Oleh : Aris Purnomo, S.Pd. *)
Dikisahkan, suatu hari ada seorang pria yang sedang dalam perjalanan jauh. Di tengah perjalanannya, ia melewati seorang lelaki dari pedalaman yang sedang bersiap-siap berangkat, membawa seekor kuda yang dipanggul dengan dua karung besar di kedua sisinya. Melihat pemandangan itu, sang musafir merasa heran, lalu bertanya dengan sopan,
“Apa isi dari kedua karung besar itu, wahai saudaraku?”
Lelaki pedalaman itu menjawab,
“Di salah satu karung, kuletakkan bekal makanan dan kebutuhan perjalanan. Sedangkan karung yang satu lagi, hanya berisi batu-batu.”
Sang musafir makin terheran-heran, lalu berkata,
“Kalau begitu, kenapa tidak kau bagi saja bekalmu menjadi dua bagian yang seimbang, lalu kau letakkan di masing-masing karung? Dengan begitu, beban unta akan tetap seimbang, tetapi lebih ringan karena tidak perlu membawa batu-batu yang tidak berguna.”
Baca Juga
Lelaki itu terdiam sejenak, merenung, lalu mengangguk pelan.
“Benar juga apa yang kau katakan,” ucapnya. Ia pun segera melaksanakan saran tersebut: batu-batu dikeluarkan, bekal dibagi rata, dan karung diisi ulang dengan lebih masuk akal.
Namun, tak lama setelah itu, rasa penasaran mengusiknya. Ia menatap sang musafir dengan tatapan penuh minat dan bertanya,
“Katakan padaku, wahai tuan yang bijak, apakah engkau seorang kepala suku atau ulama besar?”
Sang musafir tersenyum dan menjawab dengan rendah hati,
“Bukan. Aku bukan kepala suku, bukan pula ulama. Aku hanya orang biasa, sama seperti orang kebanyakan.”
Mendengar jawaban itu, raut wajah lelaki pedalaman berubah seketika. Ia tampak kecewa dan jengkel.
“Astagfirullah! Ternyata engkau bukan orang terpandang, bukan pula orang alim, lalu kau berani memberiku nasihat?” katanya dengan nada meremehkan. Tanpa berkata lebih lanjut, ia kembali mengambil batu-batu yang tadi ia buang, dan mengembalikannya ke dalam karung seperti semula. Bekal pun dikumpulkan kembali ke satu sisi.
Begitulah, terkadang ada orang yang lebih menghargai siapa yang bicara, daripada apa yang dibicarakan. Mereka tidak peduli apakah suatu nasihat itu benar atau bermanfaat, selama yang menyampaikannya bukan orang yang mereka anggap “bergelar” atau “terhormat”.
Betapa sering nasihat yang tulus dan ide yang cemerlang ditolak, bukan karena isinya keliru, tetapi karena pengucapnya tidak memiliki status atau gelar yang mampu memuaskan keangkuhan hati. Padahal, kebijaksanaan bisa datang dari siapa saja — bahkan dari orang biasa — jika kita mau membuka telinga dan merendahkan hati.
*) Waka Sarpras dan Guru Bahasa Indonesia MTs Miftahul Ulum 2 Bakid


