Manifesto Peran Bendahara


Oleh: Kawakib Nurul Jinan, S.H *)

Selayaknya anggota badan, sebuah organisasi/lembaga ada beragam bentuk struktural dan jabatan fungsional guna menunjang kinerja organ tubuh organisasi/lembaga itu sendiri. Terlepas bagaimana model strukturnya, ada pejabat inti yang mesti melekat pada sebuah organisasi/lembaga. Pejabat inti itu ialah kepala/pimpinan, sekretaris, dan bendahara.

Tulisan ini tidak akan membedah mengenai seluk-beluk organisasi/lembaga, tetapi akan menceritakan pengalaman penulis menjalani peran sebagai bendahara lembaga. Walaupun peran ini identik dengan uang dan keuangan, bagi penulis, tugas bendahara lebih kompleks daripada itu. Pembaca dapat menganggap bahwa tulisan ini sekedar refleksi, curhatan, atau manifesto penulis.

Tidak salah jika ada persepsi yang menyatakan bahwa bendahara identik dengan hal-hal yang berkaitan dengan uang. Hampir semua orang juga sudah tidak asing dengan istilah bendahara dan menganggap kami sebagai pengurus keuangan, baik itu di level organisasi kecil, perusahaan atau bahkan negara. Sudah menjadi rahasia umum pula bahwasanya tugas bendahara hanyalah menerima, menyimpan, mendistribusikan, dan mengatur keuangan organisasi/lembaga. Padahal menurut penulis, tugas dan tanggung jawabnya bukan hanya sekedar mengurus hal itu saja. Ada kompleksitas teknis saat tugas itu dijalankan, bahkan semakin besar organisasinya, maka semakin berat juga tanggung jawab yang diembannya.

Baca Juga

BAHAYA LATEN KORUPSI

Selain menerima, mengatur, menyimpan, dan mendistribusikan keuangan organisasi/lembaga, tugas lainnya adalah menyusun rencana pengeluaran anggaran belanja organisasi/lembaga dalam satuan waktu tertentu. Bagi penulis, tugas ini satu hal yang menyulitkan. Bagaimana menganggarkan, komunikasi dengan tim pelaksana kegiatan selaku pengguna anggaran dan kemudian “menagih” laporan keuangan, merekapitulasi semua anggaran kegiatan, dan lain sebagainya cukup membuat tensi emosional naik-turun.

Tugas lain yang melekat pada bendahara yaitu kewajiban untuk membuat pembukuan yang akuntabel dan transparan kemudian melaporkannya. Hal ini berguna untuk mengorganisir keuangan agar dapat dimonitoring dari waktu ke waktu sehingga dipercaya keabsahannya. Seringkali kegiatan ini mengalami revisi-revisi karena ketidaksesuaian format pembukuan, ketidakcocokan nominal yang tertera di proposal dan laporan pertanggungjawaban, ketidaktelitian menginventarisir pemasukan maupun pengeluaran, selipan data yang membuat rumus tidak sinkron, dan masih banyak hal lain yang membuat penulis meninggalkan jam tidur.

Dari catatan penulis, laporan pembukuan lembaga/organisasi satu hal penting yang harus ada. Laporan yang akuntabel dan transparan dapat mengetahui apakah suatu program layak diteruskan atau tidak dengan menimbang besaran biaya yang dikeluarkan, baik penyusutannya jika itu berupa barang atau pengaruh/dampak yang ditimbulkan jika itu berupa jasa. Laporan ini pula juga sebagai pedoman manajemen untuk memberikan kepercayaan pada individu-individu pelaksana program, apakah ia melakukan efisiensi kinerja dengan anggaran yang ada atau malah justru pemborosan pada hal-hal yang tidak ada urgensinya. Prinsipnya, arus keuangan yang akuntabel, transparan, tertib, rapi, dan sehat dapat menjadi pondasi kekuatan lembaga untuk berdaya mensupport kegiatan-kegiatan yang telah dicanangkan sejak awal. Bahkan para analis profesional menilai pembukuan perbendaharaan ini adalah kunci utama untuk mengevaluasi kinerja lembaga secara proporsional.

Dapat penulis simpulkan bahwa menjadi bendahara sangatlah sulit, dibutuhkan banyak kemampuan untuk menunjang tugas ini. Meskipun demikian, penulis mencoba memberikan yang terbaik agar kinerja lembaga di sektor keuangan dapat optimal. Dengan segala kelemahan kompetensi yang penulis miliki, beruntung bertemu dengan orang-orang yang mau membantu dan mengajarkan pengetahuan-pengetahuan perbendaharaan dan ilmu lain yang dapat menunjang efektivitas tugas bendahara. Bahkan, ada yang berkenan menjadi mentor dan ada pula yang mau mengaudit kinerja yang penulis lakukan. Bagi penulis, hal itu bantuan yang sangat berharga bagi peningkatan kompetensi.

Lebih lanjut tentang kecakapan mengelola keuangan, sustainable development dari pemerintah maupun dari perkumpulan negara-negara adidaya pun ternyata mewajibkan setiap individu memiliki kapasitas literasi keuangan terutama dalam hal pengelolaan. Betapa uang dan keuangan jika dibahas dalam suatu forum di publik selalu menjadi isu sensitif bagi mereka yang kurang memiliki pemahaman literasi keuangan, tetapi bagi individu yang memiliki kapasitas dan kapabilitas serta kontrol diri yang baik, uang dan keuangan adalah bahan bakar agar lembaga/organisasi bekerja. Individu seperti itu menempatkan keuangan pada fungsinya (memfungsikan) bukan pada sekedar aset. Sehingga sensitivitas yang melibatkan emosional dapat dikesampingkan.

Sulit memang jika suatu tugas hanya dibayangkan saja, tetapi akan menyenangkan dan menantang saat tugas itu dapat diselesaikan satu per satu. Itulah yang penulis alami, walaupun awalnya kebingungan saat diamanahkan menjadi bendahara, penulis hanya berangkat dari alur yang telah ditetapkan lembaga mengenai perbendaharaan. Justru sejujurnya, role model penulis menjadi bendahara ialah ibu dengan segala sifatnya yang melekat.

Baca Juga :

BELAJAR DARI KEMENANGAN ARGENTINA – PART 1

Bahkan di Hari Ibu kemarin, sengaja penulis luangkan waktu sehari penuh untuk merefleksikan tugas perbendaharaan dengan peran seorang ibu.

Peranan ibu yang selalu bisa mengurus segala keperluan anggota keluarga bagi penulis adalah contoh praktis untuk dipraktikkan menjadi bendahara terampil. Bayangkan saja, ibu ibaratnya menteri keuangan (bahkan menteri segala urusan) dalam keluarga itu harus mampu mengatur keuangan keluarga agar dapat mencukupi kebutuhan hidup anggotanya setiap harinya. Lihatlah ia melakukan tawar-menawar dengan pedagang sayur maupun daging, menganggarkan uang saku, dana kesehatan dan pengeluaran tak terduga, tabungan anak sekaligus hari tua, menyisihkan infaq serta zakat, dan lain sebagainya.

Tiga poin penting yang penulis refleksikan saat itu adalah kemampuan ibu dalam komunikasi keuangan dengan anggota keluarga, membuat pos anggaran belanja/pengeluaran, membukukan arus keuangan, melakukan evaluasi berkelanjutan, dan banyak dari para ibu membantu memperbesar kran pemasukan keuangan bagi keluarganya dengan berdagang maupun hal lainnya. Sungguh luar biasa peran strategis yang dijalankannya.

Satu hal lagi, jika boleh penulis ingat-ingat kembali ketika ada kesempatan berbincang dengan ibu mengenai peranannya sebagai “seseorang yang serba bisa”, ia menyampaikan petuah bahwa memang tidak mudah untuk menjadi orang baik tapi walaupun kesusahan kita melakukannya tetaplah berusaha berbuat kebaikan dimanapun berada.

Selayaknya frasa “Apa yang kamu tabur itulah yang akan kamu tuai!”, inilah realita yang nyata. Meskipun faktanya, seringkali kebaikan tidak selalu dibalas dengan kebaikan seketika itu juga dan oleh individu yang kita berikan kebaikan. Justru yang terjadi adalah kekecewaan karena tidak ada apresiasi walaupun itu sekedar terimakasih.

Prinsip nilai yang ada pada frasa tersebut seolah tidak sejalan apa yang kita alami. Namun, berjalannya semesta yang melibatkan kebahagiaan-kesedihan, pengharapan-kekecewaan, atau kebaikan-keburukan selalu melibatkan waktu (momentum) dan misteri ilahi yang mengharuskan kita untuk terus mengelaborasi dan merefleksikan segala kejadian akan menunjukkan bahwa kekekalan nilai pada frasa “Apa yang kamu tabur itulah yang akan kamu tuai!” benar adanya.

Seperti ibu-ibu petani yang menanam padi di permulaan masa tanam. Ia hanya yakini bahwa yang ditanamnya adalah biji padi, meskipun kenyataannya saat musim panen tiba ia juga mendapati banyak ilalang pengganggu yang turut tumbuh berusaha menghambat pertumbuhan padi. Dari hal tersebut penulis sadari, kita akan kesusahan untuk meyakinkan orang lain bahwa yang kita lakukan ini adalah sebuah kebaikan. Akan tetapi yang ada pada kendali diri kita yaitu memilih untuk melakukan kebaikan. Kita fokus saja pada kebaikan yang sedang diupayakan dengan sesekali “membersihkan ilalang” agar tidak meredupkan pertumbuhan kebaikan hingga saatnya musim panen itu tiba.

Sekali lagi, melalui tulisan yang dapat dianggap sebagai sekedar refleksi, curhatan, atau manifesto penulis ini bukan dimaksudkan untuk menggurui. Penulis berharap semoga manifesto ini dapat menjadi manfaat kebaikan, terutama agar penulis dapat lebih berguna bagi orang lain dan lebih bijak menyikapi segala situasi dalam hidup.

Salam produktif

*) Bendahara MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *