Oleh : Sahroni, S.Pd.I *)
Puasa Tasu’a adalah puasa sunah yang dilaksanakan pada tanggal 9 Muharram, sehari sebelum puasa ‘Asyura (10 Muharram). Puasa ini sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad ﷺ sebagai bentuk penyelisihan terhadap kebiasaan orang Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ‘Asyura.
Meski begitu, Rasulullah ﷺ tetap menghormati hari ke-10 Muharram dengan tetap menganjurkan berpuasa, karena pada hari itu Allah memberikan kemenangan kepada Nabi Musa dan Bani Israil dan diselamatkan dari Fir’aun dan kroni-kroninya. Kaum Yahudi berpuasa setiap tanggal 10 Muharram sebagai bentuk rasa syukur. Dalam Islam, menunjukkan rasa syukur boleh dilakukan lebih awal, apalagi jika waktunya sudah mendekati hari terjadinya nikmat tersebut.
Seandainya Rasulullah ﷺ bermaksud menyelisihi mereka secara total, tentu beliau tidak akan berpuasa sama sekali.
Niat Puasa Tasu’a
Niat puasa Tasu’a bisa dilafalkan dalam hati atau dengan lafaz berikut:
نَوَيْتُ صَوْمَ يوم تَاسُوعَاءَ سُنَّةً لِلَّهِ تَعَالَى
“Saya niat puasa hari Tasu’a, sunah karena Allah Ta’ala.”
Waktu niat
Sebaiknya dilafalkan malam hari sebelum subuh. Namun, karena ini puasa sunah, boleh juga berniat pagi hari, selama belum makan atau melakukan hal yang membatalkan puasa.
Tatacara Puasa Tasu’a
Tata cara puasa Tasu’a tidak berbeda dengan puasa sunah lainnya:
- Niat, sebagaimana di atas.
- Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar (subuh) sampai terbenam matahari (maghrib).
- Berbuka puasa saat maghrib tiba, dengan makanan halal, disunnahkan dengan kurma atau air terlebih dahulu.
- Disunnahkan memperbanyak ibadah lainnya, seperti: Membaca Al-Qur’an, Shalat sunah, Dzikir, Sedekah dan Doa
- Meningkatkan hal-hal yang membatalkan pahala ibadah puasa seperti berbohong, mengadu domba, ghibah dan perbuatan-perbuatan maksiat lainnya.
Baca Juga
Dasar Puasa Tasu’a
Puasa Tasu’a dilakukan untuk menyelisihi puasa kaum Yahudi yang hanya berpuasa pada 10 Muharram. Dalilnya antara lain:
فال ابو غَطَفَانَ بْنَ طَرِيفٍ الْمُرِّيَّ ، : سَمِعْتُ عَبْدَيَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، يَقُولُ : حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ، وَالنَّصَارَى، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ “. قَالَ : فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.(رواه مسلم)
Abu Ghathafan bin Tharif al-Murri berkata: Aku mendengar Abdullah bin Abbas ra. berkata: “Ketika Rasulullah ﷺ berpuasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram) dan memerintahkan untuk berpuasa padanya, orang-orang berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari itu adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Jika tahun depan (insya Allah) kita masih hidup, kita akan berpuasa pada hari kesembilan (Tasu’a).’ Namun, tahun berikutnya belum tiba, Rasulullah ﷺ telah wafat.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Hadist yang semakna dalam Shahih Muslim menggunakan teks sebagai berikut
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ، لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
“Jika aku masih hidup sampai tahun depan, pasti aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Muharram).” (HR. Muslim )
Dalam kitab Aunul Ma’bud syarh Sunan Dawud Al-Ṭībī berkata:
لم يعش رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى القابل بل توفي في الثاني عشر من ربيع الأول، فصار اليوم التاسع من المحرم صومه سنة وإن لم يصمه لأنه عزم على صومه.
Rasulullah ﷺ tidak hidup sampai tahun berikutnya, tetapi wafat pada 12 Rabi’ul Awwal, maka puasa hari ke-9 Muharram menjadi sunnah, meskipun beliau tidak sempat melakukannya, karena beliau telah bertekad untuk melakukannya.
Hadis ini menunjukkan keinginan Nabi ﷺ untuk menyelisihi ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang berpuasa hanya pada hari ke-10. Maka puasa Tasu’a (9 Muharram) disyariatkan sebagai bentuk mukhalafah (penyelisihan).
Wafatnya Nabi ﷺ sebelum sempat melaksanakan puasa tersebut tidak menghilangkan anjuran itu, karena tekad beliau cukup untuk menjadikannya sebagai sunnah.
Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas juga berkata:
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ، صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا
“Berpuasalah kalian pada hari ‘Asyura dan selisihilah orang Yahudi, berpuasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Khuzaimah)
Imam Ibnu Humam dalam kitab Ainul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud berkata
يستحب صوم يوم عاشوراء ويستحب أن يصوم قبله يوما أو بعده يوما، فإن أفرده فهو مكروه للتشبه باليهود
Disunnahkan berpuasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram) dan juga disunnahkan berpuasa sehari sebelumnya atau sesudahnya. Jika seseorang hanya berpuasa pada hari ke-10 saja, maka hukumnya makruh, karena menyerupai Yahudi.
Ikhtisar
- Puasa Tasu’a dikerjakan pada tanggal 9 Muharram.
- Disunnahkan sebagai bentuk penyelisihan terhadap kaum Yahudi.
- Lebih utama jika digabung dengan puasa Asyura (9 dan 10 Muharram).
- Termasuk puasa sunah yang sangat dianjurkan (muakkadah).
Semoga puasa dan ibadah lainnya yang kita lakukan di bulan Muharram ini menjadi awal yang baik untuk memulai tahun baru hijriyah dengan amalan yang ringan namun bernilai besar di sisi Allah. Sebab, tidak semua amal membutuhkan biaya besar atau tenaga yang berat. Wallahu a’lam.
*) Guru MTs Miftahul Ulum 2 Bakid