Karya: Zahra Maulia *)
Pagi itu, sinar matahari mulai menembus sela-sela jendela asrama. Suara takbir menggema dari berbagai arah, menyambut datangnya Idul Adha.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar…”
Di kamar A, kegaduhan terdengar. Para santri tengah memilih pakaian terbaik untuk dipakai di hari raya. Ara berdiri di depan lemari, mengangkat sebuah gamis biru muda.
“Aku pakai yang biru aja, biar kelihatan cerah nanti,” ucap Ara semangat.
“Ihh rame banget sih! Lama-lama kamar A viral nih,” seru Ifa sambil menutup telinganya.
“Iya iya, jangan ribut. Nanti Neng Ifa marah-marah,” sahut Khair, disambut tawa yang memenuhi ruangan. Asrama A memang hanya berisi sepuluh santriwati, tapi mereka terkenal sebagai circle Adudu karena wajah mereka yang katanya mirip dan agak berbentuk kotak.
Ara, Khair, Ifa, Rifa, Ilmi, Sasa, Fira, Nanda, Sisi, dan Risma — sepuluh sahabat yang kompak dalam suka dan duka.
Namun, tawa pagi itu berubah jadi kecemasan ketika Ara tiba-tiba mengeluh kesakitan.
“Aduhh… sakit banget…” rintih Ara sambil memegangi perut.
Rifa segera melapor ke pengurus. Ara dibawa ke klinik, lalu dirujuk ke rumah sakit.
Hari menjelang sore, dan belum ada kabar dari dokter. “Kok belum keluar juga sih dokternya… Aku khawatir banget,” ujar Nanda.
Akhirnya dokter keluar dan berkata, “Pasien mengalami gangguan lambung yang cukup serius. Sebaiknya diistirahatkan di rumah dan mendapat perawatan lebih intensif.”
Orang tua Ara segera dihubungi. Tak lama kemudian, mereka datang menjemput. Teman-temannya menahan tangis saat Ara pamit.
“Teman-teman… Aku pulang dulu, ya…”
“Cepat sembuh, Ara… Kita bakal kangen banget sama kamu!”
Ara hanya bisa mengangguk, menahan haru.
Namun siapa sangka, itu bukan sekadar perpisahan sementara. Setelah sampai di rumah, Ara berbicara dengan orang tuanya.
“Kamu masih ingin mondok, Ra?” tanya Abu, ayahnya.
“Iya, Abu… Tapi… Ara nggak mau pisah dari sahabat-sahabat Ara,” lirihnya.
“Kalau menurut Umi, kamu pindah pondok aja. Yang fasilitas kesehatannya lebih baik,” ujar Umi.
Setelah berpikir panjang, Ara pun mengangguk. “Baiklah, Ara ikut Abu dan Umi. Ara pindah pondok.”
Pagi harinya, Ara bersiap dengan gamis putih dan jilbab keunguan. Umi dan Abu mengantarnya ke Pondok Al-Hikam di Malang. Setelah sampai, Ara menatap bangunan megah itu dengan hati campur aduk.
“Umi, Ara kangen sama sahabat-sahabat Ara… Nanti kalau ke sini, kabarin mereka ya. Biar mereka juga bisa lihat pondok Ara yang baru,” pintanya.
Hari-hari pun berlalu. Ara mulai bisa beradaptasi. Saat Haflah pondok, Umi datang.
“Umii! Ara kangen!” teriak Ara sambil memeluk Umi erat.
“Umi juga punya kejutan buat kamu, Nak,” bisik Umi.
Tiba-tiba terdengar suara-suara yang familiar.
“Araaaa!”
Ara menoleh. Sahabat-sahabatnya berdiri di belakangnya, tersenyum lebar.
“Kalian datang!”
“Kami diizinin Umi kamu ikut ngirim. Kami juga kangen banget sama kamu!”
Mereka pun berpelukan, melepas rindu.
Tak lama, diumumkan bahwa siswi terbaik akan diumumkan. “Penobatan siswi terbaik diraih oleh Zahira Alexa Putri dari Lumajang!”
Semuanya bersorak. Ara naik ke panggung, mengambil mikrofon.
“Assalamu’alaikum teman-teman. Terima kasih untuk guru-guru, pengurus, dan sahabat-sahabatku. Jangan pernah menyerah mengejar cita-cita. Yakinlah, banyak orang yang menyayangimu… seperti aku menyayangi sahabat-sahabatku.”
Tangis haru pecah. Ara turun dari panggung dan memeluk Umi.
“Ara bangga jadi santri, Mi… Ara akan terus belajar, demi masa depan, dan demi mereka… sahabat terbaikku.”
*) Siswi MTs Miftahul Ulum 2 Banyuputih Kidul


