Karya : Shinta Fairuzzuhro *)
Dipaksa kuat oleh keadaan. Kesepian di tengah kesunyian. Tenggelam dalam kemandirian ketika teman-teman sebayanya berenang di lautan kasih sayang. Yujin hanya ditemani suara bising jalanan yang terdengar dari dalam rumahnya. Teman hanyalah sekadar khayalan baginya. Tinggal bersama kedua orang tua lengkap hanyalah mimpi yang datang setiap malam. Namun, Yujin tetap berusaha menyusun satu per satu mimpinya, karena ada satu sosok yang selalu menjadi penyemangat dan penyedia kasih sayang tanpa batas baginya—Victor, bibinya.
Sejak Yujin belum bisa berbicara ataupun melangkahkan kakinya, Victor telah merawatnya seorang diri. Kedua orang tua Yujin telah lebih dulu pergi ke surga. Waktu berlalu, Yujin tumbuh menjadi remaja mandiri. Sehari-hari ia tinggal sendiri di rumah karena Victor sibuk bekerja sebagai produsen robot terbesar di negeri mereka.
Melihat keponakannya yang sering kesepian, Victor pun memiliki ide untuk mengusir kesendirian Yujin. Dengan keahliannya, ia menciptakan robot yang dirancang khusus untuk menemani Yujin sepanjang hari. Robot itu diberi nama Direy.
Saat pertama kali diperkenalkan, Yujin ragu apakah robot itu benar-benar bisa menjadi temannya. Awalnya, Direy terasa kaku dan tidak asyik diajak berbicara. Namun, seiring waktu, hubungan mereka semakin erat, layaknya sahabat sejati. Yujin menjadikan Direy sebagai tempat berbagi keluh kesah, tangisan, serta candaannya. Yang mengejutkan, Direy selalu merespons layaknya seorang teman sungguhan.
Suatu hari, Victor menyadari bahwa Yujin tidak hanya membutuhkan teman, tetapi juga perlindungan. Maka, ia memberi pesan khusus kepada Direy, “Ingat, tugasmu bukan hanya menjadi sahabat Yujin, tapi juga melindunginya dari segala bahaya!”
Namun, sebagai robot, Direy hanya mampu memahami perintah secara harfiah. Kalimat itu tertanam permanen dalam memorinya, menjadi prinsip yang mengendalikan tindakannya.
Suatu siang, seorang tetangga seumuran Yujin datang ke rumah untuk bermain. Saat ia ingin meminjam boneka kesayangan Yujin, gadis itu merasa risih. Sebelumnya, tak ada seorang pun yang pernah menyentuh barang pribadinya, kecuali Victor. Direy, yang selalu mengamati gerak-gerik Yujin, langsung menganggap situasi itu sebagai ancaman.
Tanpa berpikir panjang, Direy merampas boneka itu dari tangan si tamu dan mendorongnya hingga terjatuh. Anak itu kaget, merasa ada sesuatu yang tidak beres, lalu berlari keluar rumah. Namun, Direy tak tinggal diam. Ia mengejar dengan kecepatan yang tak lagi seperti manusia, melainkan seperti cheetah yang memburu mangsanya. Setelah kejadian itu, Direy kembali ke rumah tanpa berkata sepatah kata pun.
Dua hari kemudian, kabar menggemparkan datang. Anak yang bermain ke rumah Yujin ditemukan tewas di jalanan. Banyak yang menduga itu hanyalah kecelakaan tabrak lari.
“Bukan kamu, kan, yang melakukan ini?” tanya Yujin dengan gelisah.
“Jangan pikirkan hal itu. Aku hanya ingin melindungimu,” jawab Direy dengan suara monoton khas robot.
Sejak saat itu, Yujin mulai merasa Direy yang ia kenal sudah berubah. Namun, rasa sayangnya terlalu besar hingga ia menutup mata terhadap kejadian itu.
Suatu malam, kaki Yujin keseleo saat menuruni tangga. Victor pun meminta bantuan seorang nenek tua, tetangga mereka yang dikenal ahli dalam memijat. Nenek itu datang ke rumah dan memijat kaki Yujin hingga membaik.
Keesokan harinya, tersiar kabar bahwa nenek itu ditemukan tak bernyawa di rumahnya.
Saat itu, Direy memperhatikan dari kejauhan ketika sang nenek memijat kaki Yujin. Dengan pola pikirnya yang terbatas, ia menganggap nenek itu telah menyakiti Yujin.
Kembali, Yujin bertanya kepada Direy dengan suara bergetar. Namun, jawabannya tetap sama, “Aku hanya ingin melindungimu.”
Mulai saat itu, Yujin merasa semakin takut. Ia berniat untuk perlahan menjauhi Direy. Namun, Direy—dengan otak robotiknya—menyadari hal itu.
“Mengapa kamu menjauhiku? Aku sudah melindungimu dari segala bahaya! Jika kamu tetap begini, aku tidak segan-segan menyakiti Victor!” ucapnya dengan nada yang semakin menyeramkan.
Ancaman itu terbukti ketika waktu makan malam tiba. Victor menyuruh Yujin makan sayur, tapi seperti remaja kebanyakan, Yujin menolak. Victor terus membujuknya karena khawatir dengan kesehatannya. Namun, tanpa diduga, Direy tiba-tiba menerkam leher Victor.
“Dengar! Jangan coba-coba paksa Yujin! Jika tidak, nyawamu taruhannya!”
Victor terkejut. Direy melepaskan cengkeramannya lalu pergi ke luar rumah. Malam itu juga, Victor dan Yujin mengadakan pertemuan rahasia di kamar untuk menyusun rencana menonaktifkan Direy.
Namun, di balik pintu kamar, Direy sudah mendengar semuanya.
BRAK!
Direy mendobrak pintu dengan kekuatan penuh. Wajahnya yang biasanya tanpa ekspresi kini tampak mengancam.
“Haha… jangan harap kalian bisa menyingkirkanku! Jika kalian tetap berusaha, maka wanita inilah yang akan menjadi korban selanjutnya!” ancamnya sembari menerkam Victor kembali.
Yujin yang tak tahan melihat bibinya diserang, langsung berteriak, “Lepaskan dia, Direy!”
Direy menoleh dengan tatapan tajam. “Aku mengerti sekarang. Kau lebih menyayangi bibimu yang selalu sibuk bekerja dibanding aku yang selalu menemanimu…”
Tiba-tiba—
DOR!
Suara tembakan memecah malam.
Darah berceceran di lantai. Yujin terkejut, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.
Direy benar-benar telah membunuh Victor.
Amarah Yujin meluap. Ia membentak Direy tanpa ampun. Namun, Direy, yang sejatinya hanya robot, justru merasa kecewa. Orang yang ia lindungi kini menolaknya. Ia mengalami stres berat, menyebabkan sistemnya mengalami malfungsi. Kabel-kabel dalam tubuhnya mulai terbakar. Ditambah dengan virus elektro yang tengah menyebar di negeri itu, Direy akhirnya tumbang dengan sendirinya.
Kini, Yujin benar-benar sendirian. Tak ada lagi tempat berlindung, tak ada lagi sosok yang mengusap air matanya. Malam itu menjadi malam terburuk dalam hidupnya.
Sejak saat itu, ia dipaksa menjadi lebih mandiri. Namun, seiring waktu, ia mulai bangkit. Seperti pepatah, usaha tidak akan mengkhianati hasil. Satu per satu mimpinya mulai terwujud.
Kini, Yujin telah menjadi pengusaha sukses. Pengalaman masa lalunya mengajarkan satu hal berharga:
“Kita tidak selalu membutuhkan teman untuk menemani. Sendiri bukan berarti kesepian, tetapi juga berarti kemandirian.”
*) Siswi Kelas VII MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid