Oleh : Danang Satrio Priyono *)
Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) telah dicanangkan oleh pemerintah untuk mempercepat pemulihan akibat Covid-19. Gerak laju di segala lini tentunya membutuhkan sumber daya yang salah satunya adalah energi listrik, terlepas didapatkan dari energi fosil maupun energi terbarukan.
Negara melalui pemerintah perlu mengevaluasi sekaligus mengubah paradigma penyediaan akses energi, begitu juga definisi “akses energi”. Hal tersebut ditekankan karena adanya bias pengukuran dan definisi kualitas dan dampak akses listrik yang diterima masyarakat. Energi mutlak dibutuhkan agar individu maupun kelompok masyarakat di berbagai bidang dapat produktif dengan pemerintah yang memiliki kewajiban memberikan akses terhadap energi itu sendiri. Dalam konteks ini negara wajib mengupayakan kemandirian dan kedaulatan energi bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menargetkan akses listrik universal (100%) pada tahun 2020 (yang tertunda akibat pandemi dan menjadi target di tahun 2022). Sayangnya, kriteria tersebut hanya dihitung berdasarkan jumlah rumah tangga yang memiliki akses listrik, dibagi jumlah rumah tangga keseluruhan. Badan Pusat Statistik (BPS) menempatkan kriteria listrik hanya pada “sumber penerangan” dari PLN dan non-PLN. Kriteria ini dapat dikatakan bersifat biner, karena hanya ada dua kelompok masyarakat yang terwakilkan, yaitu: yang memiliki sumber penerangan listrik dan yang tidak. Kriteria pengukuran tersebut membuat rasio elektrifikasi tidak serta merta menunjukkan keandalan dan kualitas akses listrik di Indonesia.
Dibutuhkan banyak indikator (misalnya aspek kualitas dan penerimaan masyarakat di suatu daerah dan lain sebagainya) yang mewakili perspektif individu maupun kelompok masyarakat konsumen energi dan dampak yang mereka rasakan. Salah satu kriteria yang dapat dijadikan patokan yaitu kerangka akses listrik multi-tier framework (MTF) versi Bank Dunia. MTF mengklasifikasi akses listrik berdasarkan tier (tingkatan) – dimulai dari Tier 0 (tidak ada akses) hingga Tier 5 (akses penuh).
Tier diukur berdasarkan tujuh parameter, yaitu: kapasitas, ketersediaan, keandalan, kualitas, dan keterjangkauan. Ada pula parameter pendukung, yaitu: legalitas hukum, kesehatan, dampak lingkungan, dan keamanan dalam penggunaannya. Jika akses listrik negara ini diukur berbasis MTF, maka ketimpangan akses listrik terpampang jelas. Masyarakat yang surplus listrik karena tersambung pada PLN dan di perkotaan umumnya berada di Tier 4 atau Tier 5. Sedangkan kelompok lain yang sering mengalami pemadaman atau menggunakan LTSHE berada di tier lebih rendah.
Banyak kajian kelompok masyarakat yang hidup di kepulauan kecil atau yang hidup di topografi pegunungan atau pantai berbasis MTF menunjukkan mayoritas responden hanya menikmati akses listrik di Tier 1 dan Tier 2. Pada tingkatan ini, akses pengguna listrik negara sangat terbatas lantaran kualitas dan daya listrik yang diterima hanya cukup menyalakan peranti elektronik sederhana (seperti telepon genggam, penerangan rumah dan televisi) untuk kegiatan harian yang cenderung konsumtif. Sedangkan untuk industri rumahan cenderung tidak dapat digunakan karena seringkali terjadi pemadaman.
Padahal, Dialog Tingkat Tinggi tentang Energi yang diadakan oleh PBB memberikan rekomendasi akses listrik setidaknya di Tier 4 untuk bisa mendorong pembangunan dan kesetaraan yang dari hal tersebut dapat memacu laju percepatan pemulihan pasca pandemi. Menurut penulis, Indonesia perlu memanfaatkan momentum pencapaian 100% rasio elektrifikasi ini untuk menyusun program akses energi lanjutan yang mapan, terbarukan, berkualitas, dan berdampak nyata.
Perbaikan yang dimaksud penulis dapat diawali dengan perubahan definisi akses elektrifikasi yang jelas dan layak setidaknya tidak sekedar untuk kegiatan konsumtif tetapi dapat digunakan untuk kegiatan produktif, misalnya setara minimum Tier 3 (akses listrik secara moderat) dalam MTF. Selain itu, fakta dan data energi terbarukan telah mampu menjadi pilihan program kelistrikan mil terakhir (last miles) berbiaya paling rendah (least-cost) di berbagai belahan dunia, juga sebaiknya diprioritaskan di Indonesia untuk penyediaan akses listrik yang bersih, andal, adil, murah, dan berkelanjutan. Program penggantian generator diesel (dedieselisasi) menjadi pembangkit listrik energi terbarukan yang dirintis pemerintah dan PLN sejak akhir 2020 untuk penyediaan listrik di daerah terpencil harus diperluas cakupannya secara nasional.
Cara lain yang dapat diupayakan oleh individu maupun kelompok masyarakat untuk mendukung gerakan penyediaan listrik secara mandiri adalah pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap berkapasitas minimum 500 – 1.000 Wp (watt-peak) plus baterainya di rumah atau di gedung-gedung. Fasilitas ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan penerangan dasar dan penggunaan perangkat elektronik berdaya rendah dan menengah tidak hanya bagi masyarakat perkotaan tetapi juga dapat diaplikasikan kepada yang belum mendapat akses listrik, pelanggan yang jauh dari jaringan PLN, dan juga untuk pelanggan bersubsidi.
Strategi yang sama juga dapat diterapkan dengan kapasitas lebih besar untuk fasilitas publik, misalnya tempat peribadatan, sekolah dan lain sebagainya. Pesan yang ingin penulis sampaikan adalah elektrifikasi haruslah merata, adil, handal, dan mudah didapat serta mudah diaplikasikan sehingga pemulihan dapat lebih cepat dan bangkit dari segala kemunduran dapat pula lebih kuat jika negara kita tercinta ini berdaulat dalam bidang energi.
*) Waka. Humas MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid