Pamer Kebaikan di Media Sosial dalam Al-Qur’an

Perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat sudah tidak bisa dibendung lagi. Setiap jam, setiap menit bahkan setiap detik, manusia dapat mengakses informasi dan peristiwa yang terjadi di selurh belahan dunia secara cepat dan murah.

Perkembangan teknologi informasi seperti saat ini tentu menciptakan ruang tersendiri bagi penggunanya. Manusia dapat berinteraksi dengan pengguna lain di seluruh penjuru dunia tanpa harus berhadapan secara langsung.

Di samping manusia dapat berinteraksi secara langsung, sudah menjadi maklum bahwa saat ini banyak pengguna media sosial yang berfoto saat sedang beribadah lalu diposting. Tak hanya itu, tak jarang banyak juga orang yang memajang di akun media sosial miliknya ketika ia sedang bersedekah. Fenomena ini marak terjadi dan bahkan mungkin sadar tidak sadar, kita juga pernah melakukannya.

Banyak orang yang mem–bully dan nyinyir ketika saudaranya, temannya, tetangganya atau bahkan orang yang ia kenal di dunia saja, yang mempajang foto-foto atau video kebaikan dan ibadah yang sedang mereka kerjakan. Foto depan Kakbah, foto di Arafah, foto di Masjid atau foto sedang memberikan sedekah kepada orang lain.

Bilang sok pamer lah, sombong lah, riyak lah. Apa tidak takut pahalanya hilang karena riyak. Untuk apa pamer kebaikan. Tujuannya apa? Apa kalau tidak diposting Allah tidak mengetahui. Kebaikan itu harus dirahasiakan tidak usah dipamerkan. Riyak itu syirik khofi loh? Apa tidak takut terjerumus dalam kesyirikan. Dan masih banyak lainnya. 😎

Nyinyiran seperti di atas, tidak perlu didengarkan. Tidak perlu dimasukkan ke dalam hati. Karena orang yang berbuat kebaikan tersebut lebih tahu apa maksud dan tujuan memposting kebaikannya di akun medsosnya.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menjawab orang yang suka nyinyir tersebut. Tulisan ini hanya untuk mengetahui apakah betul Allah dan Rasulullah saw melarang secara mutlak menampakkan kebaikan di medsos seperti anggapan kaum nyinyiriyin. 🤭

Baiklah mari kita coba buka Kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Karena kedua kitab sucilah yang menjadi sebaik-baik petunjuk dalam.kehidupan kita.

Berikut ini adalah sebagian ayat yang kami temukan untuk menjawab fenomena yang terjadi sekarang ini.

1. Sedekah boleh ditampakkan bahkan itu baik sekali.

إِن تُبْدُوا۟ ٱلصَّدَقَٰتِ فَنِعِمَّا هِىَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا ٱلْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّـَٔاتِكُمْ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ﴿٢٧١﴾

“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.Al-Baqarah : 271)

Imam Abu Jakfar, Imam Qatadah dan Imam Ar-Rabi’ juga ulama yang lain dalam Tafsir At-Thabari menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam ayat di atas adalah sedekah tathawwu’ (sunnah) bukan sedekah wajib atau zakat.

Dengan kata lain, Allah tidak melarang kita menampakkan kebaikan-kebaikan yang sunnah seperti sedekah dan lain-lain yang kita kerjakan sehingga orang lain mengetahuinya. Dan itu masih Allah katakan sebaik-baik sesuatu. Namun yang lebih baik adalah kita merahasiakannya karena lebih aman dan lebih selama dari riya’

Di akhir komentarnya, Imam Ar-Rabi’ memberikan catatan terhadap ayat tersebut di atas bahwa sedekah yang ditampakkan atau yang dirahasiakan keduanya akan diterima oleh Allah jika niatnya baik dan benar.

 كل مقبول إذا كانت النية صادقة 

Lantas bagaimana dengan amalan-amalan wajib seperti zakat, shalat dan lain-lain, apakah lebih baik dirahasiakan sebagaimana ayat di atas?

Sahabat Abdullah bin Abbas – sepupu Rasulullah saw yang juga mendapat gelar bahrul ummah – berkata dalam Tafsir At-Thabari bahwa sedekah wajib dan amalan-amalan wajib lebih utama ditampakkan dan jangan dirahasiakan.


2. Sedekah dengan secara sembunyi maupun terang-terangan tetap mendapatkan pahala dari Allah swt.

 ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُم بِٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ 

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah : 274)

3. Bisik-bisik atau membicarakan orang lain adalah perbuatan yang tidak baik dan tercela.

  ۞ لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَىٰهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَٰحٍۭ بَيْنَ ٱلنَّاسِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِ ٱللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا  

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (Q.S.An-Nisa :114)

4. Rasulullah saw diperintahkan berdakwah secara terang-terangan

 فَٱصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْمُشْرِكِينَ  

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (Q.S. Al-Hijr :94).

Dalam ayat ini sangat jelas bahwa Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk berdakwah dan mengajak orang lain berbuat kebajikan dengan terang-terangan.

Orang yang memposting foto-foto kebaikan yang sedang ia lakukan bisa jadi dalam rangka dakwah dan mengajak orang lain berbuat kebaikan yang sama.

5. Jadilah Perintis Kebaikan

Rasulullah saw menganjurkan kita membuat sunnah (jejak langkah) yang baik. Karena jika ada yang mengikuti jejak tersebut, maka kita akan senantiasa mendapatkan pahalanya.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ لَهُ أَجْرُهَا، وَمِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا، وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا ".

Barangsiapa yang membuat sunnah yang baik maka dia akan memperoleh pahala dan pahala orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang membuat sunnah sayyi’ah dalam Islam maka ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengikutinya, dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun” (HR. ibnu Majah)

Mengutip pendapat Ibnu Abbas di atas bisa kita kita simpulkan bahwa semuanya tergantung niat. Pamer atau riya’ merupakan perbuatan hati yang sulit diprediksi dan diketahui karena sifatnya yang bathin. Tidak ada seorang pun yang mengetahui hati seseorang kecuali Allah. Rasulullah saw saja tidak mengetahui tentang hati orang-orang munafik jika Allah tidak memberitahunya. Oleh karena itu, beliau menghukumi lahir mereka sebagai orang-orang yang beriman. Allah Ta’ala berfirman :

 قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ 

“Tidak ada seorangpun dilangit dan di bumi mengetahui perkara ghaib kecuali Allah.” (QS. An-Naml : 64)

Memviralkan amal kebaikan, atau ibadah, atau kegiatan baik, tidak mesti untuk tujuan pamer atau riya’. Bisa jadi pelakunya ingin memberikan motivasi, atau inspirasi kepada orang lain, atau minimal tahadduts binni’mah (menampakkan nikmat Allah) yang telah diperoleh. Dan hal ini diperbolehkan menurut syari’at seperti ayat yang menjadi penghujung surat Ad-Dluha.

Oleh karena itu, mari kita lebih menyibukkan diri untuk mengintropeksi diri kita daripada mengintropeksi orang lain. Karena diri kita lebih layak untuk dikhawatirkan terjatuh pada hal-hal buruk. Kalau anda tidak ingin menampakkan amalan baik anda atau tidak mau memposting kegiatan baik anda di medsos karena anda takut riya’, itu baik dan itu hak anda. Tapi itu tidak bisa dijadikan sebagai kesimpulan umum apalagi memvonis untuk semua orang.

Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah dan pertolongan kepada kita semua serta istiqamah dalam berbuat kebaikan. Amin ya Rabbal Alamin

Referensi :
Al-Qur’an Al-Karim, Al-Qur’an Al-Hadi Terjemah, Jami’ul Bayan At-Thabary, Tafsir Katsir, Tafsir Al-Jalalain, Sunan Ibnu Majah dll.


Ditulis oleh : Sahroni, S.Pd.I., M.Pd (Kepala MTs. Miftahul Ulum 2 Banyuputih Kidul)

8 Replies to “Pamer Kebaikan di Media Sosial dalam Al-Qur’an”

    1. Yang tahu adalah pelakunya sendiri. Oleh karena itu, kita dilarang menvonis seseorang dengan penilain negatif. Karena kita tidak tahu motivnya kecuali yang bersangakutan

  1. Kalo kita posting di status w.a.kebaikan seseorang yg diberikan kpd kita,apakh itu riya?padahal niat kita bener2 hanya mengungkapkn/berterima kasih & biar yg Ngasih seneng..apakah itu tdk diperbolehkan

    1. Itu malah dianjurkan untuk mensyiarkan kebaikan orang lain kepada kita sabagaimana dalam QS. An-Nisa’ : 86
      وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا (86)
      “ Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu. (An-nisa : 86)

      Rasulullah saw pun menganjurkan kita berterimakasih kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita
      من لم يشكر الناس لم يشكر الله
      “Orang yang tidak berterimakasih kepada orang (lain) berarti ia tidak bersyukur kepada Allah” [HR. At-Tirmidzi)

  2. Shiip Setuju semuanya tergantung niat pribadi masing2 naudzubillah walau ada niatan riya’ klu ada yg meniru hal baik itu maka akan dapat pahala lagi lantaran ada yg niru jd lumayan tapi sesekali aja mostingnya mungkin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *