Oleh : M. Hasyim As’ari, SH *)
Eksistensi pesantren dari masa ke masa telah memberi kontribusi konkrit dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia. Jika dirunut secara sederhana, mulai era Kerajaan-kerajaan Jawa, pesantren menjadi pusat dakwah penyebaran Islam; era penjajahan kolonial, pesantren menjadi medan heroisme pergerakan perlawanan rakyat; era kemerdekaan, pesantren terlibat dalam perumusan bentuk dan idiologi bangsa serta terlibat dalam revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan. Fungsi dasar pesantren adalah sebagai lembaga pendidikan Islam, namun pesantren juga memiliki pengaruh dan peran politik yang penting di tengah masyarakat – terutama masyarakat tradisional.
Pesantren dapat bertahan dalam sejarah Indonesia mewujudkan idealisme pendidikan yang bukan sekedar meningkatkan kualitas sumber daya manusia, melainkan juga pembangunan karakter muslim yang berkebangsaan. Sebagai lembaga pendidikan tradisional, pesantren telah menjadi benteng kultural budaya bangsa dari gesekan-gesekan dan pergeseran tata nilai sosial akibat implikasi modernitas teknologi dan arus keterbukaan informasi.
Ormas tersebut yang lahir pada tanggal 31 Januari 1926 di Kertopaten Kota Surabaya, yang waktu itu dibentuk dengan nama Nahdhatul Oelama (ejaan lama), paling tidak menurut sebagian lulusan akademik, merupakan reaksi atas gerakan purifikasi Muhammadiyah terhadap tradisi-tradisi Islam yang diyakini tidak memiliki landasan normative baik dari al-Qur’an maupun hadist. Tradisi-tradisi yang dimaksud seperti upacara slametan, yasinan, tahlilan, ziarah kubur dan lainnya. Hal-hal tersebut dianggap bid’ah yang harus dihilangkan dalam dalam tradisi Islam menurut gerakan Islam modern – salahsatu kritik paling sadis oleh kaum modern terhadap kaum tradisional adalah hubungan antara orang yang masih hidup dengan orang yang meninggal dunia.
Ungkapan latar kelahiran NU, tidaklah salah tetapi ia bisa didebat dengan satu pertanyaan, kenapa NU lahir nanti pada tahun 1926, tidak lebih awal lima atau sepuluh tahun padahal Sarikat Islam jauh sebelumnya sudah mengkampanyekan reformasi atau pembaruan dalam tradisi Islam?
Adanya kesemangatan untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kiai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi untuk menghadiri Komite Hijaz di Mekkah – Hal inilah cikal bakal NU lahir. Komite yang diketuai KH. Wahab Chasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk merangkul semua dari empat imam madzhab. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga serta menghormati segala perbedaan yang ada.
Pada tanggal 16 rajab 1344 H, Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari bersama rekan-rekannya di antaranya Kiai Abdul Wahhab Hasbullah, Kiai Bashri Syamsuri, dan Kiai-Kiai besar Jawa-Madura lainnya mendirikan organisasi Nahdhatul Ulama’ (NU). Organisasi ini adalah organisasi keagamaan yang menyerukan kepada umat Islam supaya berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta menjauhi kesesatan dan bid’ah, dan menggerakkan mereka untuk berpartisipasi dalam jihad menegakkan kalimatullah.

Peran Kiai Hasyim, sebagai pimpinan Pondok Pesantren Tebuireng, dalam hal ini sangatlah besar dalam pembentukan Nahdhatul Ulama. Ia dikenal sangat kharismatik di kalangan kiai-kiai di Jawa-Madura pada waktu itu. Faktor inilah yang membuat NU dengan begitu mudah diterima oleh masyarakat. Dibalik Kiai Hasyim ada Kiai Wahab Hazbullah yang menginisiasi ide pembentukan NU, ia adalah organisatoris penggerak di balik berdirinya NU dan pergerakan awal NU. Ia ingin menunjukkan bahwa NU lebih dari sekedar mempertahankan tradisi sendiri, namun juga dapat sebagai penopang kehidupan berbangsa.
NU menyeru untuk meninggalkan fanatisme buta kepada salahsatu madzhab. Sebaliknya, mewajibkan untuk membela Agama Islam, berusaha keras menolak orang yang menghina Al-Qur’an dan sifat-sifat Allah SWT serta memerangi pengikut ilmu-ilmu batil dan akidah yang rusak.
Sejak NU didirikan pertama kali pada 31 Januari 1926 sudah memiliki rambu-rambu peringatan terhadap paham yang menyimpang atau yang nyeleneh dari aturan syari’at. Peringatan tersebut dikeluarkan agar warga NU (Nahdliyyin) ke depan berhati-hati dalam menyikapi fenomena penyesatan akidah. Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah menjadi pegangan Nahdliyyin agar mampu bertahan dari inflitrasi faham-faham perusak akidah dan perpecahan kebangsaan.
NU berdiri bertujuan sebagai rumah kaum muslim nusantara dengan cara membangkitkan kesadaran ulama-ulaman nusantara akan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar. Diharapkan dengan wadah organisasi ini, para ulama’ bersatu padu membela akidah Islam. KH. M.Hasyim Asy’arin merupakan Rais Akbar Nahdlatul Ulama, beliau memberikan gambaran tentang Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qanun Al-Asasi, bahwa faham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi Nahdlatul Ulama’ yaitu mengikuti Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi secara teologis, mengikuti salah satu empat madzhab fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) secara fiqhiyah, dan ber-tashawuf sebagaimana yang difahami oleh Imam al-Ghazali atau Imam Junaid al-Baghdadi.
Untuk membentengi keyakinan warga NU agar tidak terkontaminasi oleh paham-paham sesat, KH. Hasyim Asy’ari menulis kitab risalah ahl al-sunah wa al-jama’ah yang secara khusus menjelaskan soal bid’ah dan sunah. Sikap lentur NU sebagai titik pertemuan pemahaman akidah, fikih, dan tasawuf versi ahl sunnah wa al-jama’ah telah berhasil memproduksi pemikiran keagamaan yang fleksibel, mapan, dan mudah diamalkan pengikutnya.
Seiring dengan perkembangan zaman, para ulama dan santri di Indonesia menganggap bahwa Aswaja yang diajarkan oleh KH Hasyim Asy’ari sebagai upaya pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazzun (seimbang), serta ta’addul (keadilan). Prinsip-prinsip tersebut merupakan landasan dasar dalam mengimplimentasikan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Di Harlah ke-95 tahun ini marilah kembali kita kuatkan pegangan kita kepada aswaja, karena Islam Rahmatan Lil Alamin.
*) Guru MTs. Miftahul Ulum 2 Banyuputih Kidul