Karakter Kerdil (Refleksi Tahun Baru Islam 1443 H)

Oleh : Muhammad Faisol Ali, SH. *)

Dalam semua lini kehidupan pasti terdapat perbedaan. Bahkan dalam kerajaan semut pun yang namanya perbedaan pasti ada. Setiap perbedaan rentan berpotensi saling menyalahkan; membenarkan; menyudutkan hingga menjatuhkan. Namun, hal ini bakal terjadi bila perbedaan dipandang dengan sebelah mata.

Kondisi negeri ini sepertinya sedang hangat-hangatnya pertikaian hingga berujung saling menjatuhkan. Menebar kebencian dalam semua partikel kehidupan. Baik kehidupan yang bersifat nyata atau kehidupan di depan layar; dunia maya. Semua manusia mulai dari yang paling muda hingga tua memiliki kesempatan memproduk, menebar dan atau menikmati kebencian yang sedang ditebar. Sungguh ironis melihat kehidupan penuh dengan kebencian. Kebencian yang akan terus menerus tumbuh bahkan terus mengalami musim semi.

Mari kita belajar dari kisah di suatu lembaga pendidikan yang sungguh menginspirasi. Ini kisah tentang cinta guru yang memicu santri lain cemburu. Begini kisah selengkapnya: Pada suatu lembaga pendidikan berbasis pesantren terjadi kesenjangan antara para murid (santri) dan guru. Murid-murid pada membincangkan perilaku guru-guru terhadap satu murid yang tidak seperti biasanya. Heboh, semua murid heran dan merasa cemburu dengan sikap guru-guru kala itu. Apa istimewanya murid itu hingga mendapatkan perlakuan yang membuat semua murid cemburu dan iri? Hanya guru-gurunya yang tau. Selebihnya adalah pandangan-pandangan para murid yang cenderung merendahkan lalu mencemooh. Begitulah memang watak manusia. Sejak dulu manusia lebih cenderung menilai kepribadian orang lain melalui sudut pandang yang kerdil.

Baca juga : HIJRAH DARI WABAH MENUJU INDONESIA SHIHHAH WA QUWWAH

Suatu perasaan bila dipendam, maka semakin membuat si pemendam rasa gelisah dihantui pertanyaan dan terus ingin mengungkapkan biar terasa ringan. Begitu pula mereka, para murid. Dengan berani salah satu diantara mereka mengajukan pertanyaan: “Atas sebab apa guru-guru mencintai murid satu ini melebihi kami semua?” Mendengar pertanyaan sedemikian rupa, salah satu guru diantara guru-guru memiliki ide brilian.Tindakan satu guru ini sekaligus menjawab pertanyaan mereka. Kemudian, dipanggillah setiap murid  untuk diberikan seekor ayam. Uji coba kualitas demi mendapatkan ekualitas.

“Bawalah ayam ini ke suatu tempat sekiranya tidak seorangpun yang mengetahui. Lalu sembelihlah ayam itu dan bawalah kembali kehadapanku?” Terang guru dengan lantang. Mendengar keterangan sekaligus perintah gurunya, semua murid melaksanakan apa yang telah diperintahkan. Berbagai cara mereka lakukan agar tidak diketahui oleh seorangpun. Bahkan hewan sekalipun tak ada yang mengatahui tindakannya. Hanya satu murid yang tidak melakukan perintah gurunya. Ia membiarkan ayam yang diberikan oleh gurunya hidup-hidup.

Setelah semua murid melaksanakan perintah guru dengan aneka cara agar tidak diketahui oleh seorangpun, dibawalah semua ayam yang sudah disembelih ke hadapan gurunya. Hanya dia seorang murid yang membawa ayamnya hidup-hidup. Puluhan pasangan mata mendelik terbelalak melihat keanehan tingkah murid satu ini. Ia menjadi pusat perhatian. Lantas guru bertanya pada dia.

“Nak, kenapa kamu belum menyembelih seekor ayam yang saya berikan?”

“Mohon maaf guru, saya tidak dapat melakukan perintah guru. Saya tidak mampu bersembunyi di suatu tempat yang sepi dari setiap senti pandangan manusia atau makhluk hidup lainnya. Betapa tidak, setiap kali saya berada di suatu tempat, Allah selalu melihat saya.”

Jawaban murid satu ini membuat puluhan kepala murid-murid yang lain tertunduk malu. Inilah pemikiran yang belum mereka miliki. Terlalu kerdil bagi mereka menyikapi suatu permasalahan.

“Lihatlah murid satu ini! Dimana pun dia berada, ia tidak pernah lupa bahwa Allah selalu melihatnya. Dia benar-benar orang yang takut pada Allah. Apa yang dia lakukan semata-mata karena Allah. Inilah alasannya, kenapa kami, guru-guru mencintai dia melebihi kalian. Saya yakin, suatu saat bila dia tumbuh besar, ia akan menjadi orang yang shaleh dan selalu taat pada Rabbnya dalam setiap waktu dan dimana pun ia berada.”

Terkadang kita memiliki pemikiran terlalu sempit seperti yang dilakukan oleh para murid-murid dalam kisah di atas akibat terlalu “sempat” melakukan sesuatu yang bersifat fatamorgana. Kita lebih banyak berkesempatan melakukan hal-hal sesuai dengan selera daripada menciptakan selera yang pas untuk banyak lidah. Karakter semacam ini yang membuat banyak orang merasa tidak bahagia, pertama.

Kedua, dan ini yang menjadi pokok dan momok di negeri ini, karakter kerdil. Disebut pokok sebab watak semacam ini pada dasarnya berawal dari sifat iri yang terus menggerus dalam diri manusia. Sifat ini yang banyak terdapat dalam diri manusia. Kadang kita sejak dini hingga kini terdidik dengan menampilkan keindahan yang bersifat formalitas dan simbolisme lalu kita melupakan esensi dari sebuah penampilan. Kita lebih sering merawat keindahan kulit tanpa memperdulikan hal-hal yang membuat kulit indah dari dalam. Alangkah bijaknya bila sebuah penampilan disertai dengan kemampuan memahaminya secara substansif dan esensialitas. Namun, bila kita hanya menampilkan keindahan demi meraih pujian, lalu melupakan kandungan dari esensi, ini yang disebut momok.

Taukah Anda, negeri ini akan terus berpura-pura dan bersandiwara dalam panggung dusta sepanjang bangsanya lupa akan esensi sebuah penampilan dan penghormatan.

*) Guru SKI MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *