logo_mts192
0%
Loading ...
Pertemanan

Karya: Cahya Maulida Bahri *)

Di sebuah sekolah bernama SMA Pelita Raya, terdapat dua sahabat karib bernama Karinna Saputri dan Sellyiana Anggun. Keduanya seperti dua sisi mata uang: Karin, si cerdas nan pendiam, dan Anggun, si cantik yang selalu menjadi pusat perhatian. Meski berbeda, keduanya sangat akrab, bak kakak dan adik.


Awal Cerita di Kelas

Hari itu, pelajaran Bahasa Inggris sedang berlangsung di kelas 11H.
“Baiklah, anak-anak! Apa Bahasa Inggrisnya ‘murid di dalam kelas’?” tanya Bu Rina, guru Bahasa Inggris yang terkenal ramah tapi tegas.

Sebuah tangan mungil terangkat di tengah kelas. “Student in the class, Bu!” jawab Karin dengan percaya diri.

Senyum bangga terukir di wajah Bu Rina. “Bagus sekali, Karin. Kamu memang selalu cepat menangkap materi.”

Karin tersipu malu. Teman-teman sekelasnya mulai berbisik-bisik, memuji betapa pintar gadis itu. Sebaliknya, Anggun, sahabatnya yang berada di kelas sebelah, dikenal karena kecantikan dan popularitasnya. Meski berbeda kelebihan, Karin dan Anggun selalu melengkapi satu sama lain.


Istirahat di Rooftop

Bel istirahat berbunyi. Suara riuh siswa-siswi memenuhi lorong-lorong sekolah. Karin, dengan langkah cepat, menuju kelas 11G untuk menjemput Anggun.

“Anggun! Ayo kita ke rooftop. Aku butuh udara segar,” ajak Karin sambil melambai ke arah sahabatnya.

Anggun keluar dari kelas dengan senyum cerah. “Ayo! Aku juga butuh tempat yang tenang.”

Di rooftop, angin sepoi-sepoi mengusap lembut wajah mereka. Langit biru yang cerah menjadi latar sempurna obrolan santai mereka. Namun, di tengah tawa, Karin tiba-tiba menghentikan pembicaraan.

“Anggun, kamu dengar itu? Sepertinya ada yang minta tolong,” katanya sambil memicingkan mata.

Anggun menajamkan pendengarannya. “Iya, aku dengar. Ayo kita cari!”

Mereka bergegas menyusuri suara tersebut. Setelah beberapa menit, mereka menemukan seorang gadis yang dikelilingi tiga anak lelaki di sudut taman sekolah. Gadis itu tampak ketakutan, sementara ketiga anak itu menertawakannya.

“Hei! Kalian berhenti membully dia!” teriak Anggun dengan nada tinggi.

Ketiga anak itu menoleh. Salah satunya berkata dengan santai, “Memangnya kenapa kalau kami membully dia?”

“Itu perbuatan tidak baik! Berhenti sekarang juga!” Karin menimpali dengan tegas.

Setelah menyadari bahwa Anggun adalah anggota OSIS, mereka segera kabur dengan wajah panik.

Karin mendekati gadis yang dibully. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut.

Gadis itu mengangguk pelan. “Terima kasih, Kak, sudah menolongku.”

“Oh iya, namamu siapa? Aku Anggun, dan ini Karin,” tanya Anggun sambil tersenyum.

“Aku Maharani, tapi panggil saja Rani,” jawab gadis itu.

“Baiklah, Rani. Yuk kita ke UKS, takutnya kamu ada luka,” ajak Karin. Awalnya Rani menolak, tapi setelah dibujuk, ia pun menurut.


Awal Keretakan

Keesokan paginya, Karin tiba lebih awal karena jadwal piket. Setelah selesai membersihkan kelas, ia duduk di taman untuk belajar sambil menikmati camilan.

Tak lama kemudian, Anggun datang bersama Rani. Mereka terlihat akrab, tertawa-tawa sambil berjalan ke arah taman.

“Selamat pagi, Karin!” sapa Anggun ceria.
“Eh, selamat pagi, Anggun! Hai juga, Rani,” jawab Karin ramah.

“Eh, Karin, sebenarnya tadi aku mau ajak kamu piknik bareng. Tapi, ya, kami sudah janji duluan,” ucap Anggun sedikit ragu.

Karin tersenyum tipis. “Nggak apa-apa kok. Aku juga lagi sibuk belajar.”

Namun, saat mereka pergi, Karin melihat sekilas Rani berbisik sesuatu kepada Anggun. Rani menoleh ke arah Karin dengan tatapan tajam, membuat hati Karin merasa tak nyaman.


Konflik di Kantin

Saat istirahat, Karin pergi ke kantin. Ia melihat Anggun dan Rani duduk bersama, tertawa riang sambil menikmati camilan. Dengan senyum, Karin mendekati mereka.

“Hai!” sapanya.

Namun, kedua gadis itu tiba-tiba terdiam. Anggun menatap Karin dengan ekspresi tak biasa.
“Karin, ternyata kamu nggak sebaik yang aku kira,” ucap Anggun dingin.

Karin tertegun. “Apa maksudmu, Anggun? Aku nggak ngerti.”

“Jangan pura-pura! Kalau kamu nggak mau jujur, pergi saja!” kata Anggun tegas.

Rani berbisik pelan, tapi cukup keras untuk didengar Karin. “Anggun, ayo kita pergi saja. Aku nggak nyaman kalau dia ada di sini.”

Mereka berdua meninggalkan Karin tanpa penjelasan, meninggalkan perasaan hancur di hati sahabatnya itu.


Puncak Konflik

Hari berikutnya, Karin mencoba menemui Anggun untuk menjelaskan. Namun, ia dihadang oleh Rani.

“Jangan mendekati Anggun lagi,” ujar Rani tajam.
“Kenapa? Aku kan sahabatnya,” protes Karin.

“Kamu itu nggak pantas jadi sahabat Anggun. Kamu cuma anak culun yang nggak tahu diri!” teriak Rani.

Sebelum Karin sempat merespons, Rani mendorongnya hingga Karin terbentur tembok. Kepala Karin terluka, darah mengalir dari dahinya.

Dengan liciknya, Rani mengambil darah Karin dan mengoleskannya ke wajahnya sendiri. Lalu, dia berlari ke kelas Anggun sambil menangis, berpura-pura terluka.

Karin mengejarnya, tetapi terlambat. Anggun sudah percaya pada kebohongan Rani.

“Anggun, dengarkan aku! Itu tidak seperti yang kamu pikirkan,” pinta Karin.
“Sudah cukup, Karin! Aku tidak butuh penjelasanmu lagi. Persahabatan kita selesai!” ucap Anggun sambil berlalu pergi.


Akhir yang Tak Terduga

Karin pergi ke rooftop untuk menenangkan diri. Air matanya jatuh tanpa henti. Namun, tiba-tiba, tiga anak yang pernah membully Rani muncul.

“Eh, kamu kenapa?” tanya salah satu dari mereka.

Karin akhirnya menceritakan semuanya. Mendengar cerita itu, mereka merasa bersalah atas perlakuan mereka sebelumnya.

“Jangan sedih, Karin. Teman sejati nggak akan meninggalkanmu. Kalau Anggun nggak bisa lihat kebaikanmu, kami bisa jadi temanmu,” ujar salah satu dari mereka, Alana.

Karin tersenyum kecil. “Terima kasih, kalian.”

Dari kejadian itu, Karin belajar bahwa teman sejati bukan hanya tentang popularitas, tetapi tentang siapa yang tetap tinggal saat yang lain pergi.


Pesan Moral:
Janganlah memilih teman hanya karena penampilan atau status. Sahabat sejati adalah mereka yang selalu mendukungmu di saat senang maupun susah.

*) Siswi Kelas VII MTs. Miftahul Ulum 2 Banyuputih Kidul

Share the Post:

Join Our Newsletter