(Memperingati Hari Guru Nasional 2020)
Oleh : Danang Satrio Priyono *)
“Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru,
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku,
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku,
Sebagai prasasti terima kasihku tuk pengabdianmu,
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan,
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan,
Engkau patriot pahlawan bangsa,
Tanpa tanda jasa“
Hymne Guru diciptakan oleh Sartono seorang guru SMP asal Madiun pada tahun 1980-an di atas ini merupakan salah satu lagu wajib nasional. Sebuah lagu yang menyiratkan peran penting guru untuk keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara.
Pembangunan karakter kebangsaan tak dapat dilepaskan dari bakti para guru di seluruh pelosok nusantara. Para guru sekalipun tidak pernah menyebut profesi ini sebuah pekerjaan, karena niat mereka adalah pengabdian untuk negeri.
Dalam catatan sejarah Indonesia, peran serta para guru dalam perjuangannya tidak dapat diremehkan. Sejak jaman kolonialisme Hindia-Belanda hingga jaman pandemi saat ini, Indonesia sungguh membutuhkan guru karena mereka para pejuang, perawat bangsa, pembimbing calon pemimpin, pengisi jiwa dan pemupuk impian lintas generasi serta pembangun kekuatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Guru Di Masa Kolonial Hindia-Belanda
Pendidikan di nusantara secara fakta sejarah di awali oleh pesantren-pesantren, seperti misalnya Pesantren Tebuireng yang didirikan KH. Hasyim Asy’ari tahun 1899. Pesantren banyak diminati rakyat dibandingkan dengan sekolah-sekolah Pemerintah Hindia-Belanda yang diadakan sebagai akibat dari politik etis.
Setelah Pesantren Tebuireng aktif maka banyak pesantren lain dan sekolah rakyat yang didirikan oleh kiai lainnya serta kaum ningrat di berbagai tempat di Jawa dan Sumatera. Pesantren umumnya fokus mengajarkan pendidikan agama sedangkan sekolah rakyat di desa-desa mengajarkan baca tulis, walaupun begitu pemerintah kolonial gerah dengan banyaknya pesantren dan sekolah rakyat tersebut.
Kegiatan belajar-mengajar lantas dibatasi dengan adanya sertifikasi, pemerintah menyebut dengan Ordonansi Guru. Sistem sertifikasi ini diberlakukan tahun 1905 yang mengharuskan semua orang (termasuk kiai) yang memberikan pengajaran harus meminta izin terlebih dahulu kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda.
Penolakan kebijakan terjadi pertama kali dari KH. Hasyim Asy’ari. Bersama kiai lain kemudian mengirimkan surat dan utusan kepada pemerintah pusat di Batavia namun hasilnya nihil. Proses pembelajaran di pesantren dan sekolah rakyat diawasi secara ketat. Beberapa tahun kemudian perlawanan sengit terhadap ordonansi itu juga datang dari ulama terkemuka Haji Rasul atau Haji Abdul Karim Amarullah. Ayahanda Buya Hamka ini memandang ordonansi sebagai ancaman langsung terhadap pengajaran dan dakwah Agama Islam. Dia mendesak Muhammadiyah dan kelompok-kelompok Islam lain untuk menentang ordonansi itu. Pada 19 Agustus 1928 diadakan rapat akbar yang dihadiri sekira delapan ratusan ulama berpengaruh dari seluruh tanah Minangkabau.
Kembali ke tahun 1908, organisasi Boedi Oetomo didirikan juga merupakan imbas dari Kebijakan Ordonansi Guru. Para pelajar/mahasiswa pribumi – umumnya golongan ningrat – yang berasal dari STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Arsten/Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera) sangat prihatin dengan kondisi bangsa terutama soal pendidikan dan kesejahteraan.
Boedi Oetomo secara samar merumuskan tujuannya melalui pendidikan dan kebudayaan untuk kemajuan tanah Hindia-Belanda, terutama pendidikan pengetahuan umum untuk semua kalangan dan pendidikan tentang politik untuk kalangan ningrat sedangkan pendidikan keagamaan mereka bekerjasama dengan para kiai.
Boedi Oetomo mempelopori perjuangan dengan memanfaatkan kekuatan pemikiran, karena organisasi-organisasi pergerakan yang muncul pada masa berikutnya memiliki keterkaitan, seperti: Nahdlatul Ulama, Perhimpunan Indonesia; Sarekat Islam; Indische Partij; dan Muhammadiyah.
Organisasi-organisasi dengan latar belakang ideologi berbeda yang lahir setelah menjalin interaksi berkesinambungan dan saling belajar satu sama lain kemudian menyatukan visi nasionalisme melalui pendidikan. Atas semangat nasionalisme tersebut maka tanggal pendirian Boedi Oetomo saat ini kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Semenjak Boedi Oetomo lahir, arus perlawanan dengan membuka forum-forum diskusi digalakkan, pesantren-pesantren mewadahi tempat jikalau tiada tempat lain untuk digunakan. Hasil diskusi beberapa waktu yang intensif melahirkan sebuah gagasan dari Dwidjosewojo seorang pengurus besar Boedi Oetomo. Beliau mengusulkan adanya wadah perjuangan para guru dengan membentuk PGHB (Perserikatan Guru Hindia-Belanda) pada akhir tahun 1911 di mana anggotanya setiap orang yang memiliki kecakapan ilmu dari berbagai latar belakang apapun dan mau berbagi waktu serta tempat untuk mengajar. PGHB lantas mendapat legalitas dari Pemerintah Hindia-Belanda tertanggal 18 Desember 1912 setahun setelah diusulkan oleh Dwidjosewojo.
Kebijakan Ordonansi Guru dan Ordonansi Sekolah Liar (sekolah swasta) yang masih diberlakukan dan situasi politik serta kondisi sosial yang sulit bagi guru dan kiai yang berada di PGHB memutuskan memecahkan diri di tahun 1919. Kendati demikian masih ada beberapa yang bertahan dengan menjalankan organisasi ala kadarnya.
Perpecahan PGHB menjadi banyak organisasi guru berdasarkan latar belakang pendidikan, ideologi, ras, pangkat atau tingkat sekolah yang berbeda sangatlah merugikan perjuangan yang selama ini dibangun. Organisasi-organisasi guru yang lahir itu antara lainKweekschool Bond (KSB); Perserikatan Guru Desa (PGD); Perkumpulan Normaalschool (PNS); School Opziener’s Bond (SOB); Vaak Onderwijszer’s Bond (VOB); Perserikatan Guru Ambacht School (PGAS); Hogere Kweekschool Bond (HKSB); Nederlands Indische Onderwijzers Genootschap (NIOG); Christelijke Onderwijzer’s Vereeniging (COV); Onderwijzer’s Vak Organisatie (OVO); Katholieke Onderwijzer’s Bond (KOB); Chineesche Onderwijzer’s Bond (COB); Muhammadiyah; dan Madrasah Nahdliyyinserta organisasi lainnya.
Politik adu domba yang berhasil memecah belah para guru kemudian melonggarkan Kebijakan Ordonansi Guru di tahun 1925. Atas desakan KH. Hasyim Asy’ari pemerintah kolonial merubah status ordonansi hanya memberitahu yang sebelumnya meminta izin terkait pengajaran bagi guru keagamaan.
Tiga tahun kemudian terjadi Peristiwa Sumpah Pemuda tepatnya di tahun 1928 membawa angin revolusi nasional. Kembali PGHB yang hidup segan mati pun tak mau berusaha rekonsiliasi dengan organisasi guru sebelumnya, usaha ini menghasilkan PGI (Persatuan Guru Indonesia) di tahun 1933 sebagai kesatuan tekad nasionalisme para guru semua organisasi melebur menjadi satu dengan membawa nama Indonesia seperti yang disumpahkan para pemuda.
Di tahun-tahun berikutnya PGI menyusun rumusan-rumusan untuk pendidikan Indonesia dengan bayang-bayang penangkapan para guru oleh pemerintah kolonial. Penangkapan ini merupakan bentuk intimidasi karena organisasi ini sudah berani mencantumkan nama Indonesia.
Guru Di Masa Pendudukan Jepang
Jepang hadir di bumi nusantara setelah kolonialisme tak membuat sekalipun keadaan membaik. Mereka memberangus organisasi-organisasi kerakyatan, kecuali organisasi yang mereka bentuk. Para guru yang berada di PGI (Persatuan Guru Indonesia) banyak beralih ke PETA maupun menjadi tenaga tulis untuk Jepang karena sudah tidak dimungkinkan diadakannya pengajaran yang notabene Jepang juga memberlakukanRomusha.
Selain mereka yang beralih profesi, ada pula yang teguh membaktikan diri dalam dunia kependidikan. Agar terdapat keseragaman dalam pengertian dan maksud pemerintahan pendudukan militer Jepang, maka bagi guru diadakan latihan-latihan di Jakarta. Tiap-tiap kabupaten/daerah mengirimkan beberapa orang guru untuk dilatih. Setelah selesai dilatih tersebut, mereka kembali kedaerahnya masing-masing untuk kemudian melatih guru-guru lainnya mengenai hal-hal yang mereka peroleh dari Jakarta
Bahan –bahan pokok yang mereka dapat dalam latihan ialah: Indroktrinasi mental idiologi “Hakko i-chiu” dalam rangka kemakmuran bersama di Asia Raya; Latihan kemiliteran dan semangat Jepang (Nippon seisyin); Bahasa dan Budaya Jepang; Ilmu bumi ditinjau dari segi geopolitik; Olah raga dan lagu-lagu Jepang ~ (Depdikbud, 1979:90)
Dalam masa ini, para guru tetap konsolidasi dengan pejuang lainnya dalam koridor mencari kesempatan merebut kemerdekaan. Beberapa diantara yang berlatarbelakang guru salahsatunya KH. Hasyim Asy’ari, Sudirman, KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, Moh.Hatta dan lainnya yang atas perannya Indonesia dapat merdeka.
Guru Di Masa Kemerdekaan
Dengan digaungkannya proklamasi kemerdekaan sebagai penanda merdekanya Indonesia dari cengkeraman penjajahan, para guru dituntut segera menyusun rencana pembangunan manusia Indonesia. Diangkatnya Ki Hajar Dewantara sebagai Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan pertama, beliau berhasil mengejawantahkan tujuan pendidikan berlandaskan Pancasila.
Tak bertaut lama, di saat Surabaya digempur membabi buta oleh tentara sekutu di bulan November 1945, para guru yang terdiri dari berbagai latar belakang maupun mereka yang menaruh perhatian pada dunia pendidikan menyelenggarakan kongres pada tanggal 23-25 November 1945 bertempat di Sekolah Guru Puteri (SGP) Gedung Van De Vanter Surakarta Jawa Tengah (saat ini menjadi SMPN 3 Surakarta), sebagai penggerak dan pemimpin adalah Amin Singgih dan Rh. Koesnan.
Pekik “merdeka, merdeka, merdeka!” tak henti terdengar setiap kali jeda pidato, iringan pesawat-pesawat tentara Inggris (sekutu) yang hendak meluncurkan bom ke Studio RRI Surakarta mengiringi jalannya kongres. Di akhir kongres tertanggal 25 November 1945 disepakati bahwa mereka serentak bersatu untuk mengisi kemerdekaan dengan tiga tujuan, yaitu:
“1. Mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia; 2. Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan; 3. Membela hak dan nasib buruh umumnya, guru pada khususnya.“
Sejak Kongres Guru Indonesia itu, semua guru Indonesia menyatakan dirinya bersatu di dalam wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Lahirnya PGRI dari buah hasil kongres tanggal 25 November 1945 (hari ke-3 kongres) kita peringati sebagai Hari Guru Nasional yang jatuh tepat hari ini.
Ki Hajar Dewantara yang merasa tak leluasa dalam hal protokoler pejabat negara kemudian mengundurkan diri dari jabatan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, kemudian membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran – panitia ini masih bagian dari kemendikbud saat itu – yang diketuainya sendiri dibantu oleh beberapa guru guna mencari rumusan tujuan pendidikan nasional. Hasil rumusannya adalah bahwa pendidikan bertujuan mendidik warga negara yang sejati, bersedia menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara dan masyarakat. Dengan kata lain, tujuan pendidikan pada masa tersebut menekankan pada pemahaman semangat dan jiwa kepahlawanan (patriotisme).
Selanjutnya di tahun 1946 rumusan tersebut dituangkan ke dalam suatu pedoman bagi guru-guru dengan latar belakang apapun yang memuat sifat-sifat kemanusiaan dan kewarganegaraan yang pada dasarnya berintikan Pancasila, yaitu:
“1. Perasaan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Perasaaan cinta kepada alam.
3. Perasaan cinta kepada negara.
4. Perasaan cinta dan hormat kepada Ibu dan Bapak.
5. Perasaan cinta kepada bangsa dan kebudayaan.
6. Perasaan berhak dan wajib ikut memajukan negaranya menurut pembawaan dan kekuasaannya.
7. Keyakinan bahwa orang menjadi bagian yang tak terpisah dari keluarga dan masyarakat.
8. Keyakinan bahwa orang yang hidup dalam masyarkat harus tunduk pada tata tertib.
9. Keyakinan bahwa pada dasarnya manusia itu sama derajatnya. Sehingga sesama anggota masyarakat harus saling menghormati, berdasarkan rasa keadilan dengan berpegang teguh pada harga diri.
10. Keyakinan bahwa negara memerlukan warga negara yang rajin bekerja, mengetahui kewajiban, jujur dalam pikiran dan tindakan.
(Depdikbud, 1996:88)“.
Perjuangan para guru dalam masa kemerdekaan telah banyak berjasa bagi Bangsa Indonesia. Bukan hanya mendidik dalam rangka mencerdaskan bangsa, banyak pula ikut dalam perjuangan fisik, diantaranya: bergabung dengan TKR dan laskar perang rakyat lainnya, PMI, wartawan dan penyiaran radio, d.l.l. Peran yang diambil oleh guru-guru Indonesia pada masa kemerdekaan telah banyak memberikan sumbangsih bagi bangsa Indonesia. Sebutlah pahlawan kemerdekaan yang kita kenal saat ini hampir semuanya adalah guru, ustadz, dan kiai/ulama.
Guru Di Masa Pandemi 2020
Hampir satu tahun kegiatan belajar-mengajar dilakukan dari rumah bukan berarti para guru tak berjuang. Di masa pandemi Covid-19 yang menjauhkan guru dan murid mereka berusaha memberikan pengajaran dengan berbagai cara, kendati metode pengajaran sebelumnya tidak dapat digunakan lagi.
Era ini menuntut guru untuk terus belajar menambah kompetensi, utamanya dalam komunikasi digital. Proses pembelajaran setahun ini – siap atau tidak – terjadi di dunia digital, wajar bila banyak orang tua menyalahkan para guru terkait proses belajar-mengajar. Selain itu, sejatinya tidak ada murid yang bodoh; yang ada hanyalah guru yang tidak mau belajar & memahami peserta didik.
Seperti yang disebut dalam peringatan Hari Guru Sedunia tiap tanggal 5 Oktober, tahun 2020 kali ini UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) mengangkat tema “Guru Memimpin Dalam Krisis, Menata Kembali Masa Depan”. Krisis yang diakibatkan oleh COVID-19 ini menambah tantangan yang dihadapi oleh sistem pendidikan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Para guru di seluruh dunia diharapkan bisa turut melindungi hak dan kewajiban mendidik serta membimbing siswa meskipun kegiatan belajar mengajar dilaksanakan dari rumah (tidak tatap muka secara langsung).
Sejalan dengan Indonesia, peringatan Hari Guru Nasional 2020 yang mengangkat tema “Bangkitkan Semangat Wujudkan Merdeka Belajar” dimaksudkan agar para guru senantiasa untuk terus berjuang menjadi garda terdepan dalam memberikan pengajaran dengan metode-metode baru dan harus mampu bersinergi dengan berbagai pihak demi kelangsungan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemdikbud melalui rilisnya mengeluarkan doa untuk Upacara Bendera Hari Guru Nasional 2020, berikut isinya:
“Ya Allah, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Tiada kata yang patut kami haturkan melainkan sanjungan tertinggi bagi-Mu, karena hanya atas kuasa dan ijin-Mu lah pada hari ini kami bisa berkumpul dalam rangka mengikuti “Upacara Bendera Hari Guru Nasional Tahun 2020”, untuk itu Ya Allah berkati dan ridhoi acara kami ini.
Ya Allah,Tuhan Yang Maha Kuasa
Kami yang hadir ditempat dan media ini, di tengah pandemi Covid-19 yang masih berlangsung sampai dengan saat ini, jadikanlah Hari Guru Nasional tahun ini sebagai momentum untuk: Meningkatkan mutu, kualitas, kesejahteraan, perlindungan bagi guru dan tenaga kependidikan secara komprehensif, dan meningkatkan profesionalisme guru-guru kami untuk mendidik putra putri menjadi pelajar Pancasila sejati.
Ya Allah, ya Rahman ya Rahim
Kami sangat mendambakan guru-guru kami menjadi pendidik-pendidik sejati, menjadi hamba-Mu yang selalu menyemai ilmu pengetahuan, mendidik dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, menjadi panutan dan inspirasi bagi anak-anak bangsa ini, sehingga bangsa ini memiliki peradaban yang unggul dan mulia, bangsa yang memiliki kecerdasan yang paripurna, serta berbudi pekerti yang luhur. Ya Rob muliakan guru kami dengan karya-karya mereka yang bermakna bagi anak bangsa ini.
Yaa Allah yang Maha Pengampun
Kami sadar begitu banyak dosa dan kesalahan yang telah kami lakukan, jika Engkau tidak sudi mengampuni, kepada siapa kami harus memohon ampun. Oleh karena itu ya Allah, ampunilah segala dosa dan kesalahan kami, dosa Ayah dan Bunda kami, dosa guru-guru kami, dosa para pemimpin kami, serta dosa para pendahulu kami. Janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau khilaf, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami, janganlah engkau pikulkan pada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.
Allahumma Ya Allah Ya Hadi, Tuhan Yang Maha Memberi Petunjuk. Tunjukkanlah yang benar itu tampak benar dan berilah kekuatan kepada kami untuk dapat melaksanakannya, dan tunjukkanlah yang salah tampak salah dan berilah kekuatan kepada kami untuk dapat menjauhinya, sehatkan kami, kuatkan kami, jauhkan kami dari marabahaya wabah Covid-19 dan kami mohon Engkau berkenan mengangkat wabah ini dari negeri yang kami cintai ini.
Ya Allah, Tuhan Yang Maha Mendengar, kabulkanlah doa dan permohonan kami.“
Kemendikbud dalam rilisnya juga memutuskan untuk membuka kembali kegiatan pembelajaran tatap muka pada Januari 2021 tahun depan. Ketentuan ini tertuang dalam Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Tahun Ajaran 2020/2021 dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Mendikbud Nadiem Makarim menjelaskan, kebijakan tersebut diputuskan setelah mempertimbangkan kebutuhan pembelajaran peserta didik yang semakin mendesak di masa pandemi Covid-19 dan hasil evaluasi terhadap implementasi kebijakan pembelajaran di masa pandemi.
Perjuangan tak kunjung usai bagi para guru, situasi dan kondisi yang sulit tak menyurutkan pengabdian kepada bangsa seperti yang sudah sejarah tuliskan. Guru adalah pelita dalam kegelapan, mereka patriot tanpa tanda jasa.
Selamat Hari Guru Nasional kepada semua guruku di manapun engkau berada, namamu akan selalu hidup di dalam sanubariku.
*) Guru PPKn MTs. Miftahul Ulum 2 Banyuputih Kidul