Oleh : Abdul Hamid, S.Pd *)
Di tengah arus deras kapitalisme global dan sistem ekonomi yang kian menyingkirkan masyarakat kecil ke pinggiran, koperasi seharusnya menjadi jawaban atas keinginan akan sistem yang lebih adil dan manusiawi. Namun benarkah koperasi kita sudah cukup kuat untuk menjadi tulang punggung ekonomi rakyat? Hari Koperasi Nasional yang diperingati setiap 12 Juli semestinya bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi menjadi momentum refleksi dan evaluasi mendalam terhadap arah gerak koperasi Indonesia.
Tahun ini, Hari Koperasi Nasional mengusung tema “Koperasi Maju, Indonesia Adil Makmur.” Tema ini mengandung harapan besar: bahwa koperasi bukan hanya hidup, tetapi juga berkembang, maju secara kualitas, dan mampu berkontribusi nyata dalam menciptakan keadilan sosial. Namun kenyataannya, di tengah jumlah koperasi yang mencapai ratusan ribu, hanya sebagian kecil yang benar-benar aktif dan berfungsi sebagaimana mestinya.
Koperasi, pada dasarnya, lahir dari semangat kebersamaan. Ia bukan sekadar badan usaha, tetapi wadah perjuangan ekonomi bersama. Prinsipnya jelas: dari anggota, oleh anggota, dan untuk anggota. Tak ada dominasi modal. Tak ada eksploitasi. Yang ada hanyalah kolaborasi dan partisipasi. Nilai-nilai ini sangat relevan dengan jati diri bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi gotong royong dan keadilan.
Baca Juga
Namun dalam praktiknya, koperasi sering kali terjebak dalam birokrasi, minim inovasi, dan tidak mampu menjawab tantangan zaman. Banyak koperasi yang hidup segan mati tak mau. Padahal di era disrupsi teknologi seperti sekarang, koperasi justru memiliki peluang besar untuk bertransformasi menjadi kekuatan ekonomi alternatif yang lebih adil dan berkelanjutan.
Dalam konteks inilah, gagasan Presiden Prabowo Subianto tentang pembentukan Koperasi Desa Merah Putih menjadi angin segar. Koperasi ini dirancang hadir di tiap desa, dikelola oleh masyarakat setempat dengan dukungan permodalan, pelatihan, dan teknologi. Tujuannya sederhana tapi mendasar: mewujudkan kemandirian ekonomi rakyat, terutama di sektor pangan dan UMKM.
“Rakyat jangan hanya jadi penonton, mereka harus jadi pelaku utama ekonomi bangsa,” tegas Presiden Prabowo.
Pernyataan ini mencerminkan sebuah tekad: mengembalikan ekonomi ke tangan rakyat. Di tengah dominasi korporasi besar dan ketimpangan akses pasar, koperasi — khususnya koperasi desa — bisa menjadi ujung tombak kedaulatan ekonomi nasional. Di sinilah “koperasi merah putih” bukan sekadar simbol, tetapi manifestasi semangat nasionalisme ekonomi.
Namun harapan saja tidak cukup. Koperasi harus dibangun di atas manajemen yang sehat, transparan, dan akuntabel. Pendidikan koperasi, digitalisasi sistem, serta pelibatan generasi muda menjadi prasyarat mutlak agar koperasi tidak hanya bertahan, tetapi melesat menjadi kekuatan ekonomi alternatif yang nyata.
Refleksi ini membawa kita pada kesimpulan sederhana: koperasi bukanlah jalan pintas menuju kesejahteraan, tetapi jalan panjang yang menuntut komitmen, integritas, dan keberpihakan nyata kepada rakyat. Bila koperasi dijalankan sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin impian Indonesia yang adil dan makmur akan kita capai melalui jalan ini.
Maka di Hari Koperasi Nasional 2025 ini, marilah kita memupuk kembali asa itu — asa koperasi merah putih — agar ia tumbuh menjadi pohon besar yang menaungi seluruh rakyat. Karena ketika koperasi maju, Indonesia benar-benar bisa adil dan makmur.
*) Guru IPS MTs Miftahul Ulum 2 Bakid