu:

Kurikulum

Kurikulum merupakan landasan aturan yang menjadi acuan bagi guru dalam proses belajar-mengajar. Namun dalam sejarahnya, permasalahan kurikulum ini kerap ditemukan, seperti:

  1. Pergantian menteri turut mengubah kurikulum tanpa ada evaluasi.
  2. Perubahan yang tidak memahami kebutuhan peserta didik.
  3. Perubahan yang dicanangkan kerap membawa resiko naiknya pembiayaan yang ditanggung oleh wali murid.

Dampak dari hal tersebut, antara lain:

  1. Peserta didik terbebani baik karena perubahan yang terlalu cepat maupun konsekuensi biaya yang ditanggung.
  2. Wali murid kesulitan untuk terlibat dalam proses pembelajaran dikarenakan perubahan drastis tersebut.
  3. Pendidikan kemudian menjadi sasaran kelompok kapitalis yang memanfaatkan perubahan kurikulum.

Hingga tahun 2004 sudah tujuh kurikulum yang ditetapkan. Dimulai dari Kurikulum 1947, Kurikulum 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1974, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, dan Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).

Pengelolaan Guru

Permasalahan lain menimpa pengelolaan tenaga pengajar itu sendiri. Beberapa diantaranya yang memprihatinkan, yaitu:

  1. Penempatan guru yang kurang merata di daerah, sehingga memunculkan problem kelangkaan dan kualitas.
  2. Program peningkatan kualitas mengajar selalu memerlukan biaya tambahan. Memberatkan guru di kawasan terpencil.
  3. Diskriminasi status yang berbeda seperti guru negeri, guru swasta, guru tidak tetap, guru honorer, dll.
  4. Minimnya kebebasan yang untuk berkreasi dan berkarya. Guru lebih mirip pegawai pemerintah ketimbang motor penggerak kemajuan yang seharusnya independen tanpa ada intervensi dari berbagai pihak.

Dampak yang ditimbulkan, antara lain:

  1. Guru lebih sering menjadi sasaran kebijakan tanpa pernah mempertimbangkan untuk dilibatkan dalam perumusan kebijakan.
  2. Guru seolah dipasung baik itu oleh kurikulum maupun kepentingan pihak luar (yayasan, instansi pemerintah, instansi swasta).
  3. Dalam beberapa hal, tampak guru seolah dipaksa menjajakan buku yang dikemas untuk pemenuhan kurikulum.
  4. Padatnya beban administrasi guru membuatnya kurang berkreativitas, terlihat minimnya budaya literasi (baca-tulis).
  5. Sering terjadi diskriminasi sikap dan perlakuan terkait status guru pedalaman, guru swasta maupun guru negeri khususnya di bidang kesejahteraan dan akses pelatihan-pelatihan.
Manajemen Pendidikan

Yang terakhir adalah persoalan manajemen pendidikan. Manajemen pendidikan yang salah tata kelolanya juga kerap menimbulkan problematika, seperti:

  1. Prinsip keuangan kurang transparan dan akuntabel. Jarang ada sekolah yang mau dengan suka rela diaudit oleh pihak eksternal.
  2. Porsi alokasi biaya lebih condong pada pembelian barang dan bahan bangunan, sehingga mengesampingkan kebutuhan strategis yang diperlukan oleh guru semisal peningkatan softskill berikut kelengkapan pendukungnya dan peningkatan kesejahteraan.
  3. Minimnya kemitraan lembaga pendidikan dengan pihak luar. Selain itu, kemitraan yang terjalin seringkali tidak melalui mekanisme tender yang melibatkan komponen-komponen kemanfaatan jangka panjang.
  4. Zona nyaman dirasakan oleh pemangku-pemangku kepentingan yang bermental korup karena mendapatkan aliran dana turut menghambat pertumbuhan dan kemajuan lembaga pendidikan.

Dampak dari hal tersebut, umumnya:

  1. Potensi pemborosan. Mulai muncul pungutan-pungutan yang dialami guru maupun peserta didik.
  2. Adanya peluang aktivitas korupsi yang membuat penyelenggaraan pendidikan mengalami inefisiensi dan salah kelola.
  3. Lembaga pendidikan bermegah-megahan namun tanpa adanya penguatan sumber daya manusia (SDM) yang berkesinambungan, tidak memberikan porsi lebih untuk membuat keputusan berani membuat inovasi, dan menyia-nyiakan waktu berkutat pada administrasi karena kebiasaan tidak tertib administrasi.
  4. Lembaga pendidikan menjadi ajang eksploitasi penindasan (bullying) dan berbagai praktik kecurangan yang dijalankan oleh banyak pelaku “bisnis pendidikan”.
  5. Pendidikan kemudiaan jauh dari tujuan mencerdaskan anak bangsa dan melayani kebutuhan esensial peserta didik, melainkan melacurkan diri pada kapitalis dan politikus di dunia pendidikan.

Dapat dikatakan jika catatan di atas merupakan problematika pendidikan nasional yang semoga dengan “Merdeka Belajar” dapat diselesaikan. Berkah Ramadhan dan marwah Idul Fitri yang “kembali fitrah” membuat pendidikan nasional menjadi pondasi kemajuan bangsa dan negara Indonesia sehingga mampu mewujudkan Indonesia Emas yang ketika itu terjadi angkatan produktif Indonesia mampu berkiprah dan berkontribusi dalam menciptakan kehidupan yang ideal, gemah ripah loh jinawi.

Selamat Hari Pendidikan Nasional 2022, Pimpin Pemulihan Bergerak untuk Merdeka Belajar

*) Kepala MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid

Leave a Reply