Oleh: Danang Satrio P, S.Psi *)
Realitas ekonomi akhir-akhir ini menunjukkan harga kebutuhan pokok melambung tinggi, di satu sisi pendapatan stagnan bagi mereka para pegawai dan pemasukan makin tak menentu bagi mereka wiraswastawan, kuli/buruh, petani/nelayan, dan pedagang kecil umumnya. Setelah Pandemi Covid, kini inflasi global secara tidak langsung membuat banyak saudara-saudara di sekitar kita hidup dalam kemiskinan, serba kekurangan dan mengalami tekanan hidup yang semakin berat. Memaknai Idul Adha tentu bagian dari tantangan pelaku ibadah agar berkurban tidak sekedar untuk menarik riuh sanjungan-pujian, tetapi lebih berdampak secara sosial dan mampu merubah perspektif maupun perilaku dari egosentris keakuan menjadi kesejahteraan bersama. Dalam konteks inilah, pembahasan dan penafsiran sosial dalam praktik ibadah qurban penting didiskusikan lebih lanjut agar menjadi suatu program yang terarah dan terorganisir dengan tujuan kemaslahatan bersama tanpa memandang latar belakang suku, agama, ras, dan golongan.
Lebih dari itu, di setiap perayaan hari raya keagamaan tiba, kita senantiasa diingatkan mengenai kandungan pesan moral yang menyertainya. Kita diingatkan untuk selalu mengagungkan kebesaran Allah SWT, membagi rahman dan rahim terhadap semua makhluk, serta diingatkan pula untuk selalu menjalankan perintah maupun menjauhi larangan-Nya. Namun, dengan terlewatinya setiap momen perayaan keagamaan tahun demi tahun apakah lantas kemudian kita dengan sadar melaksanakan semua hal itu? Atau setidaknya merubah kebiasaan buruk menjadi kebiasaan baik? Kemudian, bagaimana kita dapat mengembalikan fitrah kita sebagai makhluk sosial, yaitu manusia yang senantiasa bergantung satu sama lain dan manusia yang butuh hidup bersama manusia lain?
Untuk menjawabnya perlu kita kembali melihat faktor kesejarahan dari Idul Adha. Sejarah qurban dalam terminologi Islam berakar pada kisah Rasulullah Ibrahim AS. Dalam banyak riwayat, Nabi Ibrahim AS beserta keluarganya mengorbankan banyak hal demi memenuhi perintah Rabbnya. Keluarga Ibrahim memenuhi kewajiban sebagai seorang hamba hanya dengan logika sederhana, yaitu “Menuruti segala perintah-Nya (ketaatan)”.
Dalam kisah perjalanan Kenabian Ibrahim AS, diceritakan beliau memasrahkan segala urusan hidupnya di dunia ini hanya kepada Allah SWT. Misalnya kisah Hajar (istri Ibrahim AS) dan bayinya yang ditinggalkannya di lembah padang pasir hanya berbekal sedikit makanan dan minuman. Kisah lainnya, yaitu yang melatarbelakangi Idul Adha adalah perintah penyembelihan putranya (Ismail AS). Hidupnya dan segala sumber daya miliknya diprioritaskan hanya untuk melayani Allah SWT, beliau menurut apa yang diwahyukan kepadanya. Akidah, ketauhidan, ketaatan, kesabaran, kepemimpinan dan nilai kepribadian unggul lainnya melekat pada diri Ibrahim AS. Tak salah bila digelari sebagai “Bapak Para Nabi”.
Bagi kita yang hidup di era sosial media saat ini, figur keteladanan seolah-olah tidak ada lagi. Karena kita lebih memperhatikan komentar-komentar yang bertebaran akun-akun media sosial publik figur. Allah SWT meridhoi Idul Adha selayaknya Idul Fitri, hal ini salah satunya agar kita sebagai pemeluk Islam meneladani Ibrahim AS beserta keluarganya. Meneladani sikap mereka saat mengalami kecemasan, ketakutan, kesendirian ketika menjalani ujian. Meneladani logika: “Menuruti kehendak Allah SWT dengan kesabaran dan keikhlasan”.
Dengan senantiasa mengimplementasikan kehendak Allah SWT dengan kesabaran dan keikhlasan, penulis percaya bahwa egosentris keakuan cepat atau lambat merubah setiap perilaku buruk kita di mata sosial. Dan egosentrisme tersebut akan berubah orientasi menjadi melayani sesama sebagai bagian dari bentuk melayani Allah SWT. Perayaan Idul Adha yang di dalamnya terdapat ritual pengorbanan harta berupa hewan ternak adalah simbol kesabaran dan keikhlasan untuk meniadakan keakuan. Dari hal itu semoga kita dapat istiqomah mau berbagi dan membantu sesama dengan segala sumberdaya yang kita miliki, Aamiin..
Refleksi Idul Adha 1443 H
*) Waka. Humas MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid