logo_mts192
0%
Loading ...

Kerasnya Dunia Pejuang Rupiah

Share the Post:
KERASNYA DUNIA PEJUANG RUPIAH

Karya: Shinta Fairuzzuhro *)

“Bu, Kevin mau berangkat sekolah. Kasih uang jajannya sekarang!” seru seorang anak laki-laki kelas SD sambil mengulurkan tangan kanannya.

Dengan senyum lelah, sang ibu mengeluarkan uang lusuh dan beberapa receh dari sakunya. Hidup tanpa suami membuatnya harus bekerja keras demi menghidupi anak tunggalnya—meski hasilnya hanya sedikit. Ia menyerahkan selembar dua ribu rupiah.

Namun Kevin justru membentak.

“Apa-apaan ini, Bu?! Mana bisa jajan cuma dua ribu! Kevin malu!”

Bagai ditikam kata-kata, hati sang ibu perih. Air matanya jatuh mengenai uang lusuh yang ia genggam. Kevin pergi ke sekolah dengan kesal, dan sang ibu hanya bisa menahan pedih sambil bertekad bekerja lebih keras lagi.

Perjuangan Seorang Ibu

Pagi yang cerah tiba. Ibu Kevin menyiapkan sarapan sederhana dan menuliskan pesan kecil:

“Kevin, ini sarapan. Maaf ibu cuma bisa masak telur ceplok.”

Kevin mengabaikannya. Sementara itu, sang ibu berangkat menuju sebuah rumah mewah tempat ia mencoba melamar sebagai asisten rumah tangga. Setelah menunggu, ia diterima. Senyum bahagia menghiasi wajahnya.

Ia bekerja seharian penuh—menyapu, mengepel, mencuci piring, membersihkan halaman. Saat pamit pulang, ia menerima upah hari itu: lima ribu rupiah. Meski sedikit, ia tersenyum tipis.

Sore berganti malam. Sang ibu kembali mencari cara untuk menambah penghasilan. Ia melihat rumah makan ramai dan memberanikan diri meminta pekerjaan sebagai pencuci piring. Pihak restoran menerimanya.

Piring kotor tak pernah berhenti datang. Tangan sang ibu memerah, tubuhnya lelah, tapi ia bertahan. Pukul 10 malam ia selesai bekerja dan menerima sepuluh ribu rupiah. Dengan langkah gontai, ia pulang sambil bertanya dalam hati: Apakah ini cukup untuk kebutuhan kami?

Cincin Terakhir

Keesokan paginya, Kevin menyampaikan lagi tuntutannya.

“Bu, Kevin ditagih SPP. Cepat bayar, sudah telat!”

Sang ibu tersedak. Tabungannya habis untuk membeli beras. Ia masuk kamar, membuka lemari, dan menatap cincin mahar dari mendiang suaminya—satu-satunya kenangan yang tersisa. Dengan air mata mengalir deras, ia menjual cincin itu di toko emas terdekat.

Hasilnya cukup untuk membayar SPP Kevin. Ia memegang uang itu dengan senyum lega, tanpa sadar langkahnya memasuki jalan yang ramai.

Suara klakson. Terikan.

“Aaaaa!”

Mobil melaju cepat menghantam tubuhnya.

Uang jutaan rupiah berhamburan di aspal. Darah mengalir membentuk genangan. Orang-orang mulai berkerumun—ibu Kevin menjadi korban tabrak lari.

Anak yang Tersadar

Sepulang sekolah, Kevin tidak menemukan ibunya. Ia kesal, mengira ibunya masih bekerja. Ketukan pintu menggema panik.

“Kevin! Ayo ikut Tante Sarah ke rumah sakit. Ibumu kecelakaan!”

Di ruang UGD, dokter berkata,

“Kami harus melakukan operasi. Silakan mengurus pembayarannya di administrasi.”

Kevin terpaku. SPP saja belum terbayar—bagaimana dengan biaya operasi?

Ia masuk ke ruang ibunya dan menangis. Tiba-tiba terlintas sebuah ide. Ia pulang, mengambil ukulele hadiah dari ayahnya dulu, dan berjalan ke lampu merah.

Di bawah terik matahari, ia menyanyi dari satu mobil ke mobil lain. Keringat bercucuran, tapi ia tetap bertahan demi ibunya. Hari mulai gelap. Ia menghitung hasilnya: lima belas ribu rupiah. Rasa kecewa menghantamnya.

Dalam perjalanan pulang, ia melihat pedagang bakso kewalahan. Kevin menawarkan bantuan mencuci mangkuk demi menambah uang. Ia bekerja sambil menahan lapar hingga sebuah mangkuk terjatuh dan pecah. Pedagang itu marah dan mengambil seluruh uang Kevin sebagai ganti rugi.

Air mata kembali menetes.

Untuk pertama kalinya, Kevin merasakan betapa sulitnya mencari uang.

Gerbang Rezeki Tak Terduga

Malam harinya, Kevin baru ingat tugas sekolah membuat tempat pensil dari botol bekas. Ia membuat satu dengan tekun. Hasilnya bagus—dan tiba-tiba muncul ide. Ia mencari lebih banyak botol, menghiasnya dengan cat dan karakter lucu hingga larut malam.

Sepulang sekolah keesokan harinya, ia mencoba menjual kerajinan itu di pinggir jalan. Berjam-jam ia menunggu, tak ada satu pun yang membeli.

Hingga sebuah mobil berhenti. Seorang gadis muda turun—sederhana, namun anggun.

“Dek, kakak mau beli semua daganganmu. Boleh?”

Kevin mengangguk bahagia. Mereka berbincang, dan Kevin menceritakan keadaan ibunya.

Gadis itu langsung meminta Kevin mengantarnya ke rumah sakit. Tanpa diduga, ia membayar lunas seluruh biaya operasi ibu Kevin.

Kevin tak berhenti mengucap terima kasih.

Akhir yang Menguatkan

Saat ibu Kevin sadar dari koma, hal pertama yang ia ucapkan adalah:

“Nak, maafkan ibu. Uang SPP kamu hilang. Ibu janji akan cari uang lagi…”

Kevin memeluknya sambil menangis.

“Ibu tenang. SPP Kevin sudah lunas. Semua biaya Ibu juga sudah dibantu kakak ini.”

Air mata haru mengalir. Untuk pertama kalinya Kevin benar-benar memahami:

sepeser rupiah pun sangat berharga bagi orang yang berjuang.

Kini ia menyesali sikapnya dan berjanji tak akan menyia-nyiakan jerih payah ibunya lagi.

THE END

*) Siswi Kelas MTs Miftahul Ulum 2 Banyuputih Kidul

Join Our Newsletter