Ramadhan dan Pesan Imam Al Ghazali Pasca Ramadhan | Dirosah Virtual Ramadhan 1444 H

Oleh: Sahroni, S. Pd.I *)

Ramadhan adalah bulan ibadah, di mana pahala segala amal dilipatgandakan bahkan ditetapkan jenis ibadah wajib yang khusus hanya dilakukan pada bulan Ramadhan saja yaitu puasa. Dengan segala fasilitas dan motivasi yang sedemikian itu, diharapkan umat muslim memanfaatkan bulan ini sebaik-sebaiknya untuk menyucikan diri hingga putih bersih ‘sebagaimana saat kita baru lahir.

Masalahnya adalah, apakah kita cukup peduli pada keistimewaan Ramadhan? apakah kita siap mendapatkan fasilitas, dengan berbagai keistimewaannya? Ataukah Jangan-jangan kita sudah tidak merasa memerlukan lagi fasilitas itu atau jangan-jangan kita tidak lagi membutuhkan dan merasa tidak perlu  dengan bulan Ramadhan. na’ udzu billah mindzalik

Keistimewaan Ramadhan ini akan sangat terasa jika kita maknai sebaik mungkin dengan mengisinya bermacam bentuk peribadahan. Sehingga keistimewaan itu bisa mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan kita. Tanpa pemaknaan itu, Ramadhan hanya akan menjadi satuan waktu biasa. Setiap harinya sama saja tidak ada istimewanya dengan hari-hari lainnya. Memberikan makna dan nilai untuk bulan Ramadhan, tidak berarti kita berlebih-lebihan mengisinya dibulan ini saja dan untuk sebelas bulan selanjutnya kita teledor. Karena aktualisasi makna Ramadhan itu justru terdapat dalam sebelas bulan lainnya. Ramadhan harus menjadi titik tolak perjalanan kehidupan muslim di sepanjang bulan-bulan berikutnya. Seperti halnya fathu makkah ataupun perang badar yang menjadi tonggak perjalanan umat Islam di dunia .

Dengan kata lain, nilai optimal Ramadhan baru bisa kita dapatkan jika kita menempatkan bulan ini sebagai inspirasi dan momentum untuk mengubah pola pikir dan perilaku kita di masa-masa yang akan datang.

Imam Al-Ghazali dalam masterpiece-nya, Ihya ‘Ulumuddin berpesan,

أن يكون قلبه بعد اإلفطار معلقا  مضطربا  بين الخوف والرجاء إذ ليس يدري أيقبل صومه فهو من المقربين أو يرد عليه فهو من الممقوتين؟ وليكن كذلك في آخر كل عبادة يفرغ منها

Artinya, “Setelah selesai berpuasa, tanamkanlah dalam hati antara rasa takut (khauf) dan harap (raja’). Karena seseorang tidak tahu, apakah puasanya diterima, sehingga termasuk hamba yang dekat dengan Allah. Atau sebaliknya, puasanya ditolak, sehingga termasuk orang yang mendapat

murka dari-Nya. Hendaklah setiap selesai beribadah tanamkan rasa seperti itu.” (Ihya ‘Ulumiddin, cetakan al-Haramain, juz 1, hal. 236)

Demikian juga seorang Mukmin ketika telah melakukan ibadah. Usai ibadah itu dilaksanakan, dalam hati harus ditanamkan rasa takut dan berharap. Takut, jikalau ibadahnya tidak diterima. Juga harus berharap agar ibadahnya diterima dan mendapat balasan surga dari-Nya. Antara khauf dan raja’ harus imbang.

Jika rasa khauf (takut) berlebih, akan terlalu takut terhadap dosa dan menganggap kesalahan tidak bisa diampuni, sementara sejatinya Allah maha pemurah dan maha pengampun. Sehingga bisa t imbul rasa put us asa a t as ampunan d an rahmat ( kasih sayang Allah ) .

Juga sebaliknya, tidak boleh raja’ (berharap) berlebih, karena bisa berakibat berharap berlebih akan diterimanya suatu amal perbuatan dan diampuninya dosa. Sehingga dikhawatirkan akan meremehkan dosa itu sendiri. Setelah satu bulan berpuasa dengan segala amal ibadah di dalamnya, kita juga harus tanamkanrasa takut dan harap.

Tentu, selama satu bulan itu tidak sedikit kemaksiatan yang telah kita lakukan. Kita harus takut, jangan-jangan puasa kita tidak diterima. Tapi, di sisi lain juga harus diimbangi rasa harap , mengharapkan akan diterimanya segala amal ibadah yang kita lakukan selama bulan puasa dan berharap diampuninya semua kesalahan yang telah dilakukan. Gambaran Khouf dan Rojak sebagaimana Hadits tersebut:

 “Seandainya seorang mukmin mengetahui siksa yang ada di sisi Allah, niscaya tidak ada seorang mukmin pun yang menginginkan surga-Nya. Dan seandainya orang kafir itu mengetahui rahmat Allah, maka niscaya tidak ada seorang kafir pun yang berputus asa untuk mengharapkan surga-Nya.(HR. Abu Hurairah)

Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad al-Khuwayri dalam Durratun Nashihin menceritakan kisah seorang laki-laki yang bernama Shalih bin Abdullah ketika bertemu dengan hari raya Idul Fitri.

Saat Idul Fitri tiba, Shalih bin Abdullah akan pergi ke mushola untuk melaksanakan shalat. Usai shalat, Shalih langsung pulang ke rumahnya. Lalu ia kumpulkan seluruh keluarganya. Di hadapan keluarganya itu, ia mengikat lehernya dengan rantai besi dan menaburkan abu di kepala serta sekujur tubuh . Kemudian ia menangis dengan begitu keras. Melihat kejadian itu, keluarganya heran dan bertanya, “Wahai Shalih, bukankah ini hari raya, hari bersuka cita. Kenapa engkau bersedih seperti ini?” Shalih menjawab, “Aku tahu ini adalah hari raya Idul Fitri. Tapi, selama ini aku telah melaksanakan perintah-perintah Allah, dan aku tidak tahu, apakah amalku diterima atau tidak ? ! ”Lalu Shalih duduk di emperan mushola. Lagi-lagi, kelakuan Shalih itu memancing perhatian warga.“Mengapa engkau tidak duduk di tengah mushola saja?” tanya warga.

Shalih menjawab, “Aku datang untuk meminta belas kasih (rahmat) Allah, maka di sini lah tempat yang layak untuk seorang peminta.” (lihat Durratun Nashihin, hal 277)

Kisah Shalilh ini memiliki pesan moral yang sangat mendalam. Saat Idul Fitri tiba, kebanyakan orang memaknai hari itu sebagai hari bersuka cita. Sampai kadang terlalu larut dalam kesenangan dunia. I tulah mengapa pada malam Idul Fitri, Rasulullah menganjurkan kita untuk menghid upkankannya dengan beribad ah d an memperbanyak mengingat Allah.

Rasulullah saw pernah bersabda,

 “Siapa saja yang qiyamul lail pada dua malam Id (Idul Fitri dan Idul Adha) karena Allah demi mengharap ridha-Nya, maka hatinya tidak akan mati pada hari di mana hati manusia menjadi mati,” (HR. As-Syafi’i dan Ibn Majah).

2 Replies to “Ramadhan dan Pesan Imam Al Ghazali Pasca Ramadhan | Dirosah Virtual Ramadhan 1444 H”

Leave a Reply