Oleh : M. Hasyim As;ari, SH *)
Idul Adha, atau Hari Raya Kurban, adalah salah satu perayaan paling suci dalam Islam. Perayaan ini lebih dari sekadar ritual penyembelihan hewan; ia mewakili nilai-nilai penting seperti keikhlasan, pengorbanan, dan solidaritas sosial. Namun, di tengah pesatnya perkembangan zaman dan digitalisasi, penting bagi kita untuk meninjau kembali dan menghidupkan kembali makna Idul Adha agar tetap relevan dan memiliki arti yang mendalam bagi umat Islam saat ini.
Tradisi yang sangat Mengakar
Idul Adha memiliki sejarah yang kaya, berawal dari kisah Nabi Ibrahim AS yang menunjukkan ketaatan penuh kepada Allah. Ia bersedia mengorbankan putranya, Ismail AS, sebagai bentuk kepatuhan. Kisah ini menjadi inti dari perayaan Idul Adha, melambangkan pengorbanan tertinggi dan ketulusan iman.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ، وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ، قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
“Tatkala keduanya telah berserah diri, dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, Kami panggillah dia: ‘Wahai Ibrahim! Sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Dari kisah ini lahir praktik kurban yang dilaksanakan setiap 10 Dzulhijjah, sebagai bentuk ketaatan dan ibadah kepada Allah.
Baca Juga
Memperkokoh Ideologi Pancasila Menuju Indonesia Raya di Lembaga Pendidikan
Transformasi dalam Pelaksanaan
Di era digital, pelaksanaan kurban mulai bergeser. Layanan kurban daring (online) semakin diminati, memungkinkan masyarakat menyumbangkan kurbannya tanpa hadir secara fisik. Meskipun memudahkan, ada kekhawatiran berkurangnya esensi spiritualitas dalam proses tersebut.
Namun, selama dilakukan dengan niat yang tulus dan memenuhi syarat-syarat syar’i, kurban tetap sah. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
Menjaga Nilai-nilai pokok di Tengah Modernisasi
Meski cara berubah, esensi Idul Adha harus tetap dijaga: keikhlasan, pengorbanan, dan empati terhadap sesama. Kurban adalah simbol untuk “menyembelih” sifat egois dan cinta dunia yang berlebihan.
Allah menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa yang sampai kepada-Nya bukanlah daging atau darah kurban, melainkan ketakwaan pelakunya:
لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَـٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalian-lah yang dapat mencapainya.”
Idul Adha di era modern bukan hanya sekedar mempertahankan tradisi, tapi juga tentang bagaimana kita selaku umat Islam bertransformasi tanpa kehilangan nilai luhur. Kurban digital, media sosial, dan urbanisasi adalah bagian dari zaman, namun esensi spiritual yaitu keikhlasan dan solidaritas harus tetap menjadi esensi dari setiap ibadah.
Dengan memahami dan menghayati makna kurban dalam konteks kekinian, umat Islam dapat menjadikan Idul Adha bukan hanya sebagai ritual tahunan, tetapi juga sebagai titik tolak pembaruan diri dan penguatan nilai-nilai kemanusiaan.
*) Wakil Kepala TU MTs Miftahul Ulum 2 Bakid