Karya: Shinta Fairuzzuhro *)
Gadis itu selalu mengulang pertanyaan yang sama, pertanyaan yang seakan melekat dalam setiap helaan napasnya.
“Di mana ayah? Aku ingin tahu siapa ayahku… mengapa kalian berpisah?”
Itulah kalimat yang terus keluar dari mulut Velyn, setiap kali ia menatap wajah ibunya. Bertahun-tahun lamanya, rasa penasaran dan kerinduan itu tumbuh bersama usianya. Kini, di usia 18 tahun, ia hanya tumbuh dengan satu sosok: ibunya.
Jawaban ibunya selalu sama.
“Ada masalah di antara kami, dan Ibu tidak tahu di mana ayahmu. Ibu juga tidak peduli lagi.”
Namun bagi Velyn, itu bukan jawaban—hanya tembok yang menghalangi langkahnya. Ia ingin kebenaran, meski pedih. Ia ingin ayahnya, meski hanya sekali melihat wajahnya.
Pertemuan dengan Bibi
Suatu hari, Velyn memberanikan diri meminta izin pergi ke luar kota menemui bibinya. Setibanya di sana, ia langsung menumpahkan isi hatinya.
“Bibi tahu apa penyebab orang tuaku berpisah? Dan… di mana ayah?”
Bibi Velyn terdiam lama. Wajahnya bimbang, antara menjaga rahasia dan melepaskan beban yang selama ini ia pendam. Akhirnya ia memilih jujur.
Ia mulai bercerita tentang masa ketika Raisa, ibu Velyn, mengandung bayi kembar: laki-laki dan perempuan. Rio, ayah Velyn, sangat bahagia karena untuk pertama kalinya akan lahir keturunan laki-laki dalam keluarganya. Kabar itu ia umumkan ke mana-mana—ia bangga, terlalu bangga.
Namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama.
Musibah di Malam Itu
Saat usia kandungan memasuki sembilan bulan, Rio mendapat tugas kerja di luar kota. Ia berpesan agar Raisa tidak keluar rumah sendirian.
Dua minggu kemudian, saat malam larut dan Rio seharusnya terlelap, telepon berdering.
Kabar buruk itu datang menghujam: Raisa mengalami kecelakaan.
Raisa pergi membeli nasi goreng karena ngidam, dan tidak ada yang menemani. Ketika dompetnya jatuh di tengah jalan, Raisa berusaha mengambilnya. Mobil melaju dengan cepat. Segalanya terjadi begitu cepat.
Di rumah sakit, berita memilukan menyusul:
bayi perempuan selamat—bayi laki-laki tidak.
Rio terpukul. Kecewa. Marah. Saat Raisa sadar, Rio meledak.
“Kenapa kamu tidak mendengarkan pesanku?! Lihat apa yang terjadi! Bayi laki-laki yang sangat aku harapkan… telah tiada!”
Raisa tersentak. Kata-kata itu menoreh luka yang tidak pernah sembuh.
Sejak hari itu, Rio berubah.
Ia kehilangan pekerjaan.
Ia memarahi Raisa tanpa alasan.
Ia menolak menafkahi anaknya sendiri.
“Aku tidak sudi menafkahi anak itu! Gara-gara dia aku kehilangan pekerjaanku! Anak pembawa sial!”
Hati Raisa remuk. Ia bertahan selama ia mampu, sampai akhirnya memutuskan pergi. Perceraian pun terjadi. Raisa kembali ke orang tuanya, sementara Rio menikah lagi dan menghilang dari kehidupan mereka.
Pencarian yang Terjawab
Selesai mendengar cerita itu, Velyn menangis tanpa suara.
Namun ia tetap meminta alamat ayahnya.
Ia pergi mencarinya. Rumah itu ia temukan, tapi seorang tetangga berkata:
“Pak Rio dirawat di rumah sakit. Beliau kena stroke.”
Tanpa menunda, Velyn bergegas ke sana. Di sebuah ruang perawatan yang sunyi, ia menemukan seorang lelaki tua terbaring lemas.
“Ayah…”
Lelaki itu menatap bingung.
“Ayah? Maaf, saya tidak punya anak perempuan.”
Air mata Velyn menetes.
“Nama Anda Rio, kan? Saya Velyn… anak yang Ayah tinggalkan 18 tahun lalu.”
Pria tua itu terdiam. Matanya berkaca.
“…Velyn? Kamu benar Velyn? Ya… aku ayahmu.”
Rio kini hidup sendirian. Istri barunya pergi. Anak tirinya tak peduli. Penyesalan menua bersama tubuhnya yang lemah.
Ia menggenggam tangan Velyn dengan gemetar, berkali-kali meminta maaf. Velyn menangis, tapi untuk pertama kalinya ia merasa lega—ia menemukan ayahnya.
Mereka saling bercerita, tertawa kecil di sela air mata. Saat itu, dunia terasa baik-baik saja.
Namun kebahagiaan itu singkat.
Harapan yang Terkubur
Keesokan harinya kondisi Rio memburuk. Dokter berlari masuk ruangan, dan Velyn hanya bisa berdoa.
Beberapa jam kemudian, dokter keluar dengan wajah berat.
“Maaf… Pak Rio tidak tertolong.”
Dunia Velyn runtuh.
Air matanya pecah.
Harapan yang ia pupuk selama 18 tahun—sirna dalam sekejap.
“Aku baru saja bertemu Ayah… kenapa Ayah pergi lagi? Tapi kali ini… untuk selamanya.”
Dengan hati yang remuk, ia mengurus pemakaman ayahnya, lalu pulang ke rumah ibunya.
Sejak hari itu, Velyn hanya tinggal bersama ibunya.
Dan harapan untuk hidup bersama kedua orang tuanya terkubur bersama jasad ayahnya.
Selamanya.
____________
*) Siswi MTs Miftahul Ulum 2 Banyuputih Kidul


