logo_mts192
0%
Loading ...

Selamat Jalan Kak

Share the Post:
Kakak Sepupuku, Semangat Hidupku

Karya: Imroatul Qonita *)

Namanya Nafisa. Ia bukan kakak kandungku, tapi kakak sepupuku. Meskipun begitu, bagiku dia seperti kakak sendiri. Kakak yang selalu menginspirasi dan mengisi hariku dengan semangat.

Aku masih ingat betul tahun 2018, saat Nafisa pertama kali berangkat ke pondok pesantren. Sejak kecil, ia memang dikenal pintar, apalagi dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Hampir setiap semester ia meraih juara satu. Selain itu, ia anak yang patuh, sopan, dan tidak pernah membantah orang tua.

Setiap bulan Ramadan, Nafisa selalu datang ke rumahku. Kami sering menghabiskan waktu bersama, jalan-jalan keliling kampung, tertawa sampai lupa waktu. Waktu bersamanya selalu terasa cepat berlalu. Tapi kenangan-kenangan itu… tetap lekat dalam ingatanku.

Tahun 2021, Nafisa naik ke kelas X di Madrasah Aliyah. Prestasinya di pondok semakin gemilang. Ia selalu membanggakan orang tuanya. Saat pulang Ramadan, ia menginap di rumahku lagi. Pagi hari sekitar jam setengah enam, ia membangunkanku dan mengajakku jalan pagi. Kami tertawa sepanjang jalan, menikmati udara segar yang sejuk.

Sore harinya kami jalan-jalan lagi, lalu berbuka puasa bersama keluarga. Hari itu rasanya sempurna. Keesokan harinya, kami semua pergi rekreasi sekeluarga. Malam harinya turun hujan, dan setelah salat Isya, semua tertidur dengan hati senang.

Tapi kebahagiaan itu tak berlangsung lama.

Beberapa minggu setelah kembali ke pondok, Nafisa sempat mengirim surat kepada ibunya. Ia bilang kalau lehernya sakit. Sebelum orang tuanya pulang dari menjenguk, ia menitipkan sepucuk surat dan berkata,
“Bunda, bukanya nanti saja… di rumah.”

Sesampainya di rumah, sang ibu membuka surat itu. Nafisa menulis permintaan maaf yang menyentuh. Namun ibunya tidak terlalu memikirkannya, menganggap mungkin Nafisa hanya sedang rindu rumah.

Tiga hari kemudian, datang kabar dari pondok. Ustadzah menelepon, memberi tahu bahwa Nafisa sakit parah. Ayahnya segera menjemputnya ke pondok dan membawanya ke puskesmas. Nafisa tampak lemah dan harus digendong. Tapi setelah beristirahat, kondisinya sempat membaik. Kami semua lega.

Namun malam harinya, Nafisa kembali mengeluh kesakitan. Ia terbaring di atas kasur kesayangannya dan mulai merintih. Suasana rumah menjadi panik. Kakaknya langsung memberi kabar ke ibuku. Semua keluarga bergegas ke rumahnya. Tapi Nafisa telah dibawa ke rumah sakit.

Kami menyusul. Setelah salat Maghrib, kabar duka datang.

Nafisa telah berpulang ke rahmatullah.

Saat itu, aku dijemput oleh ayah dan pamanku. Ayah bilang kami akan pergi untuk acara perpisahan sekolah. Aku senang, karena kupikir akan bertemu teman-teman lama. Tapi sesampainya di rumah, aku melihat banyak orang berkumpul.

Dengan bingung aku bertanya,
“Ada apa ini, Yah?”
Ayah menjawab pelan,
“Kak Nafisa sudah berpulang, Sayang.”

Aku terdiam. Kupikir itu hanya mimpi. Tapi saat aku turun dari mobil dan melihat wajah sedih kakek, nenek, dan semua saudara, aku sadar… semuanya nyata.

Keesokan harinya, aku ikut ke pemakaman. Aku menangis. Bukan hanya karena kehilangan, tapi karena semua kenangan indah bersamanya tak akan pernah terulang.

Kini, aku kembali ke pondok. Berusaha menjalani hari-hari seperti biasa, meskipun tak ada lagi sosok yang selama ini menjadi semangatku.

See you, Kakak…
Kenangan bersamamu akan selalu hidup dalam hatiku.

*) Siswi Kelas 9 MTs Miftahul Ulum 2 Banyuputih Kidul

Join Our Newsletter