Gratifikasi Dalam Konteks Budaya Indonesia (Peringatan HUT RI Ke-76)


Oleh: Muhammad Kawakib Nurul Jinan, SH *)

Menindaklanjuti Surat Plt. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur Nomor: B-3847/Kw.13.14/OT/07/2021 Tanggal 19 Juni 2021 perihal Penerapan Program Pengendalian Gratifikasi (PPG) pada Kementerian Agama, seluruh civitas MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid mengikuti E-Learning Bimtek Pengendalian Gratifikasi sesuai arahan Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lumajang.

Seperti yang diketahui, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (potongan harga), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan gratis, dan fasilitas lainnya. Baik itu yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. (Penjelasan UU. 20/ 2001).

Adapun kategori yang termasuk dan tidak termasuk dalam kriteria gratifikasi, yaitu:

Gratifikasi yang dianggap suap adalah gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


Gratifikasi yang tidak dianggap suap yaitu gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Baca Juga :

PANDEMI DI TAHUN KE-2 KEMERDEKAAN (MEMPERINGATI DIRGAHAYU RI KE-76)

Perkembangan praktik terkini pemberian hadiah di Indonesia dalam studi terungkap adanya perubahan mekanisme pemberian hadiah pada masyarakat yang menggunakan hal tersebut sebagai alat untuk mencapai tujuan bagi pegawai pemerintah dan elit-elit ekonomi. Pemberian hadiah (gratifikasi) dalam hal ini berubah menjadi cenderung ke arah suap. Dalam konteks Budaya Indonesia, terdapat praktik umum pemberian hadiah pada atasan dan adanya penekanan pada pentingnya hubungan yang sifatnya personal, budaya pemberian hadiah lebih mudah mengarah pada suap. Perkembangan gratifikasi (pemberian hadiah) yang tidak ada kaitannya dengan hubungan atasan-bawahan, tapi sebagai tanda kasih dan apresiasi kepada seseorang yang dianggap telah memberikan jasa atau memberi kesenangan kepada pemberi hadiah.

Dikembangkannya pemberian hadiah menjadi komisi sehingga para pejabat pemegang otoritas banyak yang menganggap bahwa hal ini merupakan hak spesial pejabat. Mengenai praktik pengiriman parcel/hadiah pada saat perayaan hari besar keagamaan atau di luar itu yang dikirimkan dengan maksud untuk mencapai tujuan suatu pekerjaan atau kepentingan politik tertentu sebagai bentuk praktik politik gratifikasi. Jika dilihat dari kebiasaan, tradisi saling memberi-menerima tumbuh subur dalam kebiasaan masyarakat. Hal ini sebenarnya hal positif sebagai bentuk solidaritas, gotong royong dan sebagainya. Namun jika praktik-praktik tersebut diadopsi oleh sistem birokrasi, praktik positif tersebut berubah menjadi kendala dalam upaya membangun tata kelola pemerintahan yang baik dan transparan. Pemberian yang diberikan kepada pejabat publik cenderung memiliki pamrih, dalam jangka panjang dapat berpotensi mempengaruhi kinerja pejabat publik dan menciptakan ekonomi biaya tinggi serta dapat mempengaruhi kualitas dan keadilan layanan yang diberikan pada masyarakat.

Karena gratifikasi yang merupakan bagian dari korupsi atau penggelapan uang negara merupakan ancaman nyata Bangsa Indonesia. Ancaman ini tidak mengancam secara langsung namun bisa berdampak besar terutama dalam tataran manajemen negara dan keberlangsungan tujuan bernegara. Selain itu, mentalitas buruk ini melemahkan produktivitas untuk berkembang ke arah kemajuan Bangsa Indonesia. Korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan berdampak buruk luar biasa pada hampir seluruh sendi kehidupan. Korupsi telah menghancurkan sistem perekonomian, sistem demokrasi, sistem politik, sistem hukum, sistem pemerintahan, dan tatanan sosial kemasyarakatan di negeri ini.

Jika kondisi ini tetap kita biarkan berlangsung maka cepat atau lambat mentalitas korup dan sikap pragmatis akan menghancurkan negeri yang gemah ripah loh jinawi ini, yang amat terasa susah menghadapi efek korupsi tentunya generasi penerus bangsa. Selain mereka dituntut mampu beradaptasi dengan dunia baru, mereka juga harus mampu mempertahankan sekaligus mempererat persatuan dan kerukunan serta harus mampu mengelola sumberdaya alam dengan bijaksana untuk menghidupi seluruh tumpah darah Indonesia dan melunasi hutang-hutang pendahulu.

Dengan usia Indonesia yang sudah menginjak 76 tahun, marilah kita berupaya menghindari dan menolak gratifikasi maupun bentuk-bentuk korupsi lainnya sebagai bagian dari Indonesia Tangguh dan memperbaiki segala kesalahan yang telah terjadi agar Indonesia Tumbuh dengan segala potensi kebangsaan. Dirgahayu Republik Indonesia ke-76.

*) Bendahara MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid

Leave a Reply