Mengurai Makna Kesaktian Pancasila (Refleksi Kekacauan Politik Pasca Pemilu 1955 Sampai Berakhirnya Orde Lama)

Oleh : Danang Satrio Priyono *)

Menelisik sejarah Indonesia tentang Hari Kesaktian Pancasila yang kita peringati tiap tahun di tanggal 1 Oktober dengan menabur bunga di makam pahlawan revolusi atau dengan cara diskusi bertema seputar hal-hal terkait tersebut atau menceritakan kembali kisah yang melatarbelakangi terjadinya G30S/PKI memang perlu untuk kepentingan pendidikan karakter kebangsaan. Bagaimanapun ada latar kelam dan tragis yang semoga tidak akan terulang kembali di masa mendatang.

Kesaktian Pancasila pertama kali dicanangkan pada tanggal 1 Oktober 1966, 54 tahun silam. Setahun sebelumnya 30 September 1965, kita mengenangnya sebagai Hari Pengkhianatan G30S/PKI merenggut nyawa tujuh perwira TNI dan beberapa korban lainnya. Bulan-bulan berikutnya medio tahun 1965-1966 sebagai akibat peristiwa G30S/PKI, terjadi pembunuhan orang-orang yang dianggap/dituduh anggota maupun simpatisan PKI di seluruh Indonesia. Menurut dokumen rahasia yang dirilis antara tahun 2014-2019 dari beberapa negara, korban meninggal (atau hilang) sekitar dua ratus ribuan orang dan dua puluh ribuan dipenjarakan serta sepuluh ribuan lainnya tidak memiliki kewarganegaraan (umumnya mahasiswa dan pekerja luar negeri yang tidak bisa kembali ke Indonesia karena takut dituduh simpatisan PKI). Hal ini terjadi lantaran banyak masyarakat memanfaatkan momen stigmatisasi PKI untuk memfitnah satu sama lain hanya lantaran sebab iri dengki, sehingga tanpa proses hukum seseorang dapat membunuh atau terbunuh, sungguh masa keji. Para pengamat sejarah Indonesia di dalam maupun di luar negeri sepakat bahwa kekejian di tahun 1965-1966 menjelang berakhirnya orde lama adalah fenomena gunung es pasca pemilu 1955.

Presiden Soekarno bersama Mao Tse-Tung (Presiden Republik Rakyat China)

Sejenak kita mundur ke tahun 1953, yaitu disahkannya undang-undang tentang pemilu. Dua tahun berikutnya, tahun 1955 adalah pertama kalinya Indonesia melaksanakan pemilu sejak mengumandangkan proklamasi. Hal ini dilandasi atas desakan banyak kalangan, karena Presiden Soekarno kala ini hampir-hampir menjadi seorang raja di negara republik (tidak adanya wakil presiden, namun sistem pemerintahan menggunakan perdana menteri selayaknya sistem monarki). Sebelum pemilu dilaksanakan pun pertikaian internal baik itu di lembaga politik (kehendak merubah ideologi Pancasila dengan ideologi agama maupun dengan ideologi komunis antar fraksi di parlemen) maupun tokoh-tokoh di pemerintah tentang arah pembangunan bangsa juga beberapa pemberontakan-pemberontakan cukup menguras energi dalam mempertahankan kemerdekaan. Secepatnya melaksanakan pemilu dianggap sebagai jalan tengah kala itu.

Dari hasil pemilu di tahun 1955 yang melibatkan dua puluh sembilan partai dan seluruh warga antusias menyalurkan hak pilihnya (termasuk ABRI saat itu punya hak suara) keluar dengan suara terbanyak, yaitu: Partai Nasionalis Indonesia (PNI); Masyumi; Nahdlatul Ulama (PNU); Partai Komunis Indonesia (PKI). Keempat partai tersebut menguasai parlemen, dengan hasil yang didapat sejenak politik kembali tenang, para dewan berjibaku menghasilkan undang-undang demi kepentingan bersama. Pemilu 1955 walaupun yang pertama dianggap sebagai pemilu terbaik jika boleh disandingkan dengan pemilu-pemilu berikutnya sampai hari ini, dalam hal kesiapan sampai dengan pelaksanaan, dan kekuatan partai politik sebagai bentuk mekanisme demokrasi sudah profesional-terukur-cermat dalam mencari kandidat wakil rakyat, juga anggota parlemen terpilih secara keseluruhan lebih bermutu untuk menghasilkan undang-undang dan produk hukum turunannya.

Presiden Soekarno menunggu giliran pencoblosan, pemilu 1955

Dengan parlemen yang diisi empat partai besar (PNI, Masyumi, NU, PKI), beberapa tahun kemudian Presiden Soekarno menginisiasi gerakan politik yang dikenal sebagai nasakom, singkatan dari nasionalis (diwakili PNI) – agamis (diwakili Masyumi dan NU) – komunis (diwakili PKI). Dengan nasakom, pemerintah Soekarno berharap semua legislatif/parlemen berbagai latar belakang politik tersebut mau mendukung setiap kebijakannya. Terlebih arus politik dunia ketika itu terbelah dua, blok kanan berideologi liberalisme (Amerika dan sekutunya) dan blok kiri berideologi komunisme (Soviet dan RRC).

Pertentangan dua ideologi ini tidak terjadi dalam perang terbuka layaknya perang dunia kedua dimana fasisme berusaha menguasai ideologi lainnya. Persaingan pengaruh komunisme dan liberalisme di tiap-tiap negara di seluruh dunia ini lebih dikenal dengan sebutan perang dingin (cold wars). Indonesia dalam kebijakan luar negeri dengan politik nasakom pemerintah Soekarno terseret arus memihak blok kiri yang oleh wartawan Amerika dinamakan Poros Jakarta-Peking, yang seharusnya mengambil sikap tidak memihak (non-blok). Parlemen mendukung sikap pemerintah kala itu, terutama PKI yang kemudian semakin dekat hubungannya dengan pemerintah ketimbang pemerintah dengan PNI (Soekarno adalah pendiri PNI) atau dengan fraksi partai berbasis Islam.

Selain parlemen, masih ada angkatan militer, sebagai bagian dari kekuatan revolusi. Namun kerap kali militer tidak dianggap dalam kancah politik orde lama walaupun dalam pemilu mereka ini memiliki hak suara, hingga pernah suatu kali tank-tank angkatan darat yang berisi peluru diarahkan ke istana presiden sebagai bentuk “demonstrasi” dari pihak militer. Selain itu juga, masing-masing angkatan militer (darat, laut, udara, polisi) ada yang dianak-emaskan dan dianak-tirikan. Memupuk bibit perpecahan di parlemen maupun di angkatan militer inilah awal mula kekacauan politik terjadi, menggunung puncaknya adalah pembunuhan antara tahun 1965-1966. Ditambah situasi politik internasional mulai memanas, penembakan Jhon F. Kennedy misalnya.

Misteri 30 September 1965 tidak terungkap kebenarannya hingga sekarang, siapa dan apa yang sedang terjadi di balik G30S/PKI. Pimpinan PKI saat itu D.N Aidit ditembak sebelum memberikan kesaksian di pengadilan. Soekarno dipaksa turun jabatan, diadili dan dinyatakan bersalah, dipenjarakan sampai ajal menjemput. Suharto menjadi presiden ke-2 Republik Indonesia setelah peristiwa besar ini.

Politik yang sejatinya digunakan untuk mengatur sekelompok manusia dengan penerapan sistem hukum agar hidup bermartabat, bukannya malah menghasilkan kebiadaban demi mendapat kekuasaan. Hal yang dapat kita ambil pelajaran sebagai generasi penerus adalah betapa pentingnya persatuan dan kesatuan demi keutuhan NKRI; tidak memperebutkan kekuasaan yang sebenarnya tidak mampu kita kuasai sepenuhnya; pahami dan gunakan Pancasila sebagai pandangan hidup berbangsa-bernegara.

Semoga dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila senantiasa kita mawas diri akan sejarah kebangsaan yang penuh dengan ketidakadilan hingga merenggut nyawa boemi-putra, bagaimanapun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia patut untuk diperjuangkan.

*) Guru PKn MTs. Miftahul Ulum 2 Banyuputih Kidul Jatiroto Lumajang

Leave a Reply