Meneladani KH. A. Hasyim Muzadi – Kyai Pergerakan

Oleh : Abdur Rohman, S.Pd *)

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan sekaligus organisasi kemasyarakatan terbesar dalam lintasan sejarah Bangsa Indonesia, mempunyai makna penting dan ikut menentukan perjalanan sejarah Negara Indonesia, NU lahir dan berkembang dengan corak dan kulturnya sendiri. Sebagai organisasi berwatak keagamaan Ahlussunnah Wal Jama’ah, NU menampilkan sikap akomodatif terhadap berbagai madzhab keagamaan yang ada di sekitarnya – NU tidak pernah berpikir menyatukan apalagi menghilangkan mazdhab-mazdhab keagamaan yang ada. Dan sebagai organisasi kemasyarakatan, NU menampilkan sikap toleransi terhadap nilai-nilai lokal – NU berakulturasi dan berinteraksi positif dengan tradisi dan budaya masyarakat lokal. Dengan demikian, NU memiliki wawasan multi-kultural dalam artian kebijakan sosialnya bukan melindungi tradisi atau budaya setempat, tetapi mengakui manifestasi tradisi dan budaya setempat yang memiliki hak hidup di Republik Indonesia tercinta ini. Hal tersebut itulah yang tampak pada tiap sosok kyai NU dalam bertindak dan berucap.

Sebagai warga negara Indonesia, khususnya sebagai warga Nahdlatul ‘Ulama alangkah baiknya kita mengetahui lebih dalam mengenai salahsatu sosok motor penggerak yang ikut andil dalam mengenalkan organisasi NU baik dalam kancah nasional maupun dalam kancar internasional.  Drs. Dr. (HC) K.H. A Hasyim Muzadi adalah tokoh penting NU yang dikenal sebagai pejuang dari akar rumput, kyai pergerakan begitu julukan yang disematkan kepada beliau dari para mahasiswa, lihai dalam merangkul kawan maupun lawan, piawai dalam berdakwah di forum-forum internasional, dan seorang cendekiawan yang aktif menulis sekaligus mengajar di bidang peradaban Islam.

K.H. Hasyim lahir di Tuban, 8 Agustus 1944 M. adik kandung K.H. Muchid Muzadi, Musytasyar PBNU. Putra dari seorang pedagang tembakau yang sukses. Langkah pendidikan beliau mula-mula di Madrasah Ibtidaiyah Tuban (1953), melanjudkan di SD (1953), SMPN I Tuban (1955), KMI Gontor Ponorogo (1956), kemudian melanjutkan kuliah di Fakultas Tarbiyah IAIN Malang (sekarang UIN Malang). Beliau turut aktif mengikuti pengajian di pesantren-pesantren salaf, diantaranya: Ponpes Senori Tuban dan Ponpes Lasem Rembang sekitar tahun 1963. Kyai yang mengidolakan sosok Gus Dur ini mahir dalam berkomunikasi dalam tiga bahasa, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Bahasa Arab. Gelar keilmuan yang didapat beliau salahsatunya adalah Doktor Honoris Causa (Dr. (HC)) dari IAIN sunan Ampel Surabaya dalam bidang peradapan Islam pada 2 Desember 2006.

Sepak terjang beliau di kancah politik nasional diawali menjabat sebagai ketua ranting partai setingkat kecamatan, kemudian menjadi ketua DPC partai di tingkat kabupaten, dilanjutkan menjadi anggota dewan kabupaten hingga tingkat provinsi, sampai pada akhirnya dicalonkan menjadi wakil presiden namun tidak terpilih, di usia yang semakin menua beliau diminta Presiden Joko Widodo untuk menjadi Dewan Pertimbangan Presiden sejak 2015 hingga beliau wafat.

Kyai Hasyim menjabat Ketua Umum PBNU yang benar-benar berangkat dari bawah (akar rumput), pengabdiannya dari pengurus ranting. Mula-mula menjadi Ketua Ranting Bululawang – Malang, lalu Ketua Anak Cabang GP ANSOR Bululawang – Malang (1965), Ketua Cabang PMII Malang (1966), Ketua KAMI Malang (1966), Ketua Cabang GP ANSOR Malang (1967), Wakil Ketua PCNU Malang (1971), Ketua PCNU Malang (1973), Ketua PW GP ANSOR Jawa Timur (1983), Ketua PP GP ANSOR (1987), Sekretaris PWNU Jawa Timur (1987), Wakil Ketua PWNU Jawa Timur (1988), Ketua PWNU Jawa Timur (1992), Ketua Umum PBNU (Hasil Muktamar Lirboyo 1999 dan Muktamar Donohudan, Bonyolali).

Setelah Gus Dur, beliau pun membuka jaringan luar negeri karena dirasa banyak manfaat terlebih untuk Indonesia – khususnya eksistensi bagi Agama Islam mengingat Islamofobia sejak Tragedi WTC di New York (Amerika). Sejak menjabat Ketua Umum PBNU, beliau tercatat yang paling banyak melakukan kunjungan keluar negeri. Hampir seluruh negara telah disinggahinya terlepas perbedaan paham politik tiap negara tersebut, tujuannya tak lain agar dapat mengkomunikasikan bahwa Indonesia memiliki budaya keagamaan yang cinta damai  kepada para kepala negara dan pemimpin agamanya. Upaya itu sebagai bentuk bahwa NU merupakan organisasi moderat yang mampu bersinergi dengan keadaan zaman.

Keberhasilan Kyai Hasyim dengan gerakan plesiran tersebut kini tampak nyata, banyaknya santri-santri NU menerima beasiswa untuk melanjutkan sekolah keluar negeri, juga terbentuknya Pengurus Cabang Istimewa NU di beberapa negara sebagai pengakuan NU diterima oleh komunitas internasional.

Forum komunikasi ICIS I (International Conference of Islamic Scholar) pertemuan para Ulama Internasional berpaham moderat, di Jakarta (2004) dan ICIS II (2005) di tempat yang sama adalah pencapaian dari gagasan-gagasan beliau. Forum komunikasi ICIS banyak dinilai sebagai penjelmaan Komite Hujaz Jilid II, atau Komite Hijaz di abad Modern. Perbedaannya terletak pada Komite Hijaz I mengemban misi penyelamatan Faham Aswajah dari ancaman Faham Wahabi yang dikembangkan Raja Ibnu Saud, sedangkan Komite Hijaz II mengemban misi penyelamatan dari serangan ekstrimisme kanan dan ekstrimisme kiri yang dikembangkan negara-negara belahan bumi wilayah barat dan wilayah timur tengah.

Banyak hal yang bisa kita temukan dan kita kaji dalam perkembangan organisasi Nahdlatul Ulama yang sudah menginjak usia ke-95 tahun ini sehingga kita dapat memetik segala hikmah kebaikan yang bisa dijadikan motivasi dan semangat untuk kehidupan kita, sosok para kyai misalnya. Kyai Hasyim mengajarkan kepada kita tentang ketekunan dan pantang menyerah, selalu mengedepankan komunikasi logika dibandingkan konfrontasi menguras emosi, ikhlas pengabdiannya kepada agama dan bangsa, serta banyak lagi yang lainnya.

Selamat Hari Lahir Nahdlatul Ulama; Kami Bangga Menjadi Bagian Nahdlatul Ulama.

* ) Guru Al-Qura’n Hadits Miftahul Ulum 2 Banyuputih Kidul

Leave a Reply