Karya: Dina Yuliana *)
Pada suatu hari, hiduplah seorang gadis kecil bernama Dina, anak perempuan satu-satunya di keluarganya. Ia memiliki dua kakak laki-laki yang sangat menyayanginya. Beberapa minggu sebelum Dina berangkat ke pondok pesantren, ibunya jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit.
Sayangnya, Dina tidak diizinkan ikut ke rumah sakit. Ia hanya bisa menunggu di rumah. Hatinya terasa hampa. Ia ingin sekali menemui ibunya yang sedang terbaring lemah.
“Sungguh malang diriku,” gumamnya dalam hati.
Beberapa hari kemudian, kabar baik datang. Sang kakak memberitahu bahwa kondisi ibu sedikit membaik. Mendengar kabar itu, hati Dina agak tenang. Ia pun mulai mempersiapkan diri. Tanggal 3 Juni, Dina akan resmi menjadi santri. Namun, ibunya belum tahu bahwa putri kecilnya sebentar lagi akan mondok.
Malam Hari — 2 Juni, Pukul 19.00 WIB
Malam itu, Dina diajak ayahnya mengunjungi rumah beberapa saudara. Setelah kembali ke rumah, ia hendak menuju kamarnya, tetapi ayahnya menahan langkahnya.
“Cepat tidur, karena besok kamu sudah harus ke pondok,” ucap ayahnya.
“Iya, Ayah…” jawab Dina pelan.
Keesokan Paginya…
Dina terbangun karena dibangunkan oleh tantenya. Masih setengah sadar, ia duduk di tempat tidur.
“Dina… Tante mau bilang sesuatu, tapi kamu jangan sedih ya?” ucap sang tante lembut.
Dina mengangguk polos.
“Iya, kenapa, Tan?”
“Ibu kamu… sudah nggak ada, Dina…”
Tubuh Dina tersentak. Dunia seolah runtuh di hadapannya. Napasnya sesak. Ia berlari memeluk ayahnya sambil menangis tersedu-sedu.
“Sudah… Dina jangan menangis. Kamu harus bisa merelakan Ibu, ya?” kata sang ayah sambil menahan air mata.
“Tapi… Ayah… kenapa Ibu secepat itu ninggalin kita?” isaknya.
“Ini sudah takdir, Nak…”
Sang ayah mengajak Dina ke rumah orang tua almarhumah ibunya. Namun, di tengah perjalanan, Dina tiba-tiba pingsan. Orang-orang panik dan segera membawanya ke kamar. Tak lama kemudian, ia mulai siuman.
Dari luar, terdengar suara keributan. Dina bangkit pelan, berjalan ke luar kamar. Jenazah ibunya telah tiba.
Tangisnya pecah seketika.
Sang ayah menepuk bahunya lembut.
“Dina, ambil wudhu. Kita ngaji bareng untuk Ibu, ya?”
Dina menurut. Ia mengambil air wudhu, lalu duduk mengaji di sebelah kakaknya, Dani. Suaranya bergetar karena menangis, dan Dani menyadarinya.
“Adek sabar, ya? Jangan sampai Ibu khawatir di sana. Adek harus ikhlas…”
“Tapi, Mas… Adek nggak mau kehilangan Ibu…”
“Mas juga nggak mau, Dek… Tapi ini kehendak Allah…”
Setelah tahlilan dan pembacaan doa, jenazah dibawa menuju pemakaman. Dina ikut serta, namun ia hanya diam dan termenung sepanjang perjalanan.
Sesampainya di pemakaman, sang ayah berkata pelan,
“Dina, sepertinya pemberangkatanmu ke pondok ditunda dulu… Tunggu sampai tujuh harinya selesai, ya?”
Dina mengangguk pelan. Tatapannya kosong. Kini, tak ada lagi yang akan menemaninya makan, bermain, dan bercerita. Sosok yang ia cintai kini telah pergi selamanya.
Namun, ia tahu… ini adalah awal dari ujian hidupnya. Ia harus ikhlas, sebab cinta sejati tak pernah benar-benar hilang. Ibu akan tetap hidup di hatinya — selamanya.
*) Siswi Kelas 8 MTs Miftahul Ulum 2 Bakid