Karya: Shinta Fairuzzuhro *)
“Kringgg!”
“Ya ampun, Myaraa! Lihat jam! Mau tidur sampai kapan? Nggak mau sekolah?!”
Dering alarm ketiga milik Myara tersusul oleh teriakan Bundanya. Tirai kamar disibak, membuat cahaya matahari langsung menyilaukan mata Myara. Gadis itu menarik selimut dan menutupi wajahnya tanpa menjawab.
“Myara?” suara lembut Bunda terdengar sambil menepuk pundaknya.
“Hari ini Myara nggak mau sekolah…” ucap Myara pelan.
“Kenapa, sayang?”
Myara hanya diam. Setelah menunggu cukup lama tanpa jawaban, Bunda keluar kamar dan menatap kalender yang menempel di dinding. Setetes air mata jatuh. Hari ini adalah hari wafatnya Laureen, kakak Myara, setahun yang lalu.
“Taraa… Bunda buatin pancake kesukaan Myara.”
Bunda mencoba tersenyum sambil membawa sepiring pancake.
Myara tetap diam di balik selimut.
“Myara, Bunda tahu ini berat buat kamu. Tapi kamu nggak bisa terus-terusan menghukum diri sendiri. Kepergian kakakmu adalah takdir. Bunda cuma punya kamu sekarang. Bunda ingin Myara kembali ceria seperti dulu… dan mulai belajar untuk lebih dewasa.”
Perlahan, Myara membuka selimut dan menatap mata Bundanya. Bunda tersenyum, menyuapi Myara pancake. Untuk pertama kalinya, pagi itu kembali diwarnai tawa kecil mereka.
Smart Academy School—sekolah favorit di kota—sedang bersiap mengumumkan daftar siswa yang mengikuti seleksi beasiswa ke universitas luar negeri.
“…dan nama terakhir, Myara.”
Begitu Pak Mahen, kepala sekolah, menyebutkan namanya, Myara langsung bersorak dalam hati. Senyumnya tak bisa hilang sepanjang hari. Ia bertekad belajar keras demi kesempatan itu.
Hari seleksi pun tiba. Keringat dingin membasahi tubuhnya, detak jantungnya kacau. Namun ia tetap berusaha mengerjakan semua soal hingga selesai.
“Hasil seleksi akan diumumkan besok,” ujar Pak Mahen.
Esok harinya, sekolah berubah menjadi gempar. Garis polisi melilit ruang kepala sekolah. Polisi berkerumun. Siswa saling berbisik ketakutan.
Myara menerima ratusan pesan di grup sekolah.
“Pak Mahen menjadi korban pembunuhan.”
Myara terkejut. Polisi mengatakan tidak ada luka tusuk—hanya darah dan pisau di dekat tubuh korban. Kasus itu menjadi misteri besar bagi seluruh siswa.
Kota sedang marak kasus begal dan pencurian motor. Myara mencoba menenangkan diri dengan membeli kopi dingin di minimarket. Namun saat ia keluar…
“Lah? Motorku mana?!”
CCTV menunjukkan pelaku pencurian adalah orang yang sama seperti insiden minggu lalu, tapi wajahnya tertutup. Ketika Myara meminta rekaman minggu lalu, ia terkejut melihat sosok Pak Mahen berdiri di seberang minimarket pada malam hari. Tepat beberapa detik sebelum rekaman mati, terlihat ujung mobil tua berwarna putih yang melintas.
“Itu hari yang sama ketika Pak Mahen meninggal…” gumam Myara.
Penasaran, ia mengecek CCTV jalan lain dan menemukan potongan kejadian yang sama—mobil tua putih yang tiba-tiba muncul sebelum rekaman terputus.
Ia menyimpan foto bukti itu.
Pagi berikutnya, Myara gelisah karena motornya hilang. Ia mencari alternatif untuk berangkat sekolah dan menemukan sepeda lamanya di garasi. Namun, sesuatu menarik perhatiannya—sebuah mobil tua putih yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
“Sejak kapan keluargaku punya mobil ini…?”
Ia mengabaikannya dan berangkat ke sekolah.
Malam harinya, ia menerima pesan dari nomor tak dikenal:
“Temui gue di café seberang sekolah. Jam 7 malam.”
Dengan ragu ia pergi, dan kaget melihat motornya yang hilang terparkir di sana.
Di dalam café, seorang pria berjaket hitam menunggu di meja 6.
“Kenalin, gue Tristan.”
“A-aku Myara. Kamu yang nyuri motor aku?!”
“Gue punya alasan. Gue sengaja mancing lo. Biar lo lihat rekaman CCTV. Biar lo tahu kalau Pak Mahen itu meninggal karena tabrak lari—bukan pembunuhan.”
Myara terdiam.
“Aku butuh bantuan lo buat ungkap kebenarannya.”
“Tapi… kenapa kamu peduli soal ini?”
Tristan menunduk.
“Gue kehilangan kakak lo, Ra. Laureen sahabat gue. Sejak dia pergi, gue nggak punya semangat buat sekolah.”
Keesokan paginya, Myara dan Tristan menunjukkan semua bukti kepada polisi.
Hari-hari berikutnya mereka semakin dekat, hingga suatu hari Tristan mengantar Myara pulang. Saat membuka garasi, Tristan menatap mobil putih di dalamnya.
“Ra… ini… mobil yang ada di rekaman CCTV.”
Myara terkejut. Mereka menemukan bekas darah lama di bawah mobil.
“Lo harus tanya ke Bunda lo,” ujar Tristan.
Malam harinya, Myara memberanikan diri.
“Bun… sejak kapan kita punya mobil tua putih ini?”
Bunda terkejut dan gelagapan. Myara menunjukkan foto darah di bawah mobil.
“Jangan pura-pura nggak tahu, Bun.”
“Apa perlu Myara putar rekaman CCTV waktu mobil ini nabrak Pak Mahen?”
“Myara… Bunda ngelakuin itu demi Laureen…” suara Bunda bergetar.
“Bener Bunda yang nabrak Pak Mahen?! Itu bisa bikin Kak Laureen hidup lagi?!”
“Pak Mahen yang bikin kakakmu trauma! Dia pelakunya!”
“Tapi setelah tabrak lari itu, Kak Laureen masih hidup! Kakak meninggal setelah beberapa hari! Bukan karena Pak Mahen!”
Myara menangis.
Bunda pergi ke kamarnya tanpa kata. Myara merekam semua percakapan sebagai bukti.
Keesokan pagi, Myara melamun sepanjang jalan sampai menabrak Tristan. Ia menceritakan semuanya, termasuk rekaman suara.
“Ra… lo udah bener. Ini cara nyari keadilan,” ucap Tristan.
Mereka pergi ke polisi dan melaporkan fakta baru tersebut. Polisi menahan Bunda Myara.
Myara semakin tenggelam dalam rasa bersalah, tetapi Tristan selalu menenangkannya.
Di pengadilan, Bunda Myara bersaksi bahwa ia membunuh Pak Mahen karena dendam.
Namun Tristan mengangkat tangan.
“Yang disampaikan tersangka tidak benar.”
Ia memutar rekaman suara terakhir Laureen—suara tangisan, rasa sakit, bentakan, dan suara pukulan.
Semua orang terpaku.
Tristan menjelaskan bahwa Laureen meninggal akibat kekerasan dan tekanan dari ibunya sendiri, bukan dari kecelakaan.
Lalu ia mengungkapkan sebuah fakta mengejutkan:
“Laureen adalah anak di luar nikah antara tersangka dan Pak Mahen. Dan saya… adalah anak kandung Pak Mahen.”
Seluruh ruang sidang terdiam. Myara terkejut.
Hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada Bunda Myara.
“Jahat kamu, Myara! Kamu masukin orang tua kamu sendiri ke penjara!”
Bunda menjerit.
Myara menghapus air matanya.
“Bunda selalu nyuruh aku dewasa. Sekarang aku melakukannya. Maaf, Bun… tapi ini jalan yang benar.”
Beberapa minggu kemudian, Myara dipanggil ke kantor sekolah.
“Selamat, Myara. Kamu dinyatakan lulus seleksi beasiswa.”
Myara menyesap napas panjang. Untuk pertama kalinya, ia tersenyum lagi—walau hatinya masih luka.
“Tan, aku pamit ya…” ucap Myara.
Tristan tersenyum menahan haru.
“Selamat ya, Ra. Kejar mimpi lo. Dan… makasih udah bantu gue cari keadilan.”
Mereka saling melambaikan tangan. Air mata Tristan jatuh.
Dan Myara melangkah pergi, membawa mimpi dan luka yang suatu hari akan sembuh.
THE END
_______
*) Siswi MTs Miftahul Ulum 2 Banyuputih Kidul


