Oleh: Abdul Hamid, S.Pd *)
Masyarakat Indonesia mengisi momen lebaran dengan beragam perilaku, mulai makan kupat dan lontong dengan berbagai kuah rempah khas Indonesia yang syarat filosofi, beranjangsana ke kerabat dan tetangga, berekreasi ke tempat wisata, membagi amplop berisi uang, atau sekadar berkirim ucapan selamat berlebaranan dan permohonan maaf melalui gawai elektronik dibantu distribusinya melalui media sosial kekinian.
Dari catatan penulis yang menghimpun dari sumber-sumber yang ada, sebagian kegiatan lebaran merupakan tradisi turun-temurun dari lebaran masa lampau. Misalnya, kupatan yang dipopulerkan Sunan Kalijogo kemudian menjadi kekhasan tersendiri bagi muslim Indonesia terutama Muslim di Pulau Jawa-Madura.
Berikut ini cara komunitas muslim di Jawa Timur merayakan lebaran sekira setengah hingga satu abad lampau di beberapa kota hingga kemudian ada penambahan maupun pengurangan kegiatan hingga di masa kini.
Banyuwangi dan sekitarnya
Di pagi hari, cara Suku Osing beragama Islam mengisi lebaran tidak berbeda dengan kebanyakan orang di lain tempat, pergi sembahyang ke masjid atau tanah lapang. “Tetapi perayaan yang menarik dan meriah ialah sesudahnya, dan biasanya dilakukan sore hari,” catat Terang Boelan, Nomor 7-8, 1954.
Wong Osing meramaikan jalan-jalan protokol antara ba’dha ashar hingga menjelang maghrib. Mereka menggelar arak-arakan kendaraan dokar, sepeda, dan mobil open kap yang dihias pernak-pernik. Kebanyakan pesertanya perempuan remaja dan sisanya anak-anak lebih kecil dari mereka yang tugasnya melengkapi semarak arak-arakan itu.
Kemudian para pemuda berjejer di tepi jalan menyaksikan. “Akibat yang biasanya menyusul dari arak-arakan itu ialah sesudah selesai perayaan Idul Fitri banyak terjadi di sana-sini pertunangan,” lebih lanjut tulis Terang Boelan. Jadi, arak-arakan ini media bertemu dan bertatap pemuda-pemudi, juga sarana untuk bergaul mengenal pribadi masing-masing sebelum dilangsungkan pernikahan jika memang ada jodoh di antara mereka. Sederhananya, jika saling tertarik satu sama lain di arak-arakan itu, para gadis dan lelaki bujang boleh melanjutkan ke hubungan lebih lanjut. Tak jarang mereka langsung menikah beberapa hari selepas lebaran.
Surat kabar Terang Boelan tak bisa memastikan sejak kapan tradisi ini bermula. Tapi mereka menyebut kebiasaan ini berakar dari karakter Wong Osing Muslim yang patuh dan taat. Para orangtua berembuk mencari waktu tepat bagi para gadis dan lelaki bujang untuk saling bertemu dan bergaul. Hari itu ialah lebaran pada Bulan Syawal dalam kalender Islam. “Bulan Syawal adalah bulan yang baik untuk melangsungkan perkawinan atau pertunangan,” ungkap Terang Boelan.
Surabaya dan sekitarnya
Selepas maghrib, suara letusan dinamit terdengar di Surabaya, sehari menjelang 1 Syawal. Bunyi itu penanda puasa Ramadhan telah berakhir. Lepas tiga kali letusan, takbir berkumandang dari masjid dan surau-surau. Sejumlah orang tua dan perempuan-perempuan paruh baya pergi ke perempatan, sudut jalan maupun gapura gang, dan tempat-tempat yang jarang dikunjungi orang untuk menabur kembang sesajen sebagai berbagi dengan sesama makhluk lintas dimensi. Ada pula yang bersedekah kepada hewan-hewan yang tanpa majikan.
Pada malam itu, setiap rumah terutama di kampung, mengundang siapapun warga untuk datang ke rumah mereka. Sekadar kongkow menikmati hidangan nasi kuning lauk lengkap, gulai ayam, apem, serabi, petulo kacang hijau, kue kukus, dan wedang hangat. “Selamatan ini dimaksud untuk malam penutup,” dalam “Masjarakat Surabaja di Hari Lebaran”, termuat di Terang Boelan, Nomor 7-8, 1954.
Pada pagi harinya, masyarakat Surabaya beribadah sunnah seperti umat Islam lainnya. Selepas tegak sholat Ied, mereka membaur ke luar rumah untuk bersilaturahmi. Anak-anak kecil berharap mendapat picisan uang dari orang dewasa, setidaknya cukup membuat girang hati anak-anak. Pemuda maupun pria paruh baya yang berkecukupan ekonominya memberikan sejumlah uang untuk orang tua maupun kerabat mereka yang usia lanjut.
Meskipun banyak yang bersilaturahmi, tetapi masih terdengar pula suara bumbung mercon yang desainnya disamakan dengan meriam kompeni. Bumbung ini terbuat dari bambu tua yang jauh-jauh hari didiamkan tenggelam di air agar makin kokoh menahan letupan. Panjangnya dua meteran. Ada lubang kecil di punggung pangkalnya untuk diisi karbit sekaligus menyulut letupan. Para pemuda utamanya yang melakukan aksi menyulut bumbung karbit itu dengan api, lalu bunyi bum bum keluar dari mulut bumbung. Dimainkan di tanah lapang, sawah, atau di puncak curah memberikan efek suara dramatis seperti perang sedang berkecamuk.
Orang Surabaya menyalakan bumbung untuk dua alasan: merayakan lebaran dan berlomba antar kampung atau desa layaknya perang. Bumbung siapa paling kencang, dialah pemenang. Yang bunyinya mendem, harus siap menerima ejekan.
Selepas silaturahmi dan puas mainan mercon bumbung, Kebun binatang Surabaya dan Pantai Kenjeran adalah destinasi favorit yang akan dipadati warga Surabaya. Mereka berwisata menghabiskan waktu bersama, bercampuran dengan penjaja asongan, para tukang copet, dan pengemis yang coba mengais sedikit peruntungan di hari-hari lebaran.
Blitar dan sekitarnya
Jurnalis dan penulis buku-buku biografi tokoh nasional kelahiran Blitar Soebagijo Ilham Notodidjojo, pernah mencatat perayaan lebaran di Blitar pada sekitar Tahun 1900-an hingga Tahun 1950-an dalam “Lebaran Setengah Abad yang Lalu”, termuat di Terang Boelan edisi lebaran 1955.
Ia mengisahkan tradisi baru warga Blitar berkirim ucapan selamat lebaran dan permintaan maaf melalui kartu atau surat. “Adapun yang menjadi sebab-musababnya banyak sekali. Entah karena soal pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkannya. Entah disebabkan karena lain soal lagi,” tulis Soebagijo. Kartu dan surat lebaran menjadi pengganti berhalangannya hadir di tengah-tengah perayaan lebaran.
Tradisi lama masyarakat Blitar ialah ngabekti dan nyuwun pangestu. Ngabekti berarti sungkem, bersujud, dan mencium kaki orang tua; Sedangkan nyuwun pangestu berupa permohonan minta doa restu dari orang tua. Jika orang tua telah meninggal, umumnya masyarakat berkunjung ke pusaranya tepat setelah turun melaksanakan sembahyang Ied, dan tentu saja sehari sebelumnya di sore hari telah dibersihkan makam tersebut.
“Pada masa dahulu sekira setengah abad yang lalu, orang yang ngabekti kepada orang tua itu tidak anak cucu saja, tetapi juga sanak saudara yang jauh,” ungkap Soebagijo. Kedatangan kerabat jauh bertujuan untuk mempererat lagi hubungan emosional di antara keluarga. Para orang tua biasanya akan menjelaskan silsilah dan hubungan kekerabatan anak-cucu dengan kerabat jauh tersebut sehingga mereka saling mengenal dan bisa memperluas persaudaraan serta yang terpenting tidak kepaten obor.
Selain ngabekti dan nyuwun pangestu yang telah melekat pada tradisi Jawa secara umum, masyarakat Blitar pernah punya tradisi rampog’an ketika lebaran tiba. Rampog’an berarti beramai-ramai berburu dan membunuh harimau dengan tombak, ada pula yang menggantinya dengan babi hutan.
Tradisi rampog’an berlangsung sejak abad ke-19 dan mengambil tempat di alun-alun kota selepas sholat Idul Fitri. Tapi pada 1905, pemerintah kolonial melarangnya. “Menurut kata setengah orang, pemerintah Hindia-Belanda takut kalau orang Jawa menjadi pemberani semua jika budaya ini dilestarikan,” tutup Soebagijo.
Sebenarnya masih ada corak ragam bentuk perayaan lebaran dari daerah lainnya dan daerah-daerah pesisir utara Jawa Timur yang tentunya memiliki kekhasan beda dengan daerah lain. Namun, apapun itu, momen lebaran adalah hari bahagia penuh syukur dan semangat memulai laku kebaikan.
*) Guru IPS MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid