logo_mts192
0%
Loading ...

Tak Ada Kata Terlambat

Karya: Rahmadaini *)

Desir ombak malam menyapa gelapnya cakrawala. Seorang gadis berdiri di tepi pantai, menatap kosong ke arah laut. Angin malam yang dingin mengibarkan rambut panjangnya.

“Kenapa, Papa? Kenapa tega ninggalin Naura sama Mama di sini? Demi wanita lain, Pa…” suara itu lirih, nyaris tertelan ombak. Naura, gadis itu, berbisik kepada dirinya sendiri, meratapi kehancuran keluarganya.

Ayahnya, yang dulu menjadi sandaran terkuat dalam hidupnya, kini pergi begitu saja demi seorang wanita lain. Pengkhianatan itu menyisakan luka yang sulit tertutup, membuat Naura hampir kehilangan arah.

“Naura?” panggil suara lembut dari balik pintu kamarnya.

“Iya, kenapa, Ma?” sahut Naura, menghapus air matanya cepat-cepat. Ia membuka pintu, memperlihatkan sosok wanita paruh baya berhijab yang selama ini ia panggil “Mama.”

“Anak Mama kenapa belum tidur?” tanya Rina, suara hangatnya memecah keheningan malam.

Naura menggeleng pelan, tapi tatapannya kosong. “Naura kangen Papa, Ma…” ucapnya, jujur.

Rina menarik Naura ke dalam pelukannya, mengusap lembut rambut putrinya. “Sabar, Nak. Papa pasti akan kembali suatu hari nanti,” ujar Rina, meski dalam hatinya ia sendiri ragu.

Hening kembali hadir di antara keduanya, hanya ditemani suara ombak yang memecah pantai. Tak lama, tubuh Naura yang mulai lelah akhirnya tertidur di pelukan Rina. Wanita itu tersenyum kecil, lalu memindahkan putrinya ke tempat tidur. Sebelum meninggalkan kamar, ia mengecup kening Naura lembut.

“Selamat malam, anak Mama,” bisiknya, menutup pintu dengan pelan.


Pagi yang Penuh Harapan

Kicauan burung di pagi hari mengiringi kesibukan Rina di dapur. Naura, yang biasanya malas-malasan, pagi itu membantu mencuci piring.

“Naura,” panggil Rina tiba-tiba.

“Kenapa, Ma?” Naura menoleh, menunggu ibunya bicara.

Rina menghela napas pelan. Ada keraguan dalam sorot matanya. “Mama boleh minta sesuatu sama kamu?” tanyanya lembut.

Naura tersenyum. “Tentu, Ma. Apa pun yang Mama minta, Naura pasti turuti.”

“Mama pengen kamu pakai jilbab dan berhenti melukai tangan kamu, Nak…”

Hening. Kata-kata itu terasa berat di telinga Naura. Ia tak menjawab, hanya menunduk, memikirkan ucapan ibunya.

“Mama ingin anak Mama jadi wanita sholehah. Mama nggak mau lihat kamu menyakiti diri sendiri lagi. Naura tahu kan, itu dosa besar?” Rina menambahkan, mencoba meyakinkan putrinya.

Naura menatap ibunya dengan raut bingung. “Biar Naura pikir-pikir dulu, Ma,” jawabnya datar.

Rina hanya bisa mengangguk, meski hatinya sedikit kecewa. Ia tahu, mengubah Naura bukan hal mudah.


Malam yang Membingungkan

Malam itu, Naura pergi bersama teman-temannya ke klub malam. Suara musik yang memekakkan telinga dan lampu yang berpendar-pendar memenuhi ruangan. Namun, berbeda dari biasanya, Naura terlihat murung.

“Kenapa, Nau? Kok kayaknya banyak pikiran?” tanya Viona, salah satu teman dekatnya, yang sudah setengah mabuk.

“Ah, nggak apa-apa. Cuma lagi mikirin Papa,” jawab Naura, berbohong. Sebenarnya, pikirannya penuh dengan permintaan ibunya tadi pagi.

“Udahlah, nggak usah mikirin hal berat. Kita happy-happy aja!” ujar Viona sambil tertawa.

Namun, Naura memilih diam, menjauh dari keramaian. Ia sadar, hidup seperti ini tidak akan membawa kebahagiaan yang sebenarnya.


Pagi yang Membawa Keajaiban

Pagi itu, Rina sedang menyapu halaman rumah. Udara dingin terasa segar setelah hujan deras semalam. Langkah kaki terdengar mendekat dari arah pagar.

“Assalamualaikum,” suara lembut menyapa.

Rina menoleh, dan matanya membulat melihat siapa yang berdiri di depannya. Seorang gadis dengan jilbab pink pastel dan jubah panjang yang serasi.

“Naura? Ini… kamu?” tanyanya terbata-bata.

Naura tersenyum manis. “Iya, Ma. Ini Naura.”

Rina menjatuhkan sapunya dan segera memeluk putrinya erat. Air mata kebahagiaan mengalir di pipinya.

“Mama senang banget… Kamu benar-benar mau berubah,” ujar Rina sambil terisak.

“Ini semua berkat Mama,” jawab Naura lembut.

“Mama nggak cuma ingin kamu berubah penampilan, tapi juga hati dan niatmu. Jadilah lebih baik setiap hari.”

“Iya, Ma. Naura akan usahakan,” jawab Naura mantap.


Babak Baru Kehidupan Naura

Sejak hari itu, hidup Naura berubah total. Ia meninggalkan pergaulan buruknya, mendekatkan diri kepada Allah, dan mulai mengenakan hijab dengan bangga.

Naura melanjutkan pendidikannya hingga ke Mesir, menimba ilmu agama dan kedokteran selama enam tahun. Setelah menyelesaikan studinya, ia kembali ke Indonesia dan bekerja di salah satu rumah sakit terbesar di Jakarta sebagai dokter.

Suatu hari, saat Naura sedang serius memeriksa pasien, dua sosok berdiri di kejauhan memperhatikannya.

“Lihat, dokter cantik itu anakku,” ujar Rina penuh kebanggaan.

“Iya, dan dokter cantik itu juga istriku,” sahut Azzam, suami Naura, dengan senyum lebar.


Pesan Moral:
Tak ada kata terlambat untuk berubah. Allah selalu membuka pintu taubat bagi hamba-Nya yang mau memperbaiki diri. Sesungguhnya, Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

*) Siswi Kelas IX MTs. Miftahul Ulum 2 Banyuputih Kidul

Share the Post:

Join Our Newsletter