logo_mts192
0%
Loading ...

Surabaya 1945 Melegenda

Oleh: Danang Satrio Priyono, S.Psi *)

Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah yang terjadi pada tanggal 10 November 1945 di kota Surabaya – Jawa Timur, walaupun sejatinya letupan-letupan perang dimulai sejak sebelum tanggal tersebut. Pertempuran ini adalah perang pertama Pasukan Indonesia yang tergabung dari banyak kelaskaran santri dan rakyat umum maupun barisan pemuda dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan salah satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasionalisme.

Setelah kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945, tidak terpaut lama pada tanggal 15 september 1945 serdadu Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu sebagai pemenang perang dunia kedua.

(sekelumit peristiwa ini sebagian kami tuliskan di artikel sebelumnya yang memuat Resolusi Jihad NU, terkait Peringatan Hari Santri Nasional)

Rapat Samudera

Sebulan setelah Indonesia mengikrarkan kemerdekaan, tepatnya September 1945 menjadi kurun waktu luapan emosi rakyat terhadap hegemoni penguasaan asing. Di berbagai wilayah, Jepang masih menunjukkan arogansinya meskipun sudah mengalami kekalahan perang di wilayah Pasifik (perang dunia kedua). Bentuk perlawanan terhadap Jepang sekaligus kekecewaan terhadap para tokoh di Jakarta mereka salurkan dengan mengadakan rapat umum yang melibatkan semua elemen rakyat.

Seperti halnya rapat akbar di Lapangan Ikada (kini Lapangan Monas) Jakarta pada 19 September 1945 yang menyedot ribuan massa, rapat umum di Surabaya juga diselenggarakan sebanyak dua kali yang juga mampu menghimpun massa dalam jumlah banyak. Di buku-buku sejarah sekolah hampir tidak ditemukan referensi cerita tentang rapat umum yang dinamakan sebagai Rapat Samudera ini, rapat umum dilaksanakan di Lapangan Tambaksari (kini berganti nama menjadi Stadion Gelora 10 November) dan di Lapangan Pasar Turi.

Rapat Samudra

Frank Palmos dalam Surabaya 1945: Sacred Territory, The First Days of the Indonesian Republic menyebut, lebih dari seratus ribu rakyat datang untuk ikut unjuk kekuatan kolektif (sebuah semangat kebersamaan) terhadap kedudukan Jepang yang diperintah sekutu mempertahankan status quo. Kedua rapat besar ini rupanya mampu membangunkan semangat juang masyarakat sehingga lebih banyak perampasan senjata terjadi (terhadap gudang-gudang persenjataani Jepang) setelahnya.

Kaum santri, buruh, pemuda, pelajar-mahasiswa, tukang becak dan pedagang keliling, kaum perempuan, seluruh rakyat, di mana-mana menyambut ajakan menghadiri Rapat Samudera di Tambaksari maupun di Pasar Turi dengan pekik merdeka dan takbir. Rapat itu diakhiri arak-arakan massa di beberapa titik sampai di kota sekitarnya. Beberapa aktivis yang berorasi di mimbar rapat terbuka tersebut ditangkapi serdadu Jepang usai rapat dan disekap di markasnya yang kini lahannya menjadi Monumen Tugu Pahlawan. Mereka kemudian dibebaskan tengah malam oleh Gubernur Suryo di bantu Polisi Istimewa (polisi ini cikal bakal Korp. Brigadir Mobil – Brimob).

Penyobekan Bendera Belanda

Sekelompok pemuda yang tengah melewati jalan di depan Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit) pagi hari pada 19 September 1945 dibuat meradang dengan adanya kibaran bendera Belanda di puncak menara hotel. Atas perintah WV Ch. Ploegman pemimpin organisasi Indo Europesche Vereniging (IEV) yang diangkat NICA menjadi Walikota Surabaya  sebagai perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina (Ratu Kerajaan Belanda) yang jatuh pada 31 Agustus.

Tindakan provokatif itu memicu bentrokan dengan serdadu Belanda yang berakibat terbunuhnya Ploegman oleh pemuda bernama Sidik Moeljadi. Para pemuda berupaya merobek bendera triwarna dengan memanjat gedung secara spontanitas. Walau keberhasilan itu dibayar dengan gugurnya Sidik Moeljadi dan beberapa pemuda lainnya terluka akibat tembakan peluru Belanda. Sidik Moeljadi tercatat sebagai syuhada pertama yang gugur setelah kemerdekaan dari pihak Indonesia, dibentengi puluhan massa yang melihat aksi heroiknya membuat pihak Belanda dan Jepang tidak berani melanjutkan pertempuran singkat tersebut.

Resolusi Jihad NU

Sebelum diterbitkan Resolusi Jihad NU terlebih dahulu Kiai Hasyim Asy’ari menyusun sebuah resolusi yang diberlakukan hanya untuk kalangan pesantren yang terafiliasi dengan Pesantren Tebuireng (September 1945). Seperti yang diketahui baru-baru ini bahwa setengah dari pemimpin PETA (tentara bentukan Jepang) merupakan para kiai pemimpin pesantren termasuk Kiai Hasyim, maka respon sikap pesantren dengan laskar-laskarnya adalah waspada dari setiap gerakan maupun keputusan sekutu (pimpinan Inggris) maupun Jepang.

Kiai Hasyim Asy’ari selaku Rais PBNU mengundang seluruh konsul NU se-Pulau Jawa dan Madura untuk menggelar rapat besar yang dimulai dari 21 Oktober 1945 di Kantor PB ANO (Ansor Nahdlatul Oelama), Jl Bubutan VI/2, Surabaya, Jawa Timur. Berdasarkan rapat para kiai yang saat itu dipimpin oleh KH Abdul Wahab Chasbullah, pada hari kedua (22 Oktober 1945) menghasilkan amanat berupa pokok-pokok tentang kewajiban ummat Islam dalam berjihad mempertahankan bangsa dan negaranya yang termaktub dalam “Resolusi Jihad NU” yang kemudian kita peringati sebagai Hari Santri Nasional. Seruan Resolusi Jihad ini disampaikan kepada pemerintah yang saat itu gamang dalam merespon ancaman nyata, di mana sekutu dan NICA berhasil menguasai beberapa daerah di Indonesia. 

Para kiai paham betul kondisi yang akan terjadi maka konsolidasi dengan pemerintah republik juga satuan rakyat lain mulai dilakukan dengan sangat hati-hati tujuannya untuk meminimalisir jumlah korban jiwa.

Kesepakatan Gubernur Suryo dengan pihak sekutu dan hujan pamflet

Gubernur R.M.T.A. Soerjo (Gubernur Jawa Timur dari pihak Republik Indonesia) tanggal 26 Oktober 1945 menandatangani kesepakatan dengan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby. Pertemuan ini menghasilkan empat kesepakatan:

  • Pihak Inggris (sekutu) mengakui keberadaan Republik Indonesia sebatas distrik Surabaya.
  • Pihak Inggris tidak akan membawa masuk pasukan Belanda dan tidak ada pasukan Belanda yang disusupkan pada pasukan Inggris yang mendarat di Surabaya.
  • Pasukan Inggris hanya dibolehkan berada pada radius 800 meter dari pelabuhan.
  • Untuk memperlancar komunikasi antara pihak Inggris dengan republik dalam keseharian, maka dibentuk Biro Kontak beranggotakan perwakilan dari kedua belah pihak.

Kesepakatan itu lalu disiarkan secara luas melalui radio. Sementara waktu semua tampak puas, bahkan demi membuktikan adanya niat baik dari Pemerintah Jawa Timur, hari itu juga serdadu Inggris yang mendarat di Tanjung Perak mendapat sambutan kalungan bunga selayaknya tamu kehormatan sesuai arahan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin yang berpesan agar pemerintah daerah di Surabaya menerima baik dan membantu tugas tentara sekutu tersebut. Sebaliknya, Drg. Moesopo yang menjadi Menteri Pertahanan RI (menggantikan Supriyadi yang terkenal dengan peristiwa Pemberontakan PETA) mengajak kepada seluruh rakyat Surabaya untuk bersiap-siap perang dengan pasukan Inggris.

Sehari setelah perjanjian diteken, secara sepihak Mallaby memerintahkan pasukannya untuk menduduki dua puluh titik strategis di dalam kota. Sesaat kemudian sebuah pesawat melayang-layang di atas langit Surabaya. Pesawat milik Angkatan Udara Kerajaan Inggris (RAF) itu menyebarkan ribuan pamflet berisi ancaman: “…seluruh rakyat Surabaya harus mengembalikan seluruh senjata hasil rampasan dari tentara Jepang. Mereka yang menyimpan senjata akan langsung ditembak di tempat” begitu isinya kurang lebih.

Rupa-rupanya pihak sekutu tidak menginginkan diplomasi, melalui Mayor Jenderal Douglas Hawthorn (Komandan Tentara Inggris untuk Jawa, Madura, Bali dan Lombok) untuk secepatnya menduduki secara militer wilayah Jawa Timur dan Surabaya sebagai pintu masuk. 

Brigjend Symonds

Penyebaran pamflet di seluruh Surabaya tentu saja sungguh mengejutkan. Satu jam setelah kejadian itu, Drg. Moestopo dan Residen Soedirman langsung menemui Mallaby. Dalam pertemuan tersebut, Mallaby menyatakan dirinya tidak tahu menahu mengenai pamflet yang ditandatangani oleh atasannya itu.

Sungguh mengecewakan jawaban yang didapat, Pemerintah Indonesia mulai kehilangan rasa percaya kepada pihak sekutu. Terutama sesaat setelahnya Mallaby memerintahkan menyita kendaraan-kendaraan milik rakyat Indonesia, merampas senjata mereka, menduduki gedung-gedung strategis, dan menginstruksikan unjuk kekuatan tempur di tengah kota.

Kali ini sekutu benar-benar memprovokasi rakyat Surabaya. Ketika rombongan sekutu berhenti di depan Gedung Internatio, ada seorang pemuda melempar granat dari dalam yang seketika membuat ricuh jalanan. Di saat pasukan sekutu kalang kabut, dua orang pemuda menghampiri mobil yang ditumpangi Mallaby kemudian memberondong tembakan yang seketika menewaskan Jenderal Inggris itu.

Surabaya 10 November

Gubernur Suryo terus berupaya mencari solusi damai selama pertempuran berlangsung di depan Gedung Internatio itu. Nyatanya, apa yang diusahakannya sia-sia, sekutu bergeming dan mendapat alasan untuk menduduki Surabaya dengan hegemoni militernya. Situasi justru semakin memanas, para pejuang telah membunuh sekitar empat ratus serdadu Inggris (termasuk enam belas perwira).

Brigadir Jenderal Robert Guy Loder Symonds (Komandan Detasemen Artileri Tentara Inggris di Surabaya) dan pilot RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris) bernama Letnan Phillip Norman Osborne yang mengudara di langit Surabaya tak luput dari serangan pejuang. Meninggalnya Brigjend Mallaby dan Brigjend Symonds merupakan pukulan telak Inggris yang sudah kehilangan kedua jenderalnya.

Kendaraan yang ditumpangi Mallaby di depan Gedung International

Sekutu lalu mengultimatum pemerintah republik dan rakyat Surabaya bahwa jika sampai pukul 06.00 pagi tanggal 10 November tidak menyerah dan menyerahkan senjatanya maka Surabaya akan dihujani artileri berat dari darat, laut, dan udara.

Dengan ultimatum itu, para pemuda, para kiai, dan kaum pejuang bersenjata lainnya di Surabaya memutuskan mengangkat Sungkono sebagai Komandan Pertahanan Kota Surabaya; dan Surachman sebagai Komandan Pertempuran (Komando Lapangan). Dari pertemuan inilah muncul semboyan “Merdeka atau Mati” dan Sumpah Pejuang Surabaya, sebagai berikut:

Tetap Merdeka!

Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia

yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945

akan kami pertahankan dengan sungguh-sungguh,

penuh tanggungjawab bersama,

bersatu,

ikhlas berkorban dengan tekad:

Merdeka atau Mati! 

Gubernur Suryo menerima laporan mengenai keputusan kehendak para pemuda Surabaya dan elemen rakyat sesegera mengirimkan pesan ke pemerintah pusat di Jakarta. Presiden Sukarno lali memerintahkan Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo untuk meminta Jenderal Sir Philip Christison (wakil Komandan Pasukan Sekutu untuk wilayah Asia Tenggara) membatalkan ultimatum. Namun, yang bersangkutan menolaknya mengingat terbunuhnya dua jendral dan pasukannya.

Dokumen kematian Brigjend Mallaby

Menurut A. Soebardjo, presiden memberikan keputusan sepenuhnya kepada rakyat Jawa Timur pada umumnya dan rakyat Surabaya pada khususnya. Secara tak langsung keputusan akhir sepenuhnya dilimpahkan kepada Gubernur Suryo, pernyataan pemerintah pusat yang tak tegas ini membuat gusar Pemerintah Jawa Timur. 

Sang Gubernur tepat pukul 21.00 malam (9 November) berpidato melalui Radio Surabaya:

Saudara-saudara sekalian!

Pucuk pimpinan kita di Jakarta telah mengusahakan akan membereskan peristiwa di Surabaya pada hari ini. Tetapi sayang sekali, sia-sia belaka, sehingga kesemuanya diserahkan kepada kebijaksanaan kita di Surabaya sendiri.

Semua usaha kita untuk berunding, senantiasa gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekad kita yang satu, yakni berani menghadapi segala kemungkinan.

Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: Lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum itu. Dalam menghadapi segala kemungkinan besok pagi, mari kita semua memelihara persatuan yang bulat antara pemerintah, rakyat, TKR, Polisi dan semua badan-badan perjuangan pemuda dan rakyat kita.

Mari kita sekarang memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa, semoga kita sekalian mendapat kekuatan lahir batin serta rahmat dan taufik dalam perjuangan.

Selamat Berjuang! 

Tepat pukul 06.00 pagi 10 November 1945, tentara Inggris mengawali menerjunkan bom-bom dari langit menargetkan gedung-gedung juga perkantoran di pusat kota, kemudian melemparkan artileri berat dari kapal induk yang bersandar di Tanjung Perak. Sekutu tidak main-main membombardir Surabaya yang berlangsung hingga tengah malam, diikuti barisan tank-tank dan infanteri. Serangan besar ini, ribuan orang tewas seketika yang di dominasi rakyat sipil. Mayat syuhada bergelimang di jalanan bersama porak-porandanya Surabaya.

Pada hari pertama pertempuran ini, kembali Gubernur Suryo untuk kesekian kali berpidato melalui corong radio, yang berbunyi:

Saya berterimakasih, bahwa pemerintah pusat telah menyerahkan jawaban terhadap ultimatum Inggris kepada kami di Jawa Timur. Keputusan kami telah mengakibatkan meletusnya pertempuran seru di Surabaya. Namun itulah keputusan kami yang terbaik. Kami bertempur untuk merebut kembali hak-hak serta kedaulatan kami dari tangan musuh. Saat ini kami semua berada dalam suatu akhir masa. Suatu masa lama yang segera akan berakhir. Peristiwa di Surabaya tidak dapat dihindari, tidak dapat diubah. Ini adalah kemauan Tuhan Yang Maha Tinggi.

Ini merupakan tanda-tanda, bahwa zaman keemasan segera akan datang kepada tanah air kita Indonesia. Seluruh rakyat Jawa Timur tanpa kecuali, semua kiai dan santri, semua buruh tinggi maupun rendah, percaya dengan sungguh-sungguh, bahwa Tuhan Yang Maha Tinggi akan melimpahkan tegaknya kebenaran kepada seluruh bumi dan alam Indonesia, yang sudah berabad-abad lamanya hilang. 

Kami tidak pernah ingin menyerang.

Tetapi kami akan mempertahankan hak-hak kami. Sebagai suatu bangsa yang mencintai kebebasan, kami berada di pihak yang benar. Kami hanya menghendaki kebenaran. Terpujilah selalu, Tuhan Yang Maha Tinggi. 

Agitasi Bung Tomo yang berapi-api dari Radio Pemberontak turut memberikan semangat pejuang yang bersenjata seadanya, pertempuran antara dua pihak berlangsung makin keras. Kendati hanya mengandalkan senjata tajam dan senjata api peninggalan KNIL dan PETA serta rampasan dari tentara Jepang, arek-arek Suroboyo dan pejuang lainnya melakukan perlawanan sengit.

Bung Tomo Saat Siaran

Pidato Bung Tomo sendiri direkam dan disebarkan ke daerah serta diputar berulang-ulang hingga memberikan bantuan milisi dari daerah di Jawa Timur, juga memberi kewaspadaan kepada daerah lain di Pulau Jawa, Madura, dan Bali. Berikut pidato lengkap Bung Tomo yang mampu menahan serangan sekutu, hingga Pertempuran Surabaya disebut sebagai pengalaman tempur terberat pasca Perang Dunia II, Dalam surat kabar New York Times edisi 15 November 1945, para serdadu Inggris menjuluki “The Battle of Soerabaja” sebagai inferno atau neraka di timur Jawa.

Merdeka atau Mati!

“Bismillahirrahmanirrahim

Merdeka!!!

Saoedara-saoedara ra’jat djelata di seloeroeh Indonesia,

teroetama, saoedara-saoedara pendoedoek kota Soerabaja

Kita semoeanja telah mengetahoei bahwa hari ini tentara Inggris telah menjebarkan pamflet-pamflet jang memberikan soeatoe antjaman kepada kita semoea.

Kita diwadjibkan oentoek dalam waktoe jang mereka tentoekan, menjerahkan sendjata-sendjata jang kita reboet dari tentara djepang.

Mereka telah minta supaja kita datang pada mereka itoe dengan mengangkat tangan.

Mereka telah minta supaja kita semoea datang kepada mereka itoe dengan membawa bendera poetih tanda menjerah kepada mereka.

Saoedara-saoedara,

Didalam pertempoeran-pertempoeran jang lampaoe, kita sekalian telah menundjukkan bahw ra’jat Indonesia di Soerabaja

Pemoeda-pemoeda jang berasal dari Maloekoe,

Pemoeda-pemoeda jang berasal dari Soelawesi,

Pemoeda-pemoeda jang berasal dari Poelaoe Bali,

Pemoeda-pemoeda jang berasal dari Kalimantan,

Pemoeda-pemoeda dari seloeroeh Soematera,

Pemoeda Atjeh, pemoeda Tapanoeli & seloeroeh pemoeda Indonesia jang ada di Soerabaja ini,

Didalam pasoekan-pasoekan mereka masing-masing dengan pasoekan-pasoekan ra’jat jang dibentuk di kampoeng-kampoeng,

Telah menoenjoekkan satoe pertahanan jang tidak bisa didjebol,

Telah menoenjoekkan satoe kekoeatan sehingga mereka itoe terdjepit di mana-mana

Hanja karena taktik jang litjik daripada mereka itoe, saoedara-saoedara

Dengan mendatangkan presiden & pemimpin-pemimpin lainnja ke Soerabaja ini, maka kita toendoek oentoek menghentikan pertempoeran.

Tetapi pada masa itoe mereka telah memperkoeat diri, dan setelah koeat sekarang inilah keadaannja.

Saoedara-saoedara, kita semuanja, kita bangsa Indonesia jang ada di Soerabaja ini akan menerima tantangan tentara Inggris ini.

Dan kalaoe pimpinan tentara Inggris jang ada di Soerabaja ingin mendengarkan djawaban ra’jat Indonesia,

ingin mendengarkan djawaban seloeroeh pemoeda Indonesia jang ada di Soerabaja ini

Dengarkanlah ini hai tentara Inggris,

ini djawaban ra’jat Soerabaja

ini djawaban pemoeda Indonesia kepada kaoe sekalian

Hai tentara Inggris!,

kaoe menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera poetih takloek kepadamoe,

menjuruh kita mengangkat tangan datang kepadamoe,

kaoe menjoeroeh kita membawa sendjata-sendjata jang kita rampas dari djepang oentoek diserahkan kepadamoe

Toentoetan itoe walaoepoen kita tahoe bahwa kaoe sekalian akan mengantjam kita oentoek menggempoer kita dengan seloeroeh kekoeatan jang ada,

Tetapi inilah djawaban kita:

Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin setjarik kain poetih mendjadi merah & putih,

maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah kepada siapapoen djuga!

Saoedara-saoedara ra’jat Soerabaja,

siaplah keadaan genting

tetapi saja peringatkan sekali lagi, djangan moelai menembak,

baroe kalaoe kita ditembak, maka kita akan ganti menjerang mereka itu.

Kita toendjoekkan bahwa kita adalah benar-benar orang jang ingin merdeka.

Dan oentoek kita, saoedara-saoedara, lebih baik kita hantjur leboer daripada tidak merdeka.

Sembojan kita tetap: MERDEKA atau MATI.

Dan kita jakin, saoedara-saoedara,

pada akhirnja pastilah kemenangan akan djatuh ke tangan kita

sebab Allah selaloe berada di pihak jang benar

pertjajalah saoedara-saoedara,

Toehan akan melindungi kita sekalian

Allahu Akbar..! Allahu Akbar..! Allahu Akbar…!

MERDEKA!!!” 

(Pidato Bung Tomo ini pula yang menyulut Peristiwa Bandung Lautan Api di Jawa Barat dengan tujuan agar Belanda (dan Inggris-sekutu) tak lagi mendudukinya.)

Pertempuran ini merenggut lebih dari sepuluh ribu pejuang Indonesia dan memberikan kerugian cukup besar bagi pihak sekutu. Walaupun akhirnya Surabaya berhasil direbut pihak sekutu, lalu menggeser posisi para pejuang ke sisi luar Surabaya namun tidak menyurutkan perjuangan.

Pertempuran yang berlarut-larut ini kemudian dihentikan dengan dilangsungkannya Perjanjian Renville – sebagai babak baru perjuangan di meja perundingan melalui delegasi Indonesia, disamping pertempuran masih berlanjut.

Surabaya menjadi simbol kekuatan rakyat untuk berkehendak bebas akan kemerdekaan dan berdaulat menentukan nasib sendiri. Surabaya akan tetap melegenda hingga Indonesia benar-benar jaya seperti yang diimpikan para pejuang.

  • ) Guru PKn MTs. Miftahul Ulum 2 Banyuputih Kidul
Share the Post:

Join Our Newsletter