Karya: Ayu Fatmala Sari *)
Di sebuah sekolah yang sangat elite bernama SMA Brawijaya. Lebih tepatnya, di taman belakang sekolah terdapat dua insan yg sedang berbincang-bincang di sebuah bangku taman. “Sekarangkan kita kelas dua belas, habis ini lu mau kemana?” tanya seorang gadis cantik jelita yang bernama Jeni. “Gw paling kuliah, kalo lu?” sahut si cowok yang ternyata bernama Elgha. “Kalo gw udah pasti kerja lah. Itu udah tuntutan dari orang tua gw” terang Jeni
“Kenapa orang tua lo maksain lo buat kerja? Padahal keluarga lu itu kaya raya. Kenapa uangnya ga dimanfaatin buat lanjut kuliah aja?” tanya elgha lagi. “gw ga tau perihal itu. Yang jelas gw disuruh kerja ngnelanjutin karier daddy gw”.”emang bokap lo kerja apaan?”.”ya.. kerja orang kek pada umumnya itu lah..” ujar Jeni dengan ringan. Mereka adalah sepasang sahabat yang tak terpisahkan. Teman sejati yang diibaratkan sepasang sepatu yg saling melengkapi, dan tak bisa dijauhkan satu sama lain.
* * *
Jam sudah menunjukan pukul 3 sore. Kini Jeni sedang bersiap-siap untuk shopping alias berbelanja. Kebiasaannya ketika merasa bosan adalah shopping dan menghabiskan uang. Sedang barang yang dibelinya adalah barang-barang yang sebenarnya sudah ada di mansion tingkat tiganya itu. Entah itu alat-alat dapur, alat elektronik, furniture, hiasan-hiasan ruangan, dan masih banyak lagi.
Setelah memoles sedikit bedak pada wajah cantiknya, lalu ia berjalan keluar kamarnya yang berada di lantai tiga, menuju ruang bersantai di lantai dua. “Bii..! Bibi..!” teriaknya pada Bi Ijah yang berada di lantai yang sama. “Iya non, ada apa?” Tanya bi ijah sambil berlari tergopoh gopoh. “Pak Sopirnya ada ngga? Saya mau keluar”.”Aduuhh, ga ada non. Lagi nganterin Nyonya Besar ke acara arisan bulanan” jawab Bi Ijah. “Yaudah lah Bi. Ngga papa” ujar Jeni dengan melemaskan kedua bahunya. “Baik non” tutur bi ijah sambil berjalan pergi meninggalkan Jeni.
Jeni duduk di sofa ruang bersantai, lalu ia mengeluarkan ponsel genggamnya dari dalam tas, menghidupkannya, menekan aplikasi chatting, dan memasuki room chatnya dengan elgha.
Jeni : el temenin gw belanja yuk .gw bosen” setelah beberapa detik ,akhirnya dibalas
Elgha : ayo . bentar,gw siap siap dulu . lo tunggu aja , gw jemput .
Kurang lebih seperti itulah percakapan mereka dakam room chat nya. Jeni pun menunggu kedatangan nya diruang bersantai , di lantai dua tadi
* * *
Singkatnya, kini mereka sudah berada di dalam mall. Berjalan sambil bercerita dan bersenda gurau adalah kabiasaan mereka berdua. “Sekarang kita mau kemana” Tanya Jeni dengan tangannya yang menenteng banyak sekali paperbag.”Makan ayo”. Mereka akhirnya berjalan menuju restaurant di mall tersebut .”Makan sushi, mau ngga?”Ujar Elgha pada Jeni ketika berada di depan restaurant ala Jepang”ayo aja kalo gw”sahut Jeni. Setelah itu pun mereka memasuki restaurant tersebut dan memesan berbagai Jenis sushi yang harganya lumayan fantastis. Setelah memesannya, merekapun duduk di salah satu meja. Dan tak lama kemudian, pesenan mereka datang, dengan segera mereka menyantap nya diselingi dengan beberapa pembahasan yang ringan.”Selama ini, lu nganggep gw apa?”Tanya Elgha. “Kenapa tiba tiba nanya kek gitu?”Jeni bertanya balik. “Ya ngga papa ,nanya doang”. “Ya…gw nganggep lu itu sodara gw sendiri, kakak gw sendiri. Karna lu ada ketika gw lagi susah maupun senang” Terang Jeni “oh” “kalo lu nganggep gw apaan? “Gw suka sama lu. Dan itu udah dari lama” jawab Elgha to the point. “Kok bisa? Kenapa? Karna apa?”Tanya Jeni dengan wajah cengo’nya karna syok.
Jeni terkejut mendengar penuturan dari sahabat cowo nya itu. Orang yang selama ini ia anggap sebagai kakak malah menyukainya. Apa-apaan ini? “Ga tau, gw juga gk tau kenapa gw suka sama lu” “hahaha” Jeni tertawa dengan sangat sumbang. “Kok lo ketawa sih? Emang ada yang lucu?”. “lu ga mungkin suka sama gw. Lu bo’ongkan? Ga usah becanda deh. Ga lucu”Ujarnya setelah beberapa saat saling diam ,Jeni berkata: “Jangan suka sama gw” “Emang kenapa? “Jangan suka sam gw, El. Lu gk bakal mampu nahan rasa sakitnya”Ujarnya lagi dengan serius. “Rasa sakit? Maksudnya? “Nanti lu juga bakal tau sendiri. Gw pergi dulu, udah gk mood”ujarnya dengan wajah yang begitu datar. Jeni pun pergi sendirian meninggalkan Elgha yang mematung di mejanya. “Apa yang di maksud Jeni tadi” ujarnya bermenolong
* * *
Kini elgha sedang berada di kamarnya yang bernuasa putih dan lighgrey. Alisnya mengerut sangat dalam di karnakan atensinya terfokus pada layar ponsel nya yang menampilkan room chatnya dengan Jeni.
Jeni: location
Jeni: datang ke tempat itu. Sekarang
Elgha: ya.
“Lokasi apa yang di kirim Jeni?”. Tanyanya bermenolong. Setelah membalasnya, tanpa babibu ia segera bersiap siap untuk menuju lokasi yang dikirim oleh Jeni. Firasatnya mengatakan, terjadi sesuatu yang buruk pada Jeni, atau lebih tepat nya orang terdekatnya. Elgha mengambil jaket kulit yang berwarna hitam, lalu menyambar kunci motornya yang di gantungkan pada gantungan kunci.
* * *
Elgha berdiri mematung di ambang pintu ruangan beruansa tak beraturan bercak darah memenuhi sisi tembok ruangan tersebut. Bau amis darah begitu menyengat di indera penciuman Elgha. Diruangan itu terdapat 3 orang, satu laki laki dan satu perempuan yang ia tebak adalah Jeni. Dan orang ke tiga adalah dirinya sendiri. Kaki dan lututnya lemas melihat pemandangan yang seharusnya tak ia lihat. “maksud lu apa Jen? Ngapain lu nunjukin ini ke gw?” suara Elgha terdengar pilu. Jeni yang memunggunginya tiba tiba diam mendengar seseorang yang dari tadi ia tunggu. Aktifitasnya ia hentikan demi bisa melihat ekspresi wajah Elgha yang berada di belakangnya. “Gimana pertunjukannya? Seru ngga?” Suaranya terdengar sedang meremehkan Elgha dengan ekspresi wajah yang terlihat sok polos.
“Bawa pergi” ujar Jeni pada seorang Bodyguard yang masuk dari arah pintu lain. Bodyguard itupun pergi dengan membawa seorang lelaki yang tergeletak setengah sadar di lantai, dengan tubuh yang berlumuran darah. Elgha fikir bahwa lelaki itu di siksa dan di sayat habis habisan oleh Jeni, terlihat bahwa Jeni memegang pisau di tangan kanan dan pistol di tangan kirinya. Kemudian datanglah seorang lelaki paruh baya, dengan setelan jas berwarna hitam yang di penuhi dengan darah juga. Ia berjalan dengan sangat angkuh, jauh berbeda dengan lelaki tadi yang di seret oleh bodyguard tersebut.
Lelaki berjas itu duduk pada sebuah kursi di pojok ruangan. Dengan salah satu kaki yang bertumpu pada kaki yang lain, ia berujar: “Hey, anak muda. Bagaimana keadaanmu? Sudah lama kita tidak bertemu” ujarnya dengan suara baritonnya, tak lupa dengan senyum smirk nya. “Anda siapa tuan?” sahut Elgha dengan wajahnya yang sudah tak bersahabat. Sedangkan Jeni hanya memperhatikan keduanya. “Saya Dwipa Wicaksono”
Deg!
“Pantes ga asing” monolog Elgha. “Mengapa kau masih berada di dunia? Bukankah tempatmu ada di neraka?” Ujar Elgha sambil berusaha menutupi keterkejutannya. “Kamu bukan tuhan yang bisa memutuskan sesuatu dengan seenak jidatmu itu, bocah ingusan. “Saya memang buka tuhan. Tapi saya rasa, tempat seperti itu yang pantas mu”
Dorr!
Di ruangan yang bergema itu suara tembakan begitu nyaring dan memekakan telinga. Satu peluru berhasil mendarat sempurna pada paha kiri milik Elgha, membuatnya meringis kesakitan. “Jangan sekali-kali lo kurang ajar sama bokap gw” ujar Jeni setelah berhasil menembakan peluru pistolnya pada Elgha. “Sekarang gw tanya sama lo. Yang kurang ajar itu gw, lo, atau bokap lo?” skak Elgha sambil menahan rasa sakit di pahanya. “dDddy keluar dulu, Jeni mau bicara berdua sama dia” tutur Jeni sambil menunjuk Elgha dengan dagunya.
“Hm, baiklah. Kabari Daddy jika sudah selesai” ujar sang Daddy dengan sangat lembut, sangat berbeda ketika ia berbicara dengan Elgha. Sang Daddy pun berdiri dari duduknya dan berjalan pergi meninggalkan kedua insan tersebut. “Gw ngasih lo kesempatan buat ngomong sekarang. Omongin sesuatu yang seharusnya lu omongin. Jangan banyak basa-basi” kata Jeni. Tak ada lagi raut wajah yang riang, ceria, dan senyum hangat. Kini yang ada hanyalah ekspresi wajah yang datar.
Prok. Prok. Prok. Suara tepuk tangan yang berasal dari tangan lentik Jeni.
Beberapa detik setelahnya, seorang Bodyguard datang dengan membawa kursi kayu, dan meletakkannya di tengah-tengah ruangan, lalu bodyguard itu pergi. Jeni menunjuk kursi itu dengan dagunya, seolah memberi isyarat “duduk” pada Elgha. Melihat gerak-gerik Jeni, ia pun berjalan tertatih mendekati kursi itu lalu mendudukinya. Sedangkan Jeni duduk pada kursi yang tadi di tempati oleh Daddynya, yang berada di pojok ruangan.
“Sebelum itu, gw mau nanya sama lo. Gimana? Penyamaran gw udah sempurna belum?” Tanya Jeni sambil tersenyum smirk, dan mengangkat satu alisnya. “Gw masih ga nyangka, Jen. Wajah semanis senja, ternyata mampu memberi luka sedalam samudra. Jadi yang di maksud tuntutan kerja dari orang tua lo ini? Hilang respect gw sama lu” Elgha tak lagi memikirkan peluru yang bersarang di dalam pahanya. Mungkin ini adalah akhir dari hidupnya. “kenapa lu kek gini Jen? Kenapa? Kenapa harus gw yang jadi korbannya? Masih banyak manusia di dunia ini, kenapa lo milih gw sebagai sasarannya?” Suara Elgha terdengar melemah, mungkin efek dari ia yang sedari tadi menahan rasa sakit di pahanya.
“Gw bilang juga apa? Lu ga bakal mampu nahan rasa sakitnya, El” tutur Jeni yang merendahkannya. “BTW, lu kenal bokap gw dari mana?” Tanya Jeni. “Gw baru tau, ternyata Tuan Dwipa adalah anak dari Tuan Vrisko Wicaksono, orang yang di bunuh sama bokap gw” ujarnya sambil menerawang jauh, mengingat kejadian tiga tahun silam. Mendengar itu, Jeni tersulut emosi dan menodongnya dengan pistol yang ia genggam. Sedangkan pisaunya sudah sejak tadi ia lempar kesembarang arah. “Jadi bokap lo, yang ngebunuh kakek gw? Nyawa harus di balas dengan nyawa”
Dor. Dor. Dor.
Tiga peluru berhasil mendarat pada anggota tubuhnya. Satu peluru di kaki kanannya, satu di perutnya, dan satu peluru lagi di bagian bahunya. “Mana Jeni yang gw kenal? Jeni yang anggun, Jeni yang feminime, dan Jeni yang selalu beramah tamah”. “Jeni yang lu maksud udah mati” sahut Jeni cepat. Elgha tetap berusaha menahan semua rasa sakitnya. Karena ia ingin lebih lama lagi berbicara dengan Jeni untuk terakhir kalinya. Sebelum ia tewas di tangan pujaan hatinya.
“Lu hebat, Jen. Dengan sikap dan tingkah lu yang kek gini, bikin gw tetep jatuh cinta sama lu. Bahkan lebih dalam dari sebelumnya” suara yang di keluarkannya sangat lemah, sambil memegangi perutnya yang terasa sakit di sebabkan oleh peluru. “setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Bagitu juga dengan kita, masanya sudah berakhir. Dan cara gw mengakhirinya dengan cara yang kek gini” ujarnya sambil menodongkan pistolnya lagi tepat pada dada bidang milik Elgha.
Dorr.
“Akhh… Tuhan…” Elgha merintih kesakitan dengan memegangi dadanya. Perawakannya bukan lagi seperti manusia pada umumnya, baju dan celananya sudah di penuhi dengan darah, dan wajah tanpannya juga di benuhi dengan percikan darah. Membuat siapapun yang melihatnya begidik ngeri. Dengan sisa tenaganya yang susah payah ia kumpulkan, ia berujar: “Gw…bo..leh..meluk lo…ga..? un..tuk..yang.. terak..hir..ka..li..nya” ujarnya yang mulai terbata-bata. Setelah berfikir beberapa saat, Jenipun berdiri dari duduknya dan berjalan perlahan menuju Elgha yang terduduk lemas.
Grep!
Dengan posisi duduk, sekuat tenaga ia memeluk pinggang ramping milik Jeni dengan sangat erat, sedangkan Jeni hanya diam mematung tak membalas pelukan dari Elgha. “Sama lu emang sakit. Tapi kalo ga sama lu, itu bikin gw lebih sakit” bisiknya dengan pelan, namun masih bisa di dengar oleh Jeni. “Kenal sama lu, adalah part terindah dalam kisah hidup gw” sambungnya lagi. “tuhan mempertemukan kita hanya untuk saling mengenal, bukan untuk saling memiliki” ujar Jeni. Perlahan namun pasti, tangan kirinya terangkat bersama pistol yang berada di genggamannya. Dengan pistol yang menghadap pada kepala elgha, dari arah samping kepalanya.
Kemudian…
Dorr. Dorr. Gubrakk!
Tubuh elgha ambruk ke lantai yang begitu dingin. Darah segar mengalir begitu saja. Baik itu dari kaki, badan, danjuga kepalanya. Membuat lantai semen itu di genangi oleh darah segar. Kemudian, dengan tanpa belas kasihan Jeni pergi kaluar dari ruangan itu, meninggalkan jasad elgha yang tergeletak begitu saja di lantai. “urus sisanya!” ujarnya pada bodyguard yang sedari tadi berjaga di pintu ruangan tersebut. Akhirnya, Jeni keluar dari rimah kosong yang suram itu, menuju ke sebuah mobil jeep yang terparkir rapi di samping rumah tersebut.
“sudah?” Tanya lelaki paruh bayayang duduk di kursi kemudi, yang ternyata adalah daddynya. “sudah dong” jawab Jeni. “anak daddy emang ga pernah mengecewakan” ujar Dwipa sambil mengecup kening putrinya. Dan itulah pekerjaan daddynya, sebagai mafia dan pembunuh bayaran. Lalu perkerjaan kotor tersebut ia turunkan pada putri kesayangannya, yakni Jenika cahya. Lalu pekerjaan itu ia turunkan pada putri semata wayangnya, tanpa sepenngetahuan orang lain, termasuk mommynya Jeni
* * *
Pada dasarnya, cinta tak selamanya saling memiliki, ada kalanya kita harus rela untuk pergi. Agar tuhan menyaksikan, se ikhlas apa kita dalam menghadapi, semua ujian yang ia beri. Tapi percalah, tuhan tall apa yang terbaik untuk para mahluknya. Hanya tinggal kita saja, dengan cara seperti apa kita menghadapinya. Setiap alur dari cerita, pasti ada pelajaranya, coba di cari dan di tela’ah, pasti kau mendapatnya.
-END-
*) Siswi Kelas IX MTs Miftahul Ulum 2 Bakid