Oleh : Abdul Halim *)
Sepintas mungkin kita akan menyangkal bahwa puasa adalah perwujudan kasih sayang tuhan. Betapapun puasa adalah sesuatu yang memberatkan dan tidak sesuai dengan hawa nafsu manusia. Sedangkan puasa membatasi manusia dari hal-hal yang dapat memuaskan nafsunya. Bagaimana mungkin puasa adalah manifestasi kasih sang maha kuasa?
Baiklah dari sini kiranya perlu untuk dijelaskan, bahwa kesenangan-kesenang duniawi dan kepuasan nafsu itu hanyalah berlaku sementara. Tidak kekal dan akan sirna. Sebagaimana termaktub dalam surat Ali Imran ayat 14:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia (yang sementara), dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga yang abadi).”
Pelayan Rasulullah, Anas bin Malik meriwayatkan bahwa nabi Muhammad saw. bersabda
حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ .
Adapun menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin, Kebahagiaan sejati adalah ketika seseorang mampu menguasai nafsunya. Dan Kesengsaraan adalah saat seseorang dikuasai nafsunya.
Sebab sejak awal penciptaannya nafsu itu sudah tidak tahu diri. Diceritakan dalam kitab Durratun Nasihin, setelah Allah menciptakan akal dan nafsu, Allah memerintahkan mereka menghadap-Nya. Kemudian ditanya satu persatu.
Akal pun datang menghadap dan ketika disuruh berbalik, berbaliklah ia. Lalu Allah pun bertanya kepadanya, “siapa Aku dan siapa kamu?”. Maka dengan rasa penuh tawadhu’, akal menjawab: “Engkau Tuhanku dan aku hamba-Mu yang lemah”. Karena itu Allah memberikan kemuliaan kepada akal.
kemudian giliran nafsu, ketika diperintahkan untuk menghadap, ia diam saja, tidak menjawab. Ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama “siapa Aku dan siapa kamu?” dengan sombongnya nafsu menjawab, “aku adalah aku, Engkau adalah Engkau”
Karena jawaban itulah maka Allah menghukumnya dengan memasukkan nafsu ke dalam neraka Jahim selama 1000 tahun. Setelah dikeluarkan dari neraka Jahiim dan ditanya lagi oleh Allah “siapa Aku dan siapa kamu?” diapun menjawap dengan jawaban yang sama. “Aku adalah aku, Engkau adalah Engkau. Akhirnya Allah memasukkan lagi nafsu ke neraka Juu’ (neraka yang penuh dengan rasa lapar yang amat sangat) selama 1000 tahun pula.
Nafsu dibiarkan tanpa makan dan minum. setelah nafsu tidak diberi makan dan minum ( puasa) membuat nafsu sadar dan tak berdaya. Nafsu menyerah dan mengakui bahawa Allah adalah Tuhan yang menciptakannya.
Dalam kitab tersebut diterangkan bahwa dengan sebab itulah maka Allah Ta’ala mewajibkan puasa. Kisah ini memberi kita hikmah betapa membangkangnya Nafsu. Apabila seseorang tidak bisa mengendalikan (menundukkan) nafsunya, maka ia akan mendapat kerugian yang amat besar. Sehingga benarlah kata al-Ghazali, menuruti nafsu hanyalah membawa kepada kesengsaraan.
Berkenaan dengan diwajibkannya puasa, puasa diwajibkan pada tahun kedua hijriyah. Allah berfirman:
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَیۡكُمُ ٱلصِّیَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (al-Baqarah: 183)
Kewajiban berarti paksaan. Tidak boleh tidak dilakukan. Tidak melakukannya berarti neraka. Namun Syaikh Izz bin Abdissalam memaparkan:
ومن لطف الرحمن انه لم يأمرنا الا بما فيه مصلحة في الدارين او في احداهما، ولم ينهنا الا عما فيه مفسدة فيهما او في احداخما
“Sebagian dari bentuk kasih sayang tuhan ialah Ia tidak memerintahkan kita terhadap suatu perkara kecuali ia mengandung maslahat di dunia-akhirat atau salah-satunya. Dan Allah tidak akan melarang kita dari melakukan suatu perkara kecuali ia mengandung mafsadat di dunia-akhirat atau salah-satunya.”
Sehingga apabila Allah mewajibkan sesuatu itu pertanda bahwa sesuatu itu memiliki kemaslahatan yang luar biasa untuk diri kita. Hampir sama seperti perintah guru kepada muridnya untuk senantiasa belajar.
Sebagaimana disebutkan tadi, bahwa setiap kali tuhan menitahkan sesuatu dan melarang kita dari sesuatu pasti demi kebaikan kita, lantas apa maksud tuhan memerintah kita untuk berpuasa di bulan mulia?
Jawaban mudahnya adalah sebagaimana termaktub dalam ayat kewajiban puasa di atas, supaya kita menjadi orang yang bertakwa.
Jadi kita diwajibkan untuk berpuasa tidak lain supaya kita menjadi orang yang bertakwa. Takwa adalah melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya yang kata Syaikh Izz bin Abdissalam tadi dikatakan sebagai hal-hal yang menjadi kebahagiaan sejati manusia.
Maka perintah melaksanakan puasa ini adalah bentuk rahmatNya di bulan Ramadhan yang penuh berkah. Untuk menjadikan kita semua sebagai orang-orang yang senantiasa berbahagia dengan sebenar-benarnya bahagia sebagaimana pemaparan Imam Ghazali dan Syaikh Izz bin Abdissalam dan tidak tertipu oleh fatamorgana dunia.
*) Pembina Eskul Literasi MTs Miftahul Ulum 2 Bakid