logo_mts192
0%
Loading ...

Meramadhankan Sepanjang Tahun

Meramadhankan Sepanjang Tahun

Oleh : H. Ahmad Fauzi, S.Pd.I *)

Hari ini Ahad, 30 Maret 2025 adalah hari terakhir ummat Islam menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Jumlah hari-hari Ramadhan tahun 1446 ini diistikmalkan (disempurnakan) menjadi 30 hari, karena tim rukyah Kementerian Agama di beberapa titik di wilayah Indonesia tidak berhasil melihat hilal (Ru’yah Al-Hilal)

Ramadhan memang sebentar lagi akan pergi meninggalkan kita. Suara nida’ tarawih tidak akan terdengar lagi, mushalla dan Masjid akan mulai sepi, lantunan tadarus Al-Qur’an perlahan memudar, semangat kebersamaan di saat buka dan sahur bersana keluarga akan mulai berkurang, mulai nanti malam setelah masuk 1 Syawal. Mulai besok, kita kembali pada rutinitas biasa – seolah Ramadhan hanya sebuah episode spiritual yang berakhir begitu saja. Tapi, pernahkah terpikir: Bagaimana jika kita bisa membawa “rasa Ramadhan” itu sepanjang tahun?

Ramadhan Bukan Hanya Soal Puasa

Ya, puasa wajib memang hanya di bulan Ramadhan. Tapi, nilai-nilai yang melekat padanya—disiplin ibadah, pengendalian diri, kedermawanan, dan kepekaan sosial—seharusnya tidak ikut pergi. Rasulullah ﷺ adalah teladan dalam mengamalkan spirit Ramadhan setiap saat. Beliau rajin berpuasa sunnah, dermawan melebihi angin yang berhembus, dan tak pernah lengah dari dzikir. 

Lalu, mengapa kita seringkali “kembali biasa” setelah Ramadhan? Mungkin karena kita memandang Ramadhan sebagai “event tahunan”, bukan sebagai “latihan untuk hidup selanjutnya”. Padahal, hakikat Ramadhan adalah mempersiapkan kita menjadi manusia yang bertakwa (la’allakum tattaqun), bukan hanya selama sebulan, tapi seumur hidup. 

Membawa Ramadhan ke Setiap Hari

  1. Puasa Sunah: Rasulullah ﷺ sering berpuasa di luar Ramadhan. Puasa Senin-Kamis atau puasa Daud (sehari puasa, sehari tidak) bisa menjadi cara menjaga “stamina ruhani” kita. Puasa mengingatkan kita pada hakikat pengendalian diri.
  2. Tadarus yang Tak Hanya di Ramadhan. Al-Qur’an seringkali hanya ramai dibaca saat Ramadhan. Padahal, ia adalah pedoman hidup sepanjang masa. Tak perlu menunggu Ramadhan untuk khatam—buat target harian, misalnya satu hari satu halaman atau satu minggu satu juz. 
  3. Sedekah Jadi Kebiasaan, Bukan Sekadar Kewajiban. Di Ramadhan, kita mudah tergugah untuk berbagi. Tapi, fakir miskin dan anak yatim tetap ada di bulan-bulan lain. Jadikan sedekah sebagai gaya hidup—tak harus besar, yang penting istiqamah.
  4. Shalat Malam, Meski Tak Harus Tarawih. Qiyamul lail (shalat malam) adalah kebiasaan orang-orang shaleh. Tak perlu menunggu Ramadhan untuk bangun di sepertiga malam. Mulai dengan dua rakaat sebelum subuh, perlahan tingkatkan.
  5. Jaga Lisan dan Hati Tetap “Berpuasa”.  Puasa bukan sekadar menahan lapar, tapi juga dari ghibah, dusta, dan kata-kata sia-sia. Di luar Ramadhan, latih diri untuk tetap “berpuasa” dari hal-hal yang merusak pahala. 

Ramadhan Adalah Sekolah, Bukan Pesta 

Ramadhan ibarat sekolah intensif. Setelah “wisuda”, kita harus mengamalkan ilmunya dalam keseharian. Jika Ramadhan berhasil membuat kita lebih sabar, disiplin, dan dermawan, maka tantangan sebenarnya justru di bulan-bulan berikutnya: bisakah kita mempertahankannya? 

Mari jadikan Ramadhan bukan hanya bulan suci yang dinanti, tapi juga spirit yang hidup dalam diri setiap hari. Sebab, takwa tidak mengenal musim.  “Jika Ramadhan adalah bulan latihan, maka sebelas bulan lainnya adalah ujian sebenarnya.” 

Semoga kita bisa Me”Ramadhan”kan sepanjang tahun!

*) Kepala MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid

Share the Post:

Join Our Newsletter