logo_mts192
0%
Loading ...

Tiga Nilai Dasar NU Menurut Terminologi Al-Ghozali

Oleh: M. Bakiruddin *)

وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدٗا

Artinya:  Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan yang lahir 2 tahun setelah keruntuhan Khilafah Turki Usmani, entah apakah ini (keruntuhan Khilafah Islam) yang menjadi salah satu latar-belakang tegaknya NU atau mungkin benak penulis yang terlalu fanatik sehingga terlumuri praduga yang sedemikian.

Dalam organisasi NU menganut faham fikih dari empat madzhab (Syafi’i, Hanbali, Maliki, Hanafi), tauhid dari dua imam besar (Asy’ari dan Maturidi), sedangkan tasawuf dari Hujjatul Islam Al-Ghozali dan Junaid Al-Baghdadi.  Secara hemat dapat dipastikan bahwa organisasi ini tidak terlepas dari ikatan Ahl-Sunnah Wal-Jama’ah.

Organisasi NU memiliki ciri khas yang menjadikannya berbeda dari kelompok lain yang mengaku Ahl-Sunnah namun hanya sekedar ujar. Yaitu; Tawasut: Moderat (terlepas dari dua titik ekstrim); Tawazun: memakai pertimbangan tekstual (Al-Quran, Hadist) dan Nalar Akal; I’tidal: tegak Lurus Atau stabil.

Tiga prinsip dasar ini diimplementasikan dalam perumusan masalah yang berkaitan dengan keyakinan, fikih, dan tasawuf.

Baca juga : MENELADANI KH. A. HASYIM MUZADI – KYAI PERGERAKAN

Dalam Atikel ini, penulis ingin menjelaskan bahwa setelah dilakukan penelitian oleh Al-Ghozali, tiga dasar tersebut dipangkas dan dijadikan satu, yaitu berkumpul dalam titik tawasut (stabil). Dengan rincian:

Manusia memiliki tiga kekuatan pokok ialah: Intelektual (akal); Emosional (Ghodlob); Keinginan (Syahwat). Lebih lanjut intelektualitas manusia terbagi menjadi tiga titik: berlebihan; sedang; dan kurang. Titik terbaik ialah sedang, karena jika terlalu berlebihan maka akan timbul pemahaman seperti kaum liberal yang terdiri dari Mu’tazilah dan Falsafah, sedangkan jika terlalu mengurang maka akan timbul pemahaman radikal yang memaksakan tekstual tanpa mempertimbangkan pemahaman nalar.

Dapat dipastikan bahwa akal ibarat mata dan teks Al-Quran maupun Hadis sama dengan sinar terang seperti cahaya matahari, sehingga tidak seperti kelompok yang buta tanpa memiliki mata (para radikalis), dan seperti mereka (para filsuf) yang nekat berjalan tanpa diiringi dan diberi petunjuk oleh cahaya terang.

Jika akal kita telah tawasut (berada di titik tengah) maka dapat dipastikan bahwa kekuatan intelektual telah kembali i’tidal (stabil) karena ketika merumuskan problem pastilah tawazun (mempertimbangkan) antara pemahaman dan teks Al-Quran. Dengan ini, muncullah konjungsi bahwa jika sudah tawasut maka i’tidal dan tawazun pasti tercapai. 

Kenapa kita tidak boleh menggunakan akal secara totalitas seperti pemahaman sekuler?

Perlu diketahui sebelumnya, bahwa faktanya tidak seluruhnya yang ada di semesta ini bisa terjangkau oleh akal (atau mungkin belum terkuak). Misalnya saja tentang kebutuhan dasar manusia nyatanya nalar kita tidak bisa mengetahui rasa nyaman berjima’ (hubungan badan) jika tidak mempraktekkan, dan bisakah otak kita memprediksi dengan akurat hal yang akan terjadi? Tentu mustahil.

Hal lainnya yang tidak dapat dipungkiri, tanpa bantuan Al-Quran pastilah kita tidak akan mengetahui apakah ada siksa kubur atau surga-neraka, d.l.l.  Jika tetap memaksakan bahwa akal kita bisa menjangkau tanpa adanya Al-Quran, maka secara otomatis mengaku lebih cerdas dari Nabi Muhammad karena nabi saja sebelum menerima wahyu tidak mengetahui cara beriman dan lain-lain sesuai dengan firman Allah dalam Surah As-Syura, Ayat 52:

وَكَذَٰلِكَ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ رُوحٗا مِّنۡ أَمۡرِنَاۚ مَا كُنتَ تَدۡرِي مَا ٱلۡكِتَٰبُ وَلَا ٱلۡإِيمَٰنُ وَلَٰكِن جَعَلۡنَٰهُ نُورٗا نَّهۡدِي بِهِۦ مَن نَّشَآءُ مِنۡ عِبَادِنَاۚ وَإِنَّكَ لَتَهۡدِيٓ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ

Artinya: Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu (tidak mengetahui cara beriman hingga Al-Quran diturunkan), tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.

M. Bakiruddin

Bukan hanya dalam hal intelektualitas, namun hakikat seluruh aktifitas maupun tindakan pastilah yang terbaik berada di titik tengah (tawasut) dengan artian terlepas dari dua titik berlebihan dan minim, contoh: emosional jika berlebihan maka akan timbul sifat angkuh, begitupun sebaliknya berkonsekuensi menjadi pengecut. Sedangkan syahwat jika berlebihan maka akan melahirkan ketamakan, namun jika sebaliknya maka sikap jumud (beku atau stagnan) yang akan terjadi.

Nahdlatul Ulama seperti yang kita ketahui mampu mensinergikan berbagai kekuatan untuk berada dalam keadaan tawasut. Implementasinya salahsatunya International Conference of Islamic Scholar (ICIS) yang digagas oleh K.H Hasyim Muzadi beberapa tahun lalu, beliau sangat memahami situasi dunia yang serba kompleks – perlu pendekatan yang seimbang (menurut terminologi Al-Ghazali). Melalui jalan Nahdlatul Ulama-lah kita berharap agar kehidupan menjadi seimbang.

Refrensi:
Ihya’ Ulumiddin, Karya Al-Ghozali
Iqtishad Fil-I’tiqad, Karya Al-Ghozali
Hujajul Qat’iyyah, karya Muhyiddin Abdul Shamad.

*) Staf Tata Usaha MTs. Miftahul Ulum 2 Banyuputih Kidul

Share the Post:

Join Our Newsletter