Salah Kaprah Barokah

Oleh : Abdul Halim *)

Banyak dari masyarakat kita yang berpandangan bahwa tolak ukur barokah dan kesuksesan seorang santri melalui sudut pandang duniawi.

Ketika ada santri yang selepas keluar dari pesantren kaya-raya maka menurut kebanyakan masyarakat ia telah meraih barakah kiai dan pesantren. Sebaliknya, saat ada santri yang selepas mondok ternyata miskin, walaupun taat beragama, dianggap tidak barokah ilmunya dan mendapat kualat masyayikh. Keyakinan semacam ini menyerebak luas di kalangan masyarakat sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi santri untuk menjaga eksistensinya.

Sejatinya tolok ukur daripada kesuksesan, kemanfaatan dan keberkahan sebuah ilmu tidaklah bisa ditinjau dari tolok ukur duniawi.  Selama di pesantren, santri dibina dan dididik untuk senantiasa menjadi manusia ukhrawi. Manusia yang selalu mengedepankan urusan akhirat daripada duniawi. Bahkan pada dasarnya santri itu diminta melepas dunia dari hatinya. Berbeda sekali dengan anggapan masyarakat yang sangatlah memelencengkan sebuah keberhasilan santri yang dikader menjadi manusia ukhrawi menjadi keberhasilan duniawi. Toh walaupun boleh-boleh saja dan mungkin juga perlu seorang santri menjadi kaya. Namun bukan sebagai tujuan, melainkan sebatas wasilah untuk meraih ridlo Allah swt.

Terkait anggapan masyarakat yang menjadikan kekayaan sebagai pertanda keberkahan dan kefakiran sebagai bentuk kehinaan (terhalangnya dari barokah) sebenarnya  telah disinggung dalam surat al-Fajr ayat 15 dan 16:

 فَأَمَّا ٱلْإِنسَٰنُ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ رَبُّهُۥ فَأَكْرَمَهُۥ وَنَعَّمَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَكْرَمَنِ وَأَمَّآ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَهَٰنَن

ِ“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”.

Mengomentari ayat ini, Fakhruddin ar-Rozi dalam tafsirnya menyatakan, anggapan masyarakat yang mengira kekayaan adalah kemuliaan dan kefakiran adalah kehinaan dapat kita ketahui letak kesalahannya setelah memahami dan menyadari beberapa aspek. Yaitu:

  1. Kebahagiaan dan kesengsaraan dunia bila dibandingkan dengan kebahagiaan dan kesengsaraan akhirat itu ibarat setetes air berbanding air di lautan. Orang yang bersenang-senang di dunia bila nantinya celaka di akhirat, maka kesenangan itu tidaklah bisa disebut kebahagiaan yang sebenarnya. Begitupun orang yang sengsara saat berada di dunia namun bisa bersenang-senang di akhirat, maka kesengsaraan saat di dunia itu tidaklah juga bisa dinamakan kesengsaraan. Berdasarkan poin ini dapat diketahui bahwa orang yang hidup nyaman saat di dunia tidak bisa mengklaim dirinya sedang bahagia dan mulia. Sebaliknya orang yang sengsara semasa di dunia tidak bisa mengklaim dirinya sebagai orang yang sengsara dan hina.
  2. Diperolehnya sebuah nikmat dan penderitaan saat di dunia tidak menunjukkan atas kelayakan mendapatkannya. Seringkali Allah swt. malah melapangkan rizqi orang kafir dan ahli maksiat dan mempersempit rejeki orang-orang saleh. Sehingga tidak seharusnya manusia menilai bahwa kekayaan dan kemiskinan adalah bentuk balasan atas perilakunya. (Kalau istilahnya santri, tidak boleh meyakini alumni yang miskin sebagai orang yang tidak berkah ilmunya, dan tidak boleh beranggapan bahwa kekayaan adalah tandanya keberkahan.
  3. Orang kaya tidak boleh lupa atas konskuensi hidupnya dalam kekayaan. Karena setiap perkara tergantung pada bagian akhirnya. Begitu pula yang miskin tidak boleh lupa bahwa di dalam dirinya terdapat banyak nikmat-nikmat yang tiada terhingga, seperti sehatnya badan dan akal, selamatnya agama, dan terhindar dari penyakit dari mara bahaya. Sehingga ia tidak boleh menghukumi dirinya dengan kehinaan.
  4. Manusia mudah bergaul dengan panca indranya. Ketika manusia telah memperoleh hal-hal yang ia sukai dan beberapa kelezatan-kelezatan lainnya, ia akan kecanduan dan kesulitan untuk terlepas tidak tenggelam di dalamnya. Sedangkan bila manusia tidak memperoleh hal-hal yang ia sukai dan kelezatan lainnya, maka mau tidak mau ia akan kembali kepada Allah swt dan sibuk ibadah kepadaNya. Dari sini dapat kita simpulkan, bahwa kelezatan duniawi dapat menghalangi manusia daripada Allah swt. Sehingga bagaimana mungkin dapat diklaim bahwa orang yang tidak memiliki harta duniawi adalah orang yang celaka padahal di sisi lain terhalang dari kekayaan duniawi adalah wasilah terbesar menuju kebahagiaan teragung.
  5. Sebuah kebiasaan dapat menimbulkan kuatnya cinta. Kuatnya cinta dapat menyebabkan penderitaan saat berpisah. Jadi setiap orang yang selalu bersama dunia maka kecintaannya kepada dunia akan semakin kuat dan saat wafat akan merasa sangat berat untuk berpisah. Sebaliknya orang yang tidak terbiasa dengan dunia maka kecintaannya kepada dunia akan memudar sehingga tidak merasa berat saat berpisah dengannya. Jika demikian, maka kelezatan duniawi hanyalah mengantarkan manusia kepada penderitaan abadi setelah wafat. Lalu bagaimana mungkin masih ada yang beranggapan bahwa kaya adalah kebahagiaan sedangkan kemiskinan adalah penderitaan.?

Setali tiga uang, Imam Ghazali menjelaskan bahwa istighna (ingin kaya) itu bukan dengan menumpuk uang melainkan dengan melepasnya. Kata Gus Baha’ semakin kita banyak membutuhkan sesuatu maka kita akan semakin miskin. Pun semakin sedikit kita membutuhkan sesuatu maka itu adalah arti dari sebuah kata kaya yang memiliki arti senada dengan tidak butuh.

Lalu apa sih berkah itu? Dalam kitab Tanwir al-Qulub disebutkan bahwa barokah adalah زيادة في الخير, adanya tambahan dalam kebaikan. Seorang ulama juga menafsiri bahwa barakah adalah yang membuat taatmu kepada tuhan bertambah.

البركة تزيدكم في الطاعة.

Lebih luas lagi, Ust Doni Eka Saputra, dosen Ma’had Aly Sukorejo yang pernah mengemban tugas mengajar di PP. Miftahul Ulum Bakid dalam facebooknya menulis: Barokah itu abstrak. Indikator nyatanya adalah kebaikan. Kebaikan tercipta dari beberapa hal. Kebaikan bisa lahir dari apapun, maka jangan pernah mengapling barokah dengan sesuatu apapun.

Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa setiap perkara yang memiliki dampak kebaikan adalah barakah dan bula tidak memiliki dampak kebaikan berarti tidak terdapat barokah. Sedangkan kekayaan hanyalah wasilah. Bukan penentu barokah. Kaya belum tentu baik. Bila kekayaannya menebar banyak kebaikan maka itulah barokah. Bila tidak maka bukanlah barokah. Pun demikian, tidak memiliki banyak uang belum tentu tidak barokah.  Bila ia senantiasa taat maka itulah barokah dan bila kehilangan taat itulah definisi tidak barokah.

*) Pembina Eskul Literasi MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *