logo_mts192
0%
Loading ...

Haji Mabrur: Tujuan Tertinggi Perjalanan Suci ke Baitullah

Oleh : H. Ahmad Fauzi, S.Pd.I *)

Haji merupakan rukun Islam kelima, kewajiban yang ditunaikan oleh setiap Muslim yang mampu secara fisik, finansial, dan keamanan perjalanan. Ummat Islam di Indonesia harus rela antri puluhan tahun untuk dapat melaksanakan rukun Islam terakhir ini. Bagi yang kaya, mereka berani membayar mahal mulai 300 juta hingga hampir satu milyar hanya untuk beribadah haji tanpa menunggu lama (Haji Furada). Bahkan beberapa tahun terakhir ini, banyak warga Indonesia yang nekat berangkat ke Tanah Suci dengan melalui jalur yang tidak resmi sehigga banyak yang tertangkap dan dibuang bahkan ada yang meninggal di gurun pasir karena mengalamai dehidrasi.

Memang betul, ibadah haji adalah puncak penghambaan yang merangkum unsur spiritual, fisik, sosial, dan ekonomi. Namun tidak semua haji dinilai sama di sisi Allah. Namun lebih dari sekadar pelaksanaan ritual, tujuan tertinggi ibadah haji adalah meraih derajat “Haji Mabrur”, sebuah predikat agung yang menjadi dambaan setiap orang yang berangkat ke Tanah Suci.

Baca Juga

Hari Tasyriq: Makna, Waktu, dan Asal Penamaannya

Makna Haji Mabrur

Secara bahasa, mabrur berasal dari kata “birr” yang berarti kebaikan, kebajikan, atau sesuatu yang diterima oleh Allah. Maka Haji Mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah karena dilaksanakan dengan niat yang ikhlas, sesuai tuntunan syariat, dan membuahkan perubahan akhlak menjadi lebih baik.

Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa Haji Mabrur adalah:

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ هُوَ الَّذِي لَا يَخْتَلِطُ بِهِ إِثْمٌ، وَيَكُونُ بِنَفَقَةٍ حَلَالٍ، وَيُؤَدَّى عَلَى وَجْهِهِ الشَّرْعِيِّ

“Haji mabrur adalah haji yang tidak bercampur dosa, dilakukan dengan harta halal, dan sesuai tuntunan syar’i.”  (Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi)

Allah berfirman:

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah…” (QS. Al-Baqarah: 196)

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ

Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (kata-kata kotor), tidak boleh berbuat fasik, dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji…” (QS. Al-Baqarah: 197)

Ayat ini menjadi landasan penting bahwa haji yang baik bukan hanya benar secara ritual, tapi juga tercermin dalam sikap dan tutur kata selama prosesi ibadah.

Ummat Islam yang melaksanaan haji sudah pasti berharap menjadi haji yang mabrur karena balasan haji mabrur adalah surga sebagaimana sabda Rasulullah

وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

“Haji yang mabrur tidak ada balasan baginya selain surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits-hadits ini menegaskan bahwa haji mabrur bukan hanya ritual lahiriah, tetapi juga berkaitan erat dengan akhlak, keikhlasan, dan manfaat sosial.

Ciri-Ciri Haji Mabrur

Para ulama salaf dan ahli tafsir seperti Ibnu Rajab al-Hanbali, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dan Imam al-Ghazali menyebutkan sejumlah tanda seseorang mendapatkan haji yang mabrur:

  • Ketaatan meningkat setelah haji

Orang yang hajinya mabrur akan semakin taat, semakin rajin beribadah, dan menjaga amal setelah kembali ke tanah air, sebagaimana dalam firman Allah

فَاِذَا قَضَيْتُمْ مَّنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَذِكْرِكُمْ اٰبَاۤءَكُمْ اَوْ اَشَدَّ ذِكْرًاۗ فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّقُوْلُ رَبَّنَآ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا وَمَا لَهٗ فِى الْاٰخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ

Apabila kamu telah menyelesaikan manasik (rangkaian ibadah) haji, berzikirlah kepada Allah sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyang kamu, bahkan berzikirlah lebih dari itu. Di antara manusia ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,” sedangkan di akhirat dia tidak memperoleh bagian apa pun. (QS. Al-Baqarah : 200)

  • Akhlak menjadi lebih baik

Haji mabrur mencetak pribadi yang santun, sabar, dan jujur

فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ

maka tidak boleh rafats (kata-kata kotor), tidak boleh berbuat fasik, dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.

Larangan ini tentu bukan hanya dalam proses pelaksanaan rangkaian ibadah haji, tetapi sebagai sarana melatih diri agar pasca haji kita sudah terbiasa menghindari ucapan kotor, sumpah serapah, mengumpat dan mencaci orang lain; berusaha meninggalakn perbuatan buruk (fasik) dan perdebatan-perdebatan yang kontra produktif.

  • Meninggalkan kemaksiatan

Ibadah haji adalah momen penyucian jiwa dan perbaikan diri. Seseoang yang meraih haji mabriur tidak kembali pada dosa-dosa sebelumnya yang pernah dilakukan, dan menjaga diri dari maksiat.

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Siapa yang berhaji dan tidak berkata keji serta tidak berbuat fasik, maka ia pulang seperti bayi yang baru lahir.” (HR. Bukhari & Muslim)

  • Memiliki kepedulian sosial dan santun dalam bermuamalah

Ibadah haji bukan hanya ritual spiritual, tetapi juga sarana menumbuhkan kepedulian sosial. Di Tanah Suci, jutaan umat Islam dari berbagai latar belakang bersatu dalam kesetaraan. Pakaian ihram menghapus status sosial, mengajarkan bahwa semua manusia sama di hadapan Allah. Haji mabrur akan menjadikan seseorang dermawan, ringan tangan dalam menolong sesama, dan tidak mencari pujian. Rasulullah saw bersabda

قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا بَرُّ الْحَجِّ؟ قَالَ: إِطْعَامُ الطَّعَامِ، وَطِيبُ الْكَلَامِ

Haji Mabrur adalah haji yang memberi makan dan berkata baik.” (HR. Ahmad)

  • Menjadi pribadi yang bertaqwa

Salah satu tujuan utama ibadah haji adalah membentuk pribadi yang bertakwa. Haji bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan proses penyucian hati dan peningkatan keimanan.

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ

Dan berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197)

Haji yang mabrur tidak hanya diterima di sisi Allah, tetapi juga membentuk manusia yang lebih baik: jujur, penyabar, rendah hati, dan dekat dengan Allah. Inilah buah dari takwa yang sesungguhnya.

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin mengatakan “Haji yang mabrur adalah yang mengubah pelakunya, bukan hanya membekas pada kulit, tapi menyentuh hati dan menuntun hidupnya menuju jalan yang diridai Allah.”

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Balasan amal itu sesuai jenis amalnya. Maka siapa yang pulang dari haji dalam keadaan lebih baik amal dan akhlaknya, maka itu adalah pertanda hajinya mabrur.” (Zad al-Ma’ad)

Ikhtisar

Haji bukan sekadar perjalanan fisik ke Makkah, tetapi perjalanan ruhani menuju kesucian hati. Kemabruran haji bukan hanya dinilai dari prosesi, tapi dari buahnya yang terus tumbuh dalam kehidupan sehari-hari. Maka marilah kita siapkan diri, niat, dan ilmu agar ketika Allah memanggil ke Baitullah, kita bisa pulang sebagai hamba yang dibersihkan dan diterima.

*) Kepala MTs Miftahul Ulum 2 Bakid

Share the Post:

Join Our Newsletter