Oleh: Muhammad Afif Umri, SH *)
Dalam pendidikan Islam, pencarian dan penerimaan kebenaran merupakan inti dari seluruh proses pembelajaran. Kebenaran tidak selalu diterima dengan mudah, bahkan sering kali harus melalui berbagai tantangan sebelum akhirnya diakui. Hal ini sejalan dengan pernyataan filsuf Arthur Schopenhauer yang mengatakan:
“Semua kebenaran di dunia ini harus melewati tiga tahap: pertama ditertawakan, kedua ditentang dengan keras, dan ketiga diterima tanpa pembuktian dan alasan.”
Kutipan tersebut memberikan gambaran tentang dinamika penerimaan kebenaran dalam masyarakat, termasuk dalam konteks pendidikan Islam. Berikut penjelasan tiga tahapan kebenaran tersebut.
Tahap Pertama: Kebenaran Ditertawakan
Pada tahap awal, kebenaran atau gagasan baru sering kali dianggap aneh, tidak penting, bahkan ditertawakan. Hal ini biasanya terjadi karena gagasan tersebut berbeda dari kebiasaan atau pandangan yang sudah mapan.
Dalam pendidikan Islam, kondisi ini dapat terlihat pada munculnya inovasi dalam metode pembelajaran, seperti penggunaan teknologi digital, pembelajaran daring, atau aplikasi pendidikan di madrasah. Ketika hal-hal tersebut pertama kali diperkenalkan, sebagian pihak mungkin menganggapnya tidak perlu atau bertentangan dengan tradisi.
Padahal, Islam mengajarkan umatnya untuk bersikap terbuka terhadap hal-hal baru selama tidak bertentangan dengan prinsip Al-Qur’an dan Sunnah. Setiap gagasan seharusnya dikaji secara objektif untuk menemukan hikmah dan manfaatnya.
.
Tahap Kedua: Kebenaran Ditentang dengan Keras
Jika sebuah kebenaran mulai menunjukkan pengaruh dan mendapatkan perhatian, biasanya akan muncul penentangan yang lebih serius. Penolakan ini bisa disebabkan oleh rasa takut terhadap perubahan, perbedaan kepentingan, atau kekhawatiran akan tergesernya pandangan lama.
Dalam sejarah peradaban Islam, banyak ilmuwan dan pemikir besar yang mengalami fase ini. Tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina dan Al-Khawarizmi menghadapi kritik dan penolakan keras terhadap pemikiran mereka. Namun, dengan keteguhan, keilmuan, dan landasan nilai Islam, mereka tetap menyampaikan kebenaran yang diyakini hingga akhirnya diakui dan diwariskan kepada generasi berikutnya.
Tahap Ketiga: Kebenaran Diterima Secara Luas.
Setelah melewati fase penertawaan dan penentangan, kebenaran pada akhirnya akan diterima secara luas. Pada tahap ini, kebenaran tersebut dianggap wajar dan tidak lagi diperdebatkan.
Dalam pendidikan Islam, contoh nyata dari tahap ini adalah penerimaan terhadap pentingnya pendidikan karakter dan akhlak. Dahulu, fokus pendidikan sering kali lebih menekankan aspek akademik semata. Namun kini, hampir seluruh lembaga pendidikan Islam sepakat bahwa pembentukan akhlak mulia merupakan fondasi utama dalam mencetak generasi yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat.
Tiga tahapan kebenaran sebagaimana disampaikan oleh Arthur Schopenhauer memberikan pelajaran penting bagi dunia pendidikan Islam. Kebenaran tidak selalu diterima secara instan, tetapi membutuhkan proses, kesabaran, dan keteguhan.
Sebagai pendidik dan pembelajar Muslim, kita dituntut untuk bersikap terbuka terhadap gagasan baru, mengkajinya dengan bijak, serta berani menyampaikan kebenaran meskipun menghadapi tantangan. Dengan sikap inilah pendidikan Islam dapat terus berkembang dan melahirkan generasi yang cerdas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi umat manusia.


