Karya : Budiman Hadi Saputra, S.S *)
Tuhan itu pembohong, tidak adil, tidak adil!!! begitu teriakan batinnya.
Sejak lulus SD orang tuanya mengirimnya ke pondok pesantren. Tak lain karena faktor finansial membendungnya untuk melanjutkan sekolah ke SLTP sehingga, bukan karena terpaksa orang tuanya mengantarnya ke Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin Banjar Baru Kalimantan Selatan.
Hari demi hari, tahun pun terbilang. Tangan Tuhan perlahan-perlahan memahat tubuhnya menjadi seorang gadis jelita dan anggun. Layla namanya. Wajahnya bulat bak telur. Kulitnya putih memukau. Bibirnya merah tersibak. Matanya tajam bak mata rusa. Menawan sekali.
Tak hanya kecantikan itu. Selama matanya terbuka, selama itulah ia sibukkan dirinya dengan ilmu, beribadah dan mentadabburi al-Qur’an. Tak secuilpun ia peduli dengan godaan-godaan yang tiada henti menyerangnya. Sudah banyak sekali surat cinta yang ia terima dari lelaki yang bahkan ia tidak kenal. Pun putra Kyai alias pemilik pesantren di mana ia belajar ia tolak. Ia hanya ingin menuntut ilmu dan mengabdikan diri seutuhnya hanya pada Sang Kuasa. Iya, ia hanya ingin taat dan patuh pada Tuhan dan ibunya yang telah mendidiknya sampai ia terbebas dari jeratan maut kebodohan.
Namun ternyata takdir berkata lain. Di tengah keasyikannya menyelami ilmu-ilmu agama, ia harus pulang karena ibunya sakit-sakitan dan tak mampu lagi membiayainya. Ia harus mengurus ibunya. Belajar di pesantren adalah wasiat ayahnya sebelum kembali keharibaan-Nya. Kini ia adalah tulang punggung keluarga. Siang malam ia memutar pikiran bagaimana mencari uang untuk menafakahi ibu dan dirinya sendiri. Ia tak punya skill apapun yang bisa membuat dia bekerja dengan makmur kecuali ilmu agama yang ia punya. Idenya ingin melamar ke perusahaan-peruhasan atau nyokwan menjadi guru agama di sekolah-sekolah dasar dan tingkat menengah kandas karena ia tak punya ijazah kecuali selembar ijazah SD.
Ia tak putus asa. Meskipun sudah sebulan dia berjuang mencari pekerjaan ia tak merasa lelah sama sekali. Tak menyerah sampai titik penghabisan. Ia melamar menjadi seorang pembantu di rumah Pak Agus, namun naïf, ia tak bisa mengoperasikan mesin cuci. Ia ditolak. Ia tetap teguh dan tak putus asa. Ia datangi toko-toko grosir namun lagi-lagi masalahnya ada pada ijazah. Mana bisa ijazah SD dibuat melamar pekerjaan? Begitu penolakan sang direktur.
Teriknya mentari sampai kapapun tak akan bersahabat tatkala musim kemarau mulai menyapa kita. Ia bak semburan api yang menjilat-jilat tubuh bumi. Tak jarang manusia lebih memilih berada di dalam rumah daripada berkeliaran di luar. Namun ini tak terjadi padanya. Cucuran keringat yang membasahi tubuhnya tak membuatnya satu langkah pun mundur. Sengatan panas matahari sama sekali tak meruntuhkan sendi-sendi semangantnya untuk mendapatkan pekerjaan. Ia terus menulusuri jalan-jalan nan butuh akan sentuhan dingin sang angin. Di sebuah desa, yang ia tak tahu, ia melihat para pekerja sedang mencetak genteng. Ia mendatangi tempat itu. Beberapa mata memerhatikannya.
“Paman, Acil, Ulun dari Amuntai. Ulun handak cari gawaian di sini. Adakah gawaian gasan Ulun?”[1]
Mata-mata itu menelusuri sekujur wajahnya. Tak mungkin, begitu artinya.
“Kamu siapa? Masa mau bekerja di sini pake krudung dan baju muslimah gitu?”
“Aku mohon Pak tolonglah saya. Sudah hampir dua bulan saya mencari pekerjaan tapi tak menemukan. Ibu saya sedang sakit Pak.”
Mata-mata saling memandang satu sama lain penuh makna. Sejurus kemudian datanglah seorang laki-laki yang nampak lebih bersih di banding para pekerja tadi. Wajahnya agak lonjong dengan sedikit keriput. Sebagian rambutnya memutih karena terbakar usia. Tubuhnya tinggi. Pandangan tajam menggambarkan bahwa ia seorang pemimpin. Salah satu pekerja berbisik padanya. Layla tersenyum sipu karena melihat anggukan lelaki jangkung tadi menganggukkan kepala.
“Kawakah ikam bagawi pakai baju nang kaya itu”[2] tanya lelaki itu.
“Saya bisa Pak. Tolong terima saya Pak.”
Lelaki itu diam sejenak. Barangkali mempertibangkan tawaran Layla.
“Ayuha. Isuk subuh datang ha ka sini.”[3]
Sudah tiga hari ia bekerja di tempat percetakan genteng itu. Namun rupanya nasib belum memihak padanya. Ia dipecat gara-gara tidak kuat mengangkat sebongkah tanah. Sedang di pihak lain sang ibu semakin memprihatinkan gara-gara dua hari tidak minum obat. Rasa putus asa mulai menggelayuti jiwanya. Ia berpikir dan berpikir. Ia menghampiri kaca. Dalam batin ia berbicara pada dirinya.
“Kamu cantik Layla. Jadi wanita panggilan saja? Bukankah itu akan merubah nasibmu?!”
Iblis semakin menjadi-jadi mengobarkan bendera kesesatan di hadapannya. Mereka berbisik dengan halus dan nyaris tak terdengar oleh siapapun selain dirinya.
“Ayo Layla. Ikut denganku.”
Layla berteriak sekuat tenaga. Ia berulang-ulang membaca istigfar. Tapi kembali ia menatap wajahnya nan rupawan tak tertandingkan.
“Mau bekerja apalagi kamu? Kamu tak punya modal apa-apa kecuali tubuhmu.” Batinnya terus memprovokasi.
Layla melangkah ke ranjang tidurnya. Berpikir seribu kali. Tapi apalah daya keadaan yang mencekam telah merubahnya. Ia membuka kerudungnya dan tanpa sepengetahuan sang ibu ia pergi. Senja menelan siang dan mengubahnya mejadi malam nan gelap segelap batinnya.
Kerudung yang ia tanggalkan benar-benar menyulap dirinya menjadi seperti santri sebriti. Ia melangkah maju mundur. Jika kamu mundur ibumu tak akan sembuh. Langkahnya berat. Ia teringat pesantren, Kyai, dan ustadz-ustadznya. Ia teringat ratusan halaman kitab suci al-Qur’an. Ah, al-Qur’an tak membantumu mendapatkan uang. Ia meneruskan langkahnya. Setan seakan-akan membantu mengangkat kakinya dengan tangannya yang meneyesatkan.
Uap bekas sengat matahari mengendus ke atas daratan. Adzan magrib menggema. Hatinya gelisah. Ia mencari datangnya suara adzan itu. Berwudhu dan berjamaah. Shalat hanya shalat. Hatinya tak khusyuk, tak seperti ketika ia di pesantren.
Usai shalat ia melanjutkan perjalanannya. Tak jauh dari masjid ia melihat gedung mewah bak villa elit yang bertuliskan BABINIAN JUKUNG[4]. Ia mendekati pintu gerbang. Rasa ragu tiba-tiba menyelinap ke dalam tubuhnya. Jika kau tak masuk bagaimana dengan nasib ibumu, batinnya berbisik. Dengan pelan sekali ia membuka gerbang itu. Gedung terlihat sepi. Namun kesunyian itu justru membuatnya takut. Ia langkahkan kakinya di atas kerikil mungil tak bertuan. Baru beberapa langkah sebuah mobil menerangi tubuhnya dari belakang. Ia minggir ke tepian. Tak disangka mobil berhenti tepat di sampingnya. Seorang wanita cantik dan seksi keluar dari mobil itu. Tanpa basa basi wanita itu mendorongnya ke dalam mobil.
“Lima ratus ribu sekali main?” kata wanita itu.
Layla tak mengerti maksud wanita itu. Ia bingung dan tak menjawab pertanyaan tadi. Ia mendekup dan memeluk pahanya. Gemetar bibirnya.
“Gimana mau gak lima ratus ribu sekali main?”
Layla kalut. Ia makin tak bisa membuyarkan lamunannya akan masa-masa silamya di pesantren yang penuh ketaqwaan kepada-Nya. Iblis-iblis mengintainya, menggempur dengan serangan maut, mengelabuhi. Tak kepalang hatinya terperangkap rayuan maut. Ia menciut dan tak berkutik. Ia ikuti sabda-sabda setan menuju ke ruang kegelapan mematikan. Neraka, neraka, neraka, ayo ikut kami ke neraka, seperti itu teriakan mereka.
Ia duduk bercucuran air mata dalam kamar terelit. Hatinya tak mau namun nasib menghardiknya. Keadaan menghasutnya bertubi-tubi. Air matanya semakin membanjiri kamarnya. Ini terpaksa, katanya berulangkali. Langkah kaki menghentikan tangisannya. Lelaki tampan berjas hitam dengan dasi berwarna biru keabu-abuan. Badannya tegak dan berwibawa. Rambutnya tertata rapi bak seorang direktur perusahaan. Ia mengetuk pintu pelan-pelan. Layla mempersilahkan laki-laki itu masuk.
Suasana hening. Keduanya diam. Layla mengerti bahwa lelaki inilah yang akan ia layani pertama kali. Perlahan-lahan Layla membuka kancing bajunya. Tangannya dihentikan oleh pegangan erat pada pergelangan tangannya.
“Sayang, ini bukan tugasmu.” Ucap lelaki itu.
Malam semakin menunjukkan kekejamannya. Kejam terhadap manusia. Kejam terhadap apapun yang tak disukainya. Jam terus berdetik. Beriringan dengan detikan itu hati Layla seakaan-akan teriris oleh pisau-pisau setan yang tak berperasaan. Bercucuran darah. Malam itu juga keperawanan Layla terenggut oleh seorang laki-laki tampan dalam asmara terlarang. Layla menjerit membengkakkan telingan-telinga iblis yang sedang berpesta pora melihat adegan kedua pemeran itu. Mereka tertawa, sesumbar dan mengejek. Apa aku bilang enak kan menjadi pengikut kami, kata mereka.
Siang malam jatuh dalam dekapan kuasa-Nya sehingga manut saja akan titah-Nya. Bergantinya siang dan malam perlahan-perlahan mengangkat dirinya menjadi pelacur papan atas. Melacur menempati posisi terpenting dalam hidupnya karena dengan itu ia bisa membiayai hidup ibu dan dirinya sendiri. Malam yang liar, seorang lelaki hidung belang mendatanginya. Ini kesekian kalinya melayani para pelanggan dan setiap melalakukan profesinya itu, ia selalu berbisik, Jangan salahkan aku Tuhan. Aku menjadi pelacur justru aku beribadah pada-Mu. Kalau Engkau tak membuat nasibku seperti ini niscaya aku akan bertaqwa pada-Mu.
Lalu perlahan-lahan angin berdesir. Desiran itu halus sekali. Menyapu-nyapu alam nan haus akan kasih sayang. Desiran itu sayup-sayup membacakan ayat-ayat Tuhan, wa in tusibhum hasanatun yaqulu hadzihi min indillah; wa in tusibhum sayyiatun yaqulu hadzihi min indik; qul kullun min ‘indillah; dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah,” dan kalau mereka ditimpa suatu bencana mereka mengatakan: “ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad).” Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah.”[5]
[1] Pak, Bu, saya dari Amuntai. Saya ingin cari kerja di sini. Adakah lowongan kerja untuk saya?
[2] Apa bisa kamu bekerja dengan pakaian seperti itu?
[3] Baiklah, besok pagi datanglah lagi ke sini.
[4] Wanita pelacur
[5] Q.S. An Nisa: 78
*) Anggota Komite Madrasah MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid
One Reply to “Takdir Tuhan di Balik Kerudung Layla”