logo_mts192
0%
Loading ...
Perbandingan

Karya: Zyaaan *)

Di pagi yang cerah, seorang gadis cantik berseragam putih abu-abu duduk tenang di balkon kamarnya. Name tag di dadanya bertuliskan: Zahira Alghifari A. Di tangannya ada secangkir hot chocolate hangat buatan sendiri. Setelah tegukan terakhir, ia beranjak dari duduknya, mengambil handphone dan ransel Levi’s-nya. Waktu menunjukkan pukul 05.15.

Jam segitu biasanya orang baru bangun. Tapi Zahira sudah siap berangkat ke sekolah. Bahkan, mungkin gerbang sekolah pun belum dibuka. Ia turun ke lantai bawah, melihat sekeliling rumah yang masih sepi. Namun langkahnya terhenti saat melihat cahaya dari dapur minimalis keluarga mereka. Di sana ada Moona, sang bunda, dan Bik Siseh, asisten rumah tangga, yang sedang sibuk menyiapkan sarapan.

“Zahira…” panggil Moona.

“Hm, iya, Bun? Ada apa?” jawab Zahira mendekat.

“Kamu mau berangkat, kan? Ini Bunda titip bekal untuk Mahira,” ujar Moona sambil menyodorkan kotak makan berwarna ungu muda.

Zahira mendesah.

“Kenapa nggak Mahira aja yang bawa sendiri, Bun?” protesnya.

Ia kesal. Hampir setiap hari ia harus membawa bekal adiknya ke sekolah. Harus mengalah dalam banyak hal, termasuk soal pendidikan. Semua karena alasan klasik: “Kamu itu kakaknya, lebih dewasa.” Padahal, jarak usia mereka hanya satu tahun.

“Kamu tahu sendiri kan, adikmu itu susah bangun pagi,” jawab Moona ringan.

“Kenapa nggak Bunda bangunin dia aja, kayak Bunda bangunin aku?” sahut Zahira cepat.

“Kasihan adikmu, semalam dia begadang karena tugas.”

Zahira nyaris tertawa sinis.

“Bunda juga tahu aku semalam begadang ngerjain tugas. Tapi tetap saja, aku yang dibangunin pagi-pagi, disuruh nyuci piring juga, disuruh ini-itu. Bukankah ada Bik Siseh?”

Moona menjawab tenang,

“Kamu itu kakak. Suatu saat nanti, kamu akan lebih dulu berumah tangga dari adikmu.”

Zahira terdiam, lalu berkata pelan namun tegas,

“Dari kecil Bunda selalu bilang begitu. Tapi apakah jadi kakak berarti harus jadi babu adik? Apakah kakak tidak pantas dapat kasih sayang?”

Pagi itu, Zahira kembali bertengkar. Sudah seperti kebiasaan. Sejak ayah mereka meninggalkan rumah, Zahira merasa semua berubah. Ia lelah. Karena itu ia memilih berangkat pagi-pagi sekali, meski masih mengantuk, lebih baik daripada terus merasa seperti “asisten rumah tangga”.

Zahira dan Mahira sangat berbeda.

Mahira, si adik, cantik, anggun, lembut, seperti tokoh putri di film kartun. Ia sering tampil menawan dan berprestasi dalam bidang non-akademik.

Zahira, meski tidak menonjol secara penampilan, justru cemerlang dalam akademik dan juga punya bakat di banyak bidang lain. Tapi tetap saja, ia selalu dibandingkan.

“Beauty is privilege, right?” batinnya.

Jika Bunda dan Mahira pergi bersilaturahmi, Zahira memilih tetap di rumah dengan alasan klasik: banyak tugas atau sakit kepala. Padahal ia hanya ingin menghindari komentar menyakitkan dari keluarga atau orang lain tentang penampilannya. Body shaming sudah menjadi makanan sehari-hari. Ia muak.

Zahira juga rindu.

Rindu akan sosok ayah yang dulu selalu membelanya, yang menyayanginya tanpa syarat. Ayah yang selalu menyeka air matanya saat ia dihina, dan menenangkannya saat ia takut di malam hari.

Kini, Zahira duduk diam di kelas. Bel istirahat sudah berbunyi dua menit lalu, tapi ia tak beranjak. Earphone masih terpasang di telinganya. Lagu yang mengalun membuatnya semakin larut:

“The monster’s gone, he’s on the run, and your daddy is here… Beautiful, beautiful, beautiful boy…”

Air matanya mengalir. Lagu itu—yang biasa ia dengarkan bersama ayah saat kecil—kembali menghidupkan kenangan hangat yang perlahan mulai memudar.

TAMAT

____________________

*) Siswi Kelas 9 MTs Miftahul Ulum 2 Bakid

Share the Post:

Join Our Newsletter