Karya: Keyla Aura Krismadaini *)
“Hiks… hiks…” terdengar suara tangisan seorang gadis di dalam kamar yang sunyi.
“KAMU SEHARUSNYA NGERAWAT ANAK YANG NGGAK BERGUNA ITU!!” bentak seorang pria penuh amarah.
“APA!? Aku disuruh ngerawat anak pembawa sial kayak dia? AKU NGGAK MAU!” sahut wanita paruh baya dengan suara tinggi.
Gadis kecil itu mendengar jelas percakapan kedua orang tuanya. Hatinya seakan ditusuk, sakit sekali. Ia bertanya dalam hati, “Apa aku benar-benar anak yang tidak berguna? Anak pembawa sial?”
Ia memeluk bantalnya erat-erat, mencoba menutup telinga agar tak mendengar lebih banyak lagi. Dan akhirnya, tangisnya pun membawanya tertidur.
Keesokan harinya, terdengar panggilan:
“BELLA!” teriak seorang wanita dari ruang tamu.
Bella segera keluar dari kamar dan menuju ruang tamu, di mana ibu, ayah, dan kakak lelakinya sudah duduk menunggunya dengan ekspresi yang tak biasa—senyuman hangat yang selama ini jarang ia dapatkan.
“Ada apa, Bu?” tanya Bella dengan bingung.
“Sini duduk dulu,” jawab ibunya sambil menepuk kursi di sebelahnya.
“Ayah sama Ibu mau ngajak kita jalan-jalan hari ini,” ucap kakaknya dengan lembut. Bella terkejut, tidak hanya karena dia diajak jalan-jalan, tapi juga karena sang kakak memanggilnya dengan sapaan hangat: “Dek”—hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Ini beneran? Aku diajak juga?” tanya Bella ragu.
“Iya dong, masa Ayah bohong,” jawab ayahnya.
“Maaf ya, dulu kami sering ninggalin kamu sendirian. Kami menyesal.”
Bella menatap ibunya dan menjawab pelan, “Bella nggak apa-apa kok, Bu.”
Di dalam mobil, Bella bertanya, “Kita mau jalan-jalan ke mana?”
Namun tidak ada yang menjawab.
Setelah perjalanan cukup jauh, mereka berhenti di sebuah tempat.
“Ayo turun,” kata Ayah.
“Lho, Yah? Ini kan panti asuhan? Kenapa kita ke sini?”
“Udah ikut aja,” jawab Ayah singkat.
Mereka masuk ke dalam panti, dan Ayah langsung berbicara kepada pengurus:
“Saya mau titip anak saya di sini.”
Bella terpaku.
“Ayah serius…?” tanyanya pelan.
“Iya, kenapa? Emangnya kenapa kalau kamu tinggal di sini?” jawab Ayah dingin.
DEG! Hati Bella terasa hancur.
Akhirnya, Bella ditinggal di panti asuhan. Hari-harinya di sana terasa sepi dan asing. Meski sudah berbulan-bulan berlalu, ia belum sepenuhnya terbiasa.
Suatu siang setelah makan, pengasuh memanggil Bella.
“Bella, ikut Ibu ke ruang tamu, ya.”
Di dalam ruangan, ada sepasang suami istri yang belum dikenalnya.
“Bella, ini ada pasangan yang ingin mengadopsimu,” kata pengasuh.
Bella terdiam.
“Aku… nggak mau. Aku takut nanti mereka jahat kayak orang tua aku dulu,” jawabnya pelan.
“Enggak, Bella. Kami janji bakal sayang sama kamu,” ucap pria bernama Om Hendri.
“Beneran, Bella. Kalau kami jahat, laporin aja ke Ibu panti, biar dipanggil polisi,” canda pengasuh.
Bella tertawa kecil, keraguan di hatinya mulai hilang.
“Jadi… kamu mau jadi anak kami?” tanya Tante Gadis.
“Hmm… yaudah deh, Bella mau,” jawab Bella.
Mereka semua bersorak senang. Surat adopsi pun segera diurus.
Empat belas tahun berlalu…
Bella tumbuh dewasa dengan penuh kasih sayang dari Om Hendri dan Tante Gadis. Ia dibimbing, disekolahkan, hingga lulus kuliah hukum. Sekarang, di usia 26 tahun, Bella telah menjadi seorang Kepala Hakim.
Di ruang sidang, Bella duduk tenang di kursi kehormatan, menunggu dua tersangka masuk.
Betapa terkejutnya Bella saat melihat siapa yang datang: ayah kandung, ibu kandung, dan kakak laki-lakinya sendiri. Mereka kini menjadi terdakwa karena kasus hukum.
Mereka berjalan tertunduk malu. Ketika mereka mengangkat wajah, mereka pun terkejut.
“Be… Bella?” bisik ibunya.
“Ini ibu, Bella. Ibu kangen kamu,” lanjutnya.
Bella hanya menatap dingin dan menjawab tegas,
“Ibu? Memangnya ada ibu yang menitipkan anaknya ke panti asuhan?”
“Maafkan kami, Bella. Kami nggak tahu kamu bisa sukses kayak sekarang,” ucap ayahnya.
“Kalau aku nggak jadi hakim, kalian tetap nggak akan mengakuiku, kan?”
Mereka semua terdiam.
“Maaf, tapi sekarang aku sudah punya orang tua baru yang benar-benar menyayangiku. Mereka di sana…”
Bella menunjuk ke arah Om Hendri dan Tante Gadis yang duduk bangga di kursi pengunjung.
Ternyata…
Anak yang mereka campakkan, kini menjadi wanita berwibawa dan berpendidikan tinggi.
Sementara anak yang mereka banggakan justru membawa masalah.
TAMAT.
*) Siswi Kelas 8 MTs Miftahul Ulum 2 Bakid