Santri Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan (Memperingati HSN 2022)

Oleh : Zainul Ariffin, S.H *)

Hari Santri Nasional kembali diperingati, perayaan setahun sekali yang digelar tiap Tanggal 22 Oktober ini harus dimaknai secara mendalam dalam koridor kebangsaan. Tema besar yang diangkat adalah ‘Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan’, tema ini sekaligus merupakan tugas yang wajib diemban oleh santri hari ini dan di masa depan.

Santri memiliki peran kesejarahannya mampu memberikan kontribusi di masa awal kemerdekaan, yaitu menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, tantangan Indonesia di usia 77 Tahun ini semakin kompleks dengan adanya perubahan tatanan sosial kemasyarakatan global. Santri yang mengusung prinsip moderat harus menjadi pengurai masalah dan menciptakan solusi untuk melalui tantangan-tantangan yang membentang sebegitu banyaknya.

Masalah yang timbul akibat pandemi, masalah krisis iklim, masalah keamanan global, masalah teknologi informasi, masalah energi dan limbah, masalah tata kelola politik, serta masalah resesi ekonomi yang berakibat memperlebar jurang kemiskinan adalah sederet batu besar yang membebani bangsa dan negara ini. Bukan tidak mungkin jika hal itu tidak diselesaikan secara bersama akan menjadi trigger timbulnya chaos baik secara individual maupun secara sosial.

Langkah realisasi yang dapat dilakukan santri yaitu dengan berpijak pada keteladanan yang telah diajarkan oleh para ulama dan kyai. Keteladanan yang mensifati sikap, perilaku, dan pemikiran positif seharusnya mampu menempatkan segala suatu perkara berdasarkan konteksnya. Keteladanan ini akan melahirkan santri-santri humanis – dalam scope seorang santri dicontohkan oleh Kyai Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dari sini dapat disimpulkan bahwa satu-satunya jalan untuk menjaga martabat kemanusiaan hanyalah melalui humanisme, sekaligus untuk meng-counter efek domino dari masalah yang mengarah pada kehancuran psikososial.

Sosok Gus Dur merupakan perwujudan ideal seorang santri yang mengusung filsafat humanisme. Ia menempatkan kepentingan pribadi jauh di belakang kepentingan kebangsaan dan sosialnya. Dalam satu kisah di awal ia menjabat kepala negara, Indonesia kala itu mengalami situasi politik dalam negeri yang porak-poranda akibat krisis ekonomi 1998 dipandang sebagai kue tart yang bisa dibagi-bagi lalu siap disantap bagi bangsa asing. Gus Dur yang seorang santri paham betul apa yang akan terjadi pada masyarakat di semua tataran sosial jika Indonesia dikuasai asing segera melakukan langkah strategis dengan mengunjungi negara-negara yang dianggapnya berpotensi menjadi kawan atau lawan bagi Negara Indonesia. Ia rela dicaci-maki karena plesiran ke berbagai negara, tapi tidak banyak orang yang tahu bahwa yang dilakukannya adalah kunjungan politik hubungan internasional untuk mengamankan Indonesia dari target hegemoni bangsa asing. Namun, jika tidak ‘diamankan’, negara manapun akan mengerahkan segala kekuatannya untuk berperang memperebutkan tanah surgawi ini. Seandainya perang itu terjadi, maka rakyat Indonesia-lah yang menjadi korban.

Berkaca pada situasi terburuk yang dapat dialami Bangsa Indonesia, santri hari ini dan di masa depan harus mampu berpikir secara global selayaknya etos perjuangan kemanusiaan (humanisme) yang direfleksikan dalam diri Gus Dur. Bagi Gus Dur, kemanusiaan harus diwujudkan melalui upaya pemenuhan hak dasar manusia di dalam kerangka kehidupan sosial dan bernegara yang adil. Titik tolak santri untuk menjaga martabat kemanusiaan, yaitu: Pertama, memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia kepada siapapun dan tanpa tendensi apapun; Kedua, mengembangkan struktur masyarakat yang adil, minimal bersikaplah adil dimanapun berada; Ketiga, mengupayakan perilaku kebaikan (produktif) secara individual maupun berjamaah; Keempat, merawat komunikasi (silaturahim) dengan siapapun dan kaderisasi santri berakhlak mulia yang berfokus pada generasi open-minded dengan isu-isu global.

Santri humanisme akan menempatkan pemenuhan kebutuhan individual dalam kerangka pembentukan kebaikan bermasyarakat. Secara individu, santri bukanlah pusat realitas (keakuan/egosentrisme) karena setiap individu yang lahir dan ada/eksis akan ditemukan dalam konteks kemasyarakatan yang menyeru dan memberikan keteladanan. Pemuliaan/penghormatan individu akhirnya menjadi bagian dari pemuliaan nilai-nilai kebaikan yang berjalan beriringan dalam kultur budaya kebangsaan, yaitu individu dapat berperan di dalamnya. Humanisme merupakan senjata perjuangan santri agar berdaya.

Harus lahir para pejuang kemanusiaan sejati sebagai wujud pengejawantahan nilai-nilai Islam. Selamat Hari Santri Nasional 2022, santri berdaya menjaga kemanusiaan!

*) Waka. Kesiswaan. MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid

Leave a Reply