Karya: Siti Khadijah Syarifah Wulan *)
Saya adalah siswa kelas 7 G. Wali kelas saya adalah Pak Wa Fi. Demikian teman-teman menyebut beliau. Suatu kesempatan beliau menanyakan kapan hari raya Idul Adha. “Dua pekan lagi, Paak.” Kata teman-teman menjawabnya dengan serempak.
“Saat Idul Adha memang terdapat perbedaan antara santri putra dan santri putri. Santri putra bisa pulang silaturrahmi kepada keluarganya setelah Shalat Ied. Namun santri putri tidak diperkenankan. Sehingga kalian mesti semangat menjalani hari raya bersama teman-teman. Ini momen langka yang tidak mungkin kalian temukan saat sudah boyong”. Kata Pak Wa Fi memotivasi kami supaya menjalani Idul Adha di pesantren dengan penuh bahagia. Beliau memang guru yang selalu peduli atas segala sesuatu tentang kami.
“Apakah kalian mau bermain teka-teki?”. Kata Pak Wa Fi tak kehilangan semangat untuk menceriakan hati kami.
Tentu saja teman-teman bersorak “mauuu” dengan begitu semangatnya. Pak Wa Fi pun melanjutkan: “Begini, hari raya Idul Adha itu kan identik dengan hari raya korban. Dimana kalian disunnahkan untuk mengorbankan Unta, Sapi atau Kambing.”
“Namun kalian tahu tidak? Ternyata ada seorang Imam atau Khotib saat shalat khatib yang mengorbankan dirinya sebagai hewan kurban tapi mendapatkan legalitas dari agama kita”. Kata Pak Wa Fi memancing emosi kami.
“Apa benar demikian Pak?”. Ucapku penuh dengan keheranan. “Apakah tidak menyalahi HAM yang selalu dijunjung tinggi negara kita pak? Bunuh diri pun juga haram kan pak dalam agama kita” Susul Amel.
Bahkan sahabatku yang biasanya diam, Tri Novtia Anjelika juga mulai bersuara: “Tidak mungkin lah, Pak. Sepengetahuan saya saat mengaji Mabadi’ Fiqhiyah dengan Ustadzah, hewan qurban hanyalah bahimatul an’am saja. Cuma Unta, Sapi, Kambing atau Domba saja. Selain itu, kata ustadzah, tidak bisa dijadikan hewan qurban. Apalagi seorang Imam atau Khotib shalat ‘Id.!”. Novtia ini memang menyukai fan fiqh. Lihat saja dia begitu antusias menyertakan dalil untuk menyanggah pernyataan Pak Wa Fi.
Namun di depan sana, nyatanya Pak Wa Fi hanya tersenyum melihat kami begitu antusias menolak pernyataan beliau. Seakan inilah yang memang beliau harapkah.
Pak Wa Fi lalu berdiri dan dengan intonasi yang tenang beliau berkata: “Ya kalian semua benar. Tapi ini kan teka-teki.” Kata beliau sembari menunjukkan tawanya yang renyah.
“Begini, semua yang kalian katakan memang benar. Namun sebagaimana biasanya, ulama fiqh itu kan biasanya memberi contoh dengan sesuatu yang melewati nalar logika kita. Seperti adanya orang yang berjenis kelamin dua. Mana ada hal seperti itu dalam kehidupan kita?”. Ucap Pak Wa Fi.
Teman-teman khusyu’ mendengarkan. Penasaran dengan apa jawaban sebenarnya dari teka-teki itu. “Lalu dalam masalah qurban pun pakar fiqh punya sebuah permisalan yang melewati nalar logika kita. Yaitu seandainya ada seekor sapi betina melahirkan seorang anak yang berwujud manusia. Toh walaupun anak sapi yang berwujud manusia itu telah hafal quran dan menjadi khotib dan imam shalat ‘ied, ia tetap dihukumi sebagai anak sapi yang boleh jadikan hewan korban. Lalu timbullah sebuah teka-teki di kalangan ulama fiqh yang berbunyi ‘خطيب صلى بنا العيد الاكبر وضحينا به”. Artinya: “seorang khatib yang menjadi imam shalat idul adha tapi disembelih sebagai hewan kurban”.
“Sehingga jawabannya adalah, anak sapi yang lahir dengan wujud manusia. Karena secara fiqh dia tetap dianggap sebagai anak sapi.”
Teman-teman manggut-manggut saja, mau disanggah dengan dalil HAM pun hal itu tidak akan mungkin terjadi. Sehingga mereka semua sepakat atas pemaparan Pak Wa Fi. Menambah wawasan dan sebuah hiburan bagi kami.
Tapi tidak berselang lama, Riska yang selalu kritis itu menimpali “lalu kalau Sangkuriang itu gimana, Pak? Apa juga dihukumi sebagai anjing. Anggap saja itu benar-benar terjadi toh walaupun banyak yang mengatakan sebagai mitos”. Teman-teman manggut-manggut tanda sepakat atas ucapan Riska. Sekaligus penasaran sih.
Pak Wa Fi lagi-lagi tersenyum. Bahagia karena telah berhasil memancing antusias keilmuan kami. “Jika seekor anjing ataupun babi mengawini manusia kemudian lahir darinya seorang manusia pula, maka anaknya, dalam yang kalian tanyakan adalah sangkuriang itu dihukumi najis, dan besertaan dengan hukum itu, ia adalah termasuk orang yang terkena tuntutan melakukan sholat dan lainnya. Sudah jelas pula bahwasannya setiap hal yang terpaksa tersentuh olehnya diampuni dan baginya diperbolehkan untuk menjadi imam, sebab shalat yang ia kerjakan tidak wajib diulang. Boleh pula baginya untuk masuk masjid guna melakukan jama’ah dan selainnya sekira tubuhnya tidak basah.” Kata Pak Wa Fi menerangkan dengan logat yang menjadi serius.
Bersamaan dengan selesainya Pak Wa Fi tersebut, bel pulang berbunyi. Ada yang menjadi sangat antusias akibat bunyi bel itu dan ada yang merasa tidak puas karena masih terdapat sekelebat tanda tanya yang belum terjawab di kepala mereka.
*) Siswi kelas VII G MTs. Miftahul Ulum 2