Oleh: Husen, S.Pd.I *)
Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap 20 Mei adalah momentum penting bagi bangsa Indonesia untuk merefleksikan kembali semangat perjuangan, persatuan, dan cita-cita luhur para pendiri bangsa. Tahun 2025 ini, peringatan tersebut tidak hanya menjadi seremoni sejarah, tetapi juga panggilan moral untuk membangkitkan kembali nilai-nilai kebangsaan yang semakin terkikis oleh arus pragmatisme dan individualisme zaman.
Salah satu krisis yang tampak nyata di tengah masyarakat kita hari ini adalah krisis akhlak. Kasus korupsi, kekerasan, ujaran kebencian di ruang digital, hingga ketidakpedulian sosial, semua mencerminkan degradasi moral yang tak bisa dianggap remeh. Di tengah kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi, justru pendidikan akhlak menjadi tantangan yang paling berat. Maka, pertanyaan yang relevan kita renungkan di Hari Kebangkitan Nasional ini adalah: bagaimana kita membangkitkan kembali pendidikan akhlak dalam kehidupan berbangsa?
Baca Juga
Reorientasi Pendidikan di Era Digital : Refleksi Hari Pendidikan Nasional
Akhlak Tak Bisa Hanya Diajarkan — Harus Dicontohkan
Mendidik akhlak tidak cukup hanya dengan teori dan ceramah. Ia harus dihidupkan dalam perilaku nyata. Di sinilah pentingnya keteladanan sebagai metode paling ampuh dalam pembentukan karakter. Seorang anak meniru sebelum memahami. Masyarakat menilai sebelum menganalisis. Keteladanan adalah bahasa moral yang paling universal.
Dalam sejarah kebangkitan nasional dan para pejuang kemerdekaan Indonesia, tokoh-tokoh seperti Budi Utomo, Ki Hajar Dewantara, H.O.S. Tjokroaminoto, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahhab Hasbullah bukan hanya dikenal karena gagasan cemerlangnya, tetapi juga karena integritas dan keteladanan dalam hidup mereka. Mereka adalah contoh bagaimana akhlak luhur tidak hanya disuarakan, tapi juga diperjuangkan dalam tindakan nyata—meski penuh risiko.
Di tengah krisis figur publik masa kini, keteladanan menjadi barang langka. Pemimpin yang bijak dan bersih menjadi harapan, bukan kenyataan. Padahal, membangkitkan semangat nasionalisme dan moralitas bangsa tidak bisa lepas dari hadirnya panutan yang nyata. Keteladanan para pemimpin, guru, orang tua, bahkan tokoh publik di media sosial menjadi kunci dalam pendidikan akhlak generasi masa depan.
Momentum untuk Bangkit, Bukan Sekadar Mengenang
Hari Kebangkitan Nasional bukan hanya saat untuk mengingat sejarah, tetapi juga untuk bertanya: apa yang bisa kita bangkitkan hari ini? Jika dahulu kebangkitan nasional adalah kebangkitan kesadaran politik dan pendidikan, maka kini tantangan kita adalah membangkitkan kesadaran moral. Kita butuh kebangkitan akhlak dalam setiap lapisan masyarakat—dari keluarga hingga negara.
Pendidikan karakter di sekolah harus lebih dari sekadar kurikulum. Ia harus menjadi kultur. Di rumah, orang tua harus menjadi teladan, bukan sekadar pengontrol. Di ruang publik, para pemimpin dan tokoh masyarakat harus menjadi cermin nilai, bukan sekadar penguasa suara. Dan di dunia digital, kita semua adalah “guru moral” bagi satu sama lain.
Membumikan Keteladanan
Mendidik akhlak lewat keteladanan adalah pekerjaan sunyi, namun mendalam. Ia tidak akan viral seperti sensasi, tapi dampaknya menjalar dan bertahan lama. Hari Kebangkitan Nasional 2025 ini adalah saat yang tepat untuk memulai kembali—untuk menjadi bangsa yang tak hanya cerdas, tapi juga beradab dan ber-akhlak.
Membumikan keteladanan berarti menjadikan akhlak sebagai gaya hidup, bukan sekadar simbol. Karena hanya dengan akhlak dan keteladananlah, kita bisa melanjutkan warisan para pendiri bangsa, membangun Indonesia yang kuat bukan hanya secara ekonomi dan politik, tetapi juga dalam hati dan jiwa rakyatnya.
*) Waka Kurikulum MTs Miftahul Ulum 2 Bakid