Oleh : Dr (Cnd) Zainuddin, M.Pd*)
Bulan Muharram, sebagai bulan pertama dalam kalender Hijriyah, menyimpan satu ibadah sunnah yang sarat dengan sejarah dan keutamaan besar: Puasa Asyura’. Puasa yang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram ini bukan sekadar ritual, tetapi memiliki akar sejarah yang dalam dan janji pahala yang luar biasa dari Allah SWT.
Praktik Puasa Asyura Pra-Islam
Sejarah puasa Asyura’ dimulai bahkan sebelum kedatangan Islam. Masyarakat Jahiliyah di Mekkah, termasuk Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi Rasul, diketahui telah melaksanakan puasa pada tanggal 10 Muharram. Mereka mengikuti tradisi Nabi Ibrahim AS. Pada saat itu, Ka’bah juga biasa ditutup dengan kain (kiswah) pada hari ini.
Pengaruh Yahudi Madinah?
Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, beliau menemukan kaum Yahudi di sana juga berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Mereka menyatakan bahwa puasa itu dilakukan sebagai bentuk syukur karena pada hari itu Allah SWT menyelamatkan Nabi Musa AS dan Bani Israil dari kejaran Fir’aun dan menenggelamkan Fir’aun beserta bala tentaranya. Peristiwa ini dicatat dalam Al-Qur’an, Surah Thaha: 77-79 dan Surah Asy-Syu’ara’: 63-67).
Baca Juga
Pengakuan dan Penetapan Nabi SAW: Mendengar penjelasan ini, Nabi Muhammad SAW bersabda:
قدمَ النَّبيُّ ﷺ المدينةَ فوجدَ اليَهودَ صيّامًا فقالَ ما هذا قالوا هذا يومٌ أنجى اللَّهُ فيهِ موسى وأغرقَ فيهِ فرعونَ فصامَهُ موسى شُكرًا فقالَ رسولُ اللَّهِ ﷺ نحنُ أحقُّ بموسى منْكم فصامَهُ وأمرَ بصيامِه
“Ketika Nabi ﷺ datang ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi sedang berpuasa. Maka beliau bertanya, ‘Ada apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Ini adalah hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Fir’aun. Maka Musa berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukur.’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.’ Lalu beliau pun berpuasa pada hari itu dan memerintahkan (kaum Muslimin) untuk berpuasa.” Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sekilas, hadits di atas tampak sebagai anjuran Nabi untuk melaksanakan puasa Asyura berdasarkan informasi yang disampaikan oleh kaum Yahudi. Namun apakah benar demikian?
Dalam Ahkamu Asyura’ Ala Madzhabil Imam as-Syafi’i, Muhammad Bara’ Ali menulis menjelaskan bahwa puasa Asyura’ bukan murni karena mengikuti ritual agama Yahudi dengan 3 alasan berikut:
- Nabi ﷺ tidak serta-merta melaksanakan puasa Asyura sesaat setelah tiba di Madinah, sebab kedatangan beliau ke Madinah terjadi pada bulan Rabiul Awwal. Setelah beberapa waktu menetap di sana hingga datangnya bulan Muharram dan tiba hari Asyura, barulah beliau ﷺ menyampaikan pertanyaan kepada kaum Yahudi terkait puasa tersebut. Setelah mendapatkan penjelasan, Nabi pun berpuasa dan memerintahkan umatnya untuk melakukannya. Penjelasan ini menegaskan tidak adanya pertentangan atau perbedaan kronologi dalam peristiwa ini. Hal ini juga telah dijelaskan oleh Ibnu Qayyim dan Ibnu Hajar.
- Pertanyaan Nabi ﷺ kepada kaum Yahudi tidak serta-merta menunjukkan bahwa beliau sebelumnya tidak mengetahui adanya puasa Asyura. Sebab pada masa Jahiliyah, kaum Quraisy pun telah terbiasa melaksanakan puasa pada hari tersebut, dan Nabi ﷺ juga ikut melakukannya. Oleh karena itu, sebenarnya beliau telah mengenal dan menjalankan puasa Asyura sebelum hijrah ke Madinah. Tujuan dari pertanyaan Nabi ﷺ hanyalah untuk menggali alasan di balik praktik puasa tersebut di kalangan Yahudi. Setelah mengetahui alasan mereka—bahwa itu adalah bentuk syukur atas diselamatkannya Nabi Musa ‘alayhis salam—beliau pun menyampaikan pernyataan penuh hikmah dan kelembutan yang mencerminkan sikap persuasif sekaligus penegasan identitas umat Islam, yaitu: “Kami lebih berhak dan lebih layak memuliakan Musa daripada kalian.”
- Pertanyaan Nabi ﷺ kepada kaum Yahudi, kemudian disusul dengan perintah beliau untuk berpuasa pada hari Asyura, bukanlah indikasi bahwa beliau meniru praktik keagamaan mereka. Justru hal itu merupakan bentuk penguatan dan penegasan atas keutamaan puasa Asyura, setelah beliau mengetahui bahwa Nabi Musa ‘alayhis salam berpuasa pada hari tersebut sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah. Dalam hal ini, Qadhi ‘Iyadh menegaskan bahwa informasi dari kaum Yahudi mengenai puasa Asyura tidak dijadikan sebagai dasar hukum atau sesuatu yang perlu dibahas secara mendalam. Itu semata-mata hanya merupakan penjelasan atas kondisi mereka dan jawaban atas pertanyaan yang diajukan Nabi ﷺ.
Perubahan Status Menjadi Sunnah
Ketika kewajiban puasa Ramadhan diturunkan melalui firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 183-185, status puasa Asyura’ berubah dari wajib menjadi sunnah mu’akkadah (sangat dianjurkan).
Rasulullah saw bersabda
صامَ النَّبيُّ ﷺ عاشُوراءَ، وأَمَرَ بصِيامِهِ، فَلَمّا فُرِضَ رَمَضانُ تُرِكَ. وكانَ عبدُ اللَّهِ لا يَصُومُهُ إلّا أنْ يُوافِقَ صَوْمَهُ.
“Nabi ﷺ berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya. Namun ketika Ramadan diwajibkan, maka puasa ‘Asyura ditinggalkan. Dan Abdullah (yakni Ibnu Umar) tidak berpuasa pada hari itu kecuali jika kebetulan bertepatan dengan (hari) puasanya.” (HR. Bukhari)
Hadits ini menunjukkan bahwa sebelum puasa Ramadan diwajibkan, puasa ‘Asyura pernah disyariatkan secara umum. Namun setelah puasa Ramadan menjadi wajib, puasa ‘Asyura menjadi sunnah (tidak wajib), dan sebagian sahabat seperti Ibnu Umar hanya berpuasa jika hari itu kebetulan jatuh pada jadwal puasanya.
Hal yang sama juga diriwayatkan dalam Kitab Shahih Ibnu Hibban
أنَّ رسولَ اللهِ ﷺ قال في صومِ يومِ عاشوراءَ بعدَما نزَل صومُ رمضانَ: (مَن شاء صامه ومَن شاء أفطَره)
Rasulullah ﷺ bersabda tentang puasa hari ‘Asyura setelah diwajibkannya puasa Ramadan: ‘(Barangsiapa yang mau, maka ia boleh berpuasa; dan barangsiapa yang mau (tidak berpuasa), maka ia boleh tidak berpuasa.'” (HR. Ibnu Hibban)
Rasulullah SAW bersabda:
عنِ النَّبيِّ ﷺ أنَّهُ قالَ في صَومِ يومِ عاشوراءَ: إنِّي أحتَسِبُ على اللَّهِ أن يُكَفِّرَ السَّنةَ الَّتي قبلَهُ
“Puasa di hari Asyura’, sungguh aku berharap kepada Allah agar menghapuskan dosa setahun yang telah lalu.” (HR. Muslim).
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa puasa pada hari Asyura bukanlah bentuk peniruan terhadap praktik ibadah kaum Yahudi. Sebaliknya, puasa ini memiliki landasan tersendiri dalam ajaran Islam dan diperkuat oleh sikap Rasulullah ﷺ yang menegaskan keutamaan dan identitas umat Islam dalam menghormati Nabi Musa ‘alayhis salam. Wallahu a’lam bisshawab.
*) Guru Fikih MTs Miftahul Ulum 2 Bakid