Oleh : Sahroni, S.Pd.I., M.Pd *)
Memahami ibadah qurban perlu banyak pendekatan, salah satunya adalah pendekatan sosial kontekstual. Dalam buku “Ulumul Qur’an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-Qur’an” menjelaskan bahwa memahami dan menafsirkan Al-Qur’an bisa dilakukan dengan cara mengaitkan antara teks Al-Qur’an dengan konteksnya untuk
kesempurnaan pemahaman. Lalu dalam buku “Paradigma Tafsir Tekstual & Kontekstual”, juga mengungkap kelebihan pendekatan kontekstual ketimbang hanya dengan memakai paradigma tekstual. Menurut kedua buku tersebut dapat dipahami bahwa pendekatan kontekstual bisa menjembatani pemahaman teks yang kadang terputus dan terhenti pada bacaan
maupun tulisan.
Pendekatan konteks dianggap bisa mengarahkan pembaca pada tujuan dan tindakan nyata. Buku “Fikih Jalan Tengah: Dialektika Hukum Islam dan Masalah-masalah Masyarakat Modern” menegasikan bahwa problem krusial penafsiran Al-Qur’an hampir selalu berujung pada ranah fiqih sebagai kunci praktis dalam ajaran Islam. Dari sini perlunya jalan tengah yang lebih arif, bijak, adil dan fleksibel sebagai respons keunikan tradisi, budaya dan khazanah Islam yang tersebar di segala penjuru peradaban dunia dan zaman.
Secara epistemologis, dalam buku “Epistemologi Tafsir Kontemporer”, memberikan dasar-dasar pengetahuan tentang tafsir kontemporer yang sesuai dengan konteks tetapi tetap tidak melupakan teks aslinya. Namun dalam konteks ini perlu digarisbawahi seperti yang disebutkan di dalam buku “Khazanah
Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika hingga Ideologi”, perlunya memahami dan menghayati apakah penafsiran yang dimaksud mengarah pada kepentingan tertentu dan ideologi-ideologi ataukah murni pada penafsiran yang membawa ke arah keadilan dan kesejahteraan sosial. Hal itu semua merupakan wawasan baru yang menarik untuk dijadikan referensi pemahaman dalam studi tafsir sosial kontekstual dalam suatu masalah dan bahasan keislaman.
Buku berjudul “Wawasan Baru Ilmu Tafsir”, mengungkap pentingnya penafsir dan pembaca untuk memupuk wawasan baru dalam semua bidang keilmuan, tidak terkecuali dalam ilmu tafsir itu sendiri. Konteks ini memahami ibadah qurban bukan semata-mata ibadah individual. Ibadah qurban sebagai bentuk ibadah yang secara khusus dilaksanakan sekali dalam setahun dalam hitungan Bulan Qamariyah, yaitu Idul Adha. Penyebutan
Hari Besar Islam untuk Idul Adha ini disebabkan beberapa hal: Pertama, pada hari itu kaum muslim melakukan shalat sunat Idul Adha; Kedua, adanya ibadah haji di Makkah; Ketiga, dalam momentum ini pula, ada peristiwa penyembelihan hewan kurban.
Pada masa Rasulullah Muhammad SAW, konon katanya, peringatan hari raya Idul Adha sangat semarak melebihi semaraknya Hari Raya Idul Fitri. Namun, hal itu berbeda dengan sekarang, Hari Raya Idul Fitri jauh lebih semarak dibanding Idul Adha. Memang banyak faktor yang melatari kenapa saat ini berbeda dengan kehidupan di masa Rasulullah. Terlepas dari perdebatan atas persoalan ini, fenomena kurban menjadi penting untuk dicari hikmahnya. Dalam momen qurban, hampir setiap muslim yang berkemampuan melaksanakan penyembelihan hewan qurban, entah secara individual maupun berkelompok. Bahkan lazim di sekolah-sekolah pun diadakan penyembelihan hewan qurban sebagai suatu sarana untuk mendidik siswa.
Secara etimologis, qurban diartikan mendekat/pendekatan. Dalam pengertian terminologisnya qurban adalah usaha pendekatan diri seorang hamba kepada penciptanya dengan jalan menyembelih binatang yang halal dan dilaksanakan dengan tuntunan, dalam rangka mencari ridha-Nya (QS Al Maidah, 5: 27). Bila dilacak historisitasnya, ibadah qurban sudah ada sejak Nabi Adam. Menurut M.
Quraish Shihab, dalam tafsir al-Misbah, qurban pertama kali yang terjadi di muka bumi ini adalah qurban yang diselenggarakan oleh dua putra Nabi Adam (Habil dan Qabil) kepada Allah.
Secara formalistik, ungkap Quraish Shihab, sejarah ibadah qurban bermula dari Nabi Ibrahim AS. Yakni, tatkala ia bermimpi disuruh Allah SWT untuk menyembelih Nabi Ismail As, seorang putra yang sangat dicintainya (Q.S Ash-Shaffat, 37: 102-110). Singkat cerita, dari peristiwa Kenabian Ibrahim inilah ibadah qurban muncul dan menjadi tradisi umat Islam hingga saat ini. Lantas apa makna sosial ibadah qurban?
Sebetulnya, banyak makna yang dapat dipetik dari ibadah qurban ini, baik secara ruhiyah maupun secara sosial-kemasyarakatan. Secara ruhiyah, ibadah ini bisa menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran ritual dari para pelakunya. Secara sosial-kemasyarakatan, ibadah qurban akan bermakna apabila kerelaan dan keikhlasan orang-orang yang melaksanakan qurban berimbas pada perilaku keseharian dan perhatiannya pada sesama, utamanya kaum miskin dan mustadzafiin. Secara esensial, tentu saja, tujuan ibadah qurban bagi umat Islam adalah semata-mata mencari ridha Allah SWT. Ibadah qurban ini dimaksudkan untuk memperkuat ketaqwaan dan keimanan kepada Allah SWT.
Allah akan menilai ibadah ini sebagai wujud ketaqwaan dan keimanan hamba
kepada-Nya. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya” (QS Al Hajj, 22: 37). Hal ini pulalah yang menjadi sebab tertolaknya qurban salah seorang dari kedua putra Nabi Adam AS dan diterima-Nya qurban yang lain. Bukanlah suatu nilai yang tinggi dan banyak menurut ketetapan Allah, qurban yang banyak tetapi tanpa keikhlasan dan ketakwaan orang yang berqurban sama saja tak ternilai di mata Allah SWT.
*).Kepala MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid
One Reply to “Tafsir Sosial Kontekstual Ibadah Kurban”